OLEH: Viko Dardika, S.Tr.Stat*
Pengangguran dan kemiskinan merupakan permasalahan yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk halnya di Indonesia. Pengangguran menjadi masalah yang serius karena memberikan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat.
Dari sisi sosial, pengangguran dapat menimbulkan terjadinya kriminalitas, sedangkan dari sisi ekonomi, pengangguran dapat menurunkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Fakta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini adalah pengangguran yang didominasi oleh angkatan kerja terdidik atau biasanya disebut dengan pengangguran terdidik.
Pengangguran terdidik yang dimaksud adalah seseorang berusia 15 tahun keatas yang sedang mencari pekerjaan atau belum bekerja dengan pendidikan terakhirnya SMA/SMK sederajat ke atas.
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia didominasi oleh lulusan SMA/SMK sederajat, lalu diikuti oleh lulusan diploma dan universitas.
Lalu, bagaimana dengan kondisi pengangguran di Sulawesi Tengah?
Jumlah pengangguran di Sulawesi Tengah menurut hasil Berita Resmi Statistik Keadaan Ketenagakerjaan BPS Sulawesi Tengah pada Februari 2022 tercatat sebanyak 58,26 ribu jiwa dengan tingkat pengangguran 3,67 persen. TPT lulusan diploma merupakan yang tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 10,24 persen, diikuti dengan TPT lulusan universitas sebesar 5,38 persen. Sedangkan TPT lulusan SMK dan SMA masing-masing sebesar 5,30 persen dan 5,27 persen.
Kondisi ini cukup berbanding terbalik dengan TPT lulusan SMP dan SD ke bawah yang besarnya tidak lebih dari 4 persen (3,79 dan 1,57 persen).
Data ini menggambarkan bahwa fenomena yang cukup ironis karena ternyata semakin tinggi pendidikan seseorang, peluang seseorang tersebut menjadi penganggur malah semakin besar.
Hal tersebut juga menjadi indikasi bahwa lulusan SMA/SMK sederajat bahkan perguruan tinggi yang semula diharapkan mampu memperbaiki bangsa ini justru malah terjebak pada pengangguran terdidik.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana hal ini bisa terjadi?
Kemampuan pasar kerja yang kurang dalam menyerap tenaga kerja terdidik ditambah dengan efek dari pandemi covid-19 yang membuat banyak terjadinya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) disinyalir menjadi salah satu penyebab utamanya.
Tidak bisa dipungkiri juga saat ini lapangan kerja pada sektor formal semakin menyempit. Karenanya, pemerintah diharapkan mampu membuka lebih banyak lapangan pekerjaan di sektor formal yang dinilai semakin lama semakin berkurang.
Penyebab lainnya adalah ketidaksesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja.
Lulusan SMA/SMK sederajat dan peguruan tinggi yang ada harus siap menghadapi tuntutan kompetensi sehingga mampu memenuhi persyaratan untuk memasuki dunia kerja.
Argumen yang beredar bahwa pendidikan tinggi yang ada kurang memberikan pelatihan dan ilmu yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Kualitas yang dimiliki oleh lulusan di perguruan tinggi Indonesia dinilai masih rendah jika harus bersaing dengan tenaga kerja dari luar negeri. Karenanya diperlukan pendidikan yang tepat sasaran, sesuai dengan permintaan dunia kerja.
Kebutuhan pasar kerja dan dunia pendidikan sudah seharusnya dirancang secara terintegrasi, agar diperoleh SDM yang handal dan kompeten di bidangnya.
Yang juga tak kalah penting adalah memberikan perhatian yang besar pada pendidikan kewirausahaan.
Kewirausahaan bagi kelompok masyarakat usia muda dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi pengangguran terdidik. Kewirausahaan juga berkontribusi terhadap penciptaan lapangan pekerjaan yang pada akhirnya membantu penyerapan tenaga kerja baru.
Sudah saatnya paradigma job seeker diubah menjadi job creator. Seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi tentunya memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi seorang entrepreneur, karena memiliki kemampuan intelektual dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tidak terdidik.
Oleh karena itu, pendidikan kewirausahaan seharusnya berjalan secara berkesinambungan serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dari seluruh proses pendidikan yang ada.
Program yang digulirkan oleh pemerintah untuk pengembangan potensi kerja melalui program pelatihan kartu prakerja, dalam praktiknya perlu dimonitoring dan dievaluasi secara berkala sehingga dalam pelaksanaannya menjadi tepat sasaran.
Penerima manfaat kartu prakerja untuk pengangguran dan penduduk usia muda juga harus lebih diprioritaskan. Selain itu, program pelatihan yang ditawarkan pada program kartu prakerja ini hendaknya relevan dengan kebutuhan industri.
Pemerintah perlu memetakan keahlian yang dibutuhkan dan mendorong calon pekerja menguasai keahlian tersebut.
Bagaimanapun, peningkatan keterampilan tenaga kerja adalah bidang yang harus ditangani secara serius oleh pemerintah untuk mengatasi pengangguran terdidik sekaligus menjawab tantangan revolusi industri 4.0.
*Penulis adalah ASN BPS Kabupaten Donggala