OLEH: Zulkifli Lamasana, SH., CVM*
Guru Tua, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri, adalah salah satu tokoh dan ulama yang sangat berpengaruh di Sulawesi Tengah dan telah di usulkan menjadi pahlawan nasional karena jasanya tak ternilai bagi bangsa Indonesia, khususnya di Kawasan Indonesia Timur.
Beliau tidak hanya berperan dalam pendidikan dan penyebaran agama Islam, tetapi juga dalam perjuangan kemerdekaan.
Oleh karena itu, setiap tindakan yang merendahkan atau memfitnahnya -seperti yang diduga dilakukan oleh Fuad Plered- harus ditindak tegas, baik melalui jalur hukum nasional maupun adat.
Hukum adat yang hidup di masyarakat kawasan Indonesia Timur bisa menjadi suluh yang menyala dari arus bawah.
Ketika hukum positif kerap gagal menjangkau akar-akar konflik sosial di masyarakat Indonesia Timur, sistem peradilan adat bukan sekadar sisa masa lalu, melainkan pijakan etis yang terus hidup di tengah masyarakat.
Ia tidak hanya menyelesaikan perkara, tetapi juga menautkan kembali hubungan yang sempat tercerai oleh prilaku, perkataan atau sengketa kepentingan sehingga kembali mengharmonisasikan agar tidak berkembang menjadi konfilk Sara.
Pelajaran sengketa Poso, Sampit, dan wilayah lainnya di Indonesia bisa di jadikan cermin atas konflik social yang timbul atas nilia-nilai etis dan keyakinan yang berbeda Ketika tidak dikelola dan dicegah dengan baik sedini mungkin.
Sanksi Hukum Adat atas Penghinaan terhadap Guru Tua
Di Sulawesi Tengah, penghinaan terhadap tokoh yang dihormati seperti Guru Tua dapat diselesaikan melalui hukum adat yang berlaku. Beberapa sanksi adat yang mungkin diterapkan meliputi:
- Prilaku berupa salah ucap (Sala Mbivi) – Sebuah tindakan/prilaku seseorang yang berisikan kalimat yang tidak atis atau kalimat yang menyerang kehormatan orang yang lebih tua, tokoh, raja atau yang minyinggung kohormatan seseorang atau sebuah komunitas tertentu.
- Denda adat (Balia Bala) – Pelaku dapat dikenakan denda berupa uang, hewan ternak, atau benda berharga lainnya sebagai bentuk permohonan maaf.
- Ritual permintaan maaf (Mareso Ngata) – Pelaku wajib meminta maaf secara resmi di hadapan pemuka adat, tokoh masyarakat, dan keluarga Guru Tua.
- Pengucilan sementara (Nompabisa) – Jika pelaku berada di wilayah adat, ia dapat dikenakan sanksi pengucilan dari kegiatan sosial hingga menunjukkan kesungguhan bertobat.
Namun, jika pelaku berada di luar wilayah adat Sulawesi Tengah (seperti Gus Fuad Pleret yang disebut berasal dari Yogyakarta), penerapan sanksi adat menjadi lebih kompleks.
Penanganan dan Ruang Lingkup Berlaku Hukum Adat
Hukum adat memiliki kekuatan moral dan sosial yang kuat, tetapi ruang lingkupnya terbatas pada wilayah dan komunitas yang mengakuinya. Beberapa langkah yang dapat diambil:
- Koordinasi dengan Tokoh Adat Setempat – Pemuka adat Sulawesi Tengah dapat mengirim surat teguran resmi atau meminta klarifikasi dari pelaku.
- Mediasi oleh Lembaga Adat Lintas Daerah – Jika pelaku berada di luar Sulawesi Tengah, dapat dilakukan upaya mediasi melibatkan perantara tokoh adat atau ulama setempat.
- Penegakan Hukum Positif – Jika penghinaan memenuhi unsur pidana (Pasal 310 KUHP tentang penghinaan atau Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024 ttg ITE) ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar , maka proses hukum formal harus dijalankan, terlepas dari lokasi pelaku.
Solusi Penyelesaian Adat yang Holistik
Agar kasus ini tidak menimbulkan keresahan berkepanjangan, beberapa solusi dapat dipertimbangkan:
- Rekonsiliasi Adat secara Nasional – Menggelar pertemuan adat yang melibatkan perwakilan dari Sulawesi Tengah dan daerah pelaku untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan.
- Edukasi Publik tentang Penghormatan atas tokoh atau ulama yang berjasa bagi suatu daerah – Sosialisasi pentingnya menghormati tokoh atau ulama yang berjasa bagi suatu daerah melalui jalur pendidikan dan media.
- Kolaborasi dengan Aparat Hukum – Jika upaya adat tidak membuahkan hasil, penegakan hukum formal harus menjadi pilihan akhir untuk memberikan efek jera.
Penutup
Guru Tua adalah simbol perjuangan dan kebanggaan rakyat Sulawesi Tengah. Penghinaan terhadapnya bukan hanya masalah individu, melainkan juga melukai harga diri masyarakat yang menghormatinya.
Penyelesaian adat adalah langkah bijak untuk memulihkan harmoni, tetapi jika pelaku tidak kooperatif, hukum nasional harus berbicara.
Mari jaga martabat tokoh atau ulama yang telah berjasa banyak bagi sebuah wilah kita dengan bijak, baik melalui adat maupun hukum yang berlaku.
*Penulis adalah Advokat, Praktisi Hukum dan Wakil Ketua Umum Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Merah Putih.