Oleh: Dr. Mohsen Hasan A. Lc., M.A.
UMAT Islam hari ini tidak hanya diuji dengan kemiskinan, konflik, atau ketidakadilan yang tampak di depan mata. Ada ujian lain yang lebih halus, tetapi dampaknya jauh lebih dalam: ujian kesadaran.
Fitnah di zaman ini tidak selalu datang dengan pedang, tetapi dengan narasi. Tidak selalu dengan kekerasan, tetapi dengan kata-kata. Dan tidak selalu dengan wajah musuh yang jelas, tetapi dengan akun-akun yang tampak seperti saudara kita sendiri.
Rasulullah ﷺ telah mengingatkan:
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya; orang yang jujur dianggap dusta, dan pendusta dipercaya…”
(HR. Ibnu Majah)
Hadis ini hari ini terasa hidup di layar-layar gawai kita.
Fitnah Zaman Digital: Ketika Kebohongan Menyamar sebagai Kepedulian
Di ruang digital, tidak semua yang mengaku membela Islam benar-benar tulus. Tidak semua yang lantang berbicara atas nama umat sedang menginginkan kebaikan umat.
Ada suara-suara yang:
- mengadu Sunni dengan Syiah
- memusuhi bangsa dengan bangsa
- merendahkan simbol-simbol Islam
- menertawakan syariat atas nama “kebebasan berpikir”
- melemahkan rasa bangga terhadap identitas Muslim
Yang berbahaya, semua itu sering disampaikan dengan bahasa lokal, emosi keagamaan, bahkan dalil yang dipotong sehingga umat terjebak tanpa sadar.
Inilah yang disebut para ulama sebagai fitnah syubhat: tidak terlihat gelap, tetapi menyesatkan arah.
Islamofobia Tidak Selalu Datang dari Luar
Umat perlu memahami satu hal penting: Islamofobia global tidak selalu dibangun oleh orang yang jelas-jelas membenci Islam. Sering kali ia tumbuh melalui:
- suara yang mengaku “netral” tapi terus merendahkan agama
- akun yang mengaku Muslim, tapi menanamkan kebencian antarumat
- narasi yang memisahkan Islam dari sejarah, budaya, dan jati diri umat
Ketika umat mulai malu menyebut agamanya, ragu terhadap syariatnya, dan saling curiga antar sesama Muslim—saat itulah tujuan tercapai tanpa perlu menyerang masjid atau kitab suci.
Memecah Belah: Strategi Lama dengan Wajah Baru
Allah ﷻ telah mengingatkan:
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, karena (akibatnya) kamu menjadi lemah dan hilang kekuatanmu.”
(QS. Al-Anfal: 46)
Perpecahan adalah pintu paling murah untuk melemahkan umat. Di era digital, perpecahan tidak lagi diciptakan lewat perang fisik, tetapi lewat:
- komentar
- meme
- potongan video
- potongan ceramah tanpa konteks
Sedikit demi sedikit, umat dipancing untuk saling menyerang, hingga lupa siapa yang sebenarnya diuntungkan.
Literasi Digital adalah Amanah Iman
Wahai kaum Muslimin, literasi digital bukan sekadar kemampuan membaca teknologi. Ia adalah amanah iman. Artinya:
- tidak setiap berita harus dibagikan
- tidak setiap provokasi harus ditanggapi
- tidak setiap perbedaan harus dipertajam
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang disebut berdusta jika ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.”
(HR. Muslim)
Di zaman ini, menahan jari bisa lebih bernilai daripada seribu komentar.
Dakwah Kesadaran: Dari Reaktif ke Reflektif
Dakwah strategis hari ini bukan dakwah yang:
- emosional
- reaktif
- mudah terpancing
Tetapi dakwah yang:
- menenangkan
- mencerahkan
- menyatukan
- membangun kepercayaan antarumat
Umat yang sadar tidak mudah diprovokasi. Umat yang berilmu tidak mudah diadu domba. Umat yang berakhlak tidak menjadikan perbedaan sebagai permusuhan.
Penutup (Khulasoh): Menjaga Umat adalah Menjaga Arah Hati
Perang hari ini bukan sekadar soal siapa melawan siapa, tetapi siapa mempengaruhi siapa.
Jika hati umat dijaga, akal umat disinari, dan adab perbedaan dipelihara, maka tidak ada proyek pemecah belah yang benar-benar berhasil.
Mari jadikan media sosial sebagai:
- ruang dakwah, bukan ruang amarah
- ruang pencerahan, bukan ruang fitnah
- ruang persaudaraan, bukan medan perpecahan
Karena umat yang sadar adalah umat yang sulit ditaklukkan.
Menjaga kesadaran adalah bagian dari menjaga iman. Dan menjaga persatuan adalah bagian dari ibadah zaman ini.
Jakarta, 18 Desember 2025

