Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri (PN) Palu, Made Sukanada, Senin (5/6) lalu, telah menjatuhkan vonis pidana penjara selama 9 tahun kepada Mansyur IB,
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Tolitoli non aktif ini terlibat korupsi proyek Gernas Kakao tahun 2013, sebesar Rp6,6 miliar.
Selain pidana penjara terdakwa juga dihukum membayar denda Rp200 juta, subsidair dua bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp530 juta, subsidair 8 bulan kurungan.
Sementara terdakwa lainnya, Eko Juliantoro divonis 4,6 tahun pidana penjara, membayar denda Rp200 juta, subsidair dua bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 30 juta, subsidair satu bulan kurungan.
Kemudian terdakwa Cony J .Contiadago divonis penjara selama 6 tahun, membayar denda Rp200 juta, subsidair dua bulan kurungan, membayar uang pengganti Rp180 juta, subsidair 6 bulan penjara. Sedangkan terdakwa Syamsul Alam dituntut pidana penjara selama 4 tahun, membayar denda Rp200 juta, subsidair satu bulan kurungan.
Sebelumnya, JPU menuntut pidana penjara selama 9 tahun kepada Mansyur IB Lanta, membayar denda Rp200 juta, subsidair 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp928,3 juta, subsidair 1 tahun penjara.
Terdakwa Eko Juliantoro dituntut 6 tahun pidana penjara, membayar denda Rp200 juta, subsidair 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp30 juta, subsidair 3 bulan penjara. Terdakwa Cony J .Contiadago dituntut 9 tahun penjara, denda Rp200 juta subsidair 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 988,3 juta, subsidair 1 tahun penjara.
Kemudian terdakwa Syamsul Alam dituntut pidana penjara 4 tahun, membayar denda Rp200 juta, subsidair 3 bulan kurungan.
Kasus ini bermula dari turunnya program kementerian tahun 2013 untuk pengadaan bibit sambung kakao sebanyak 4,5 juta sambungan untuk 92 kelompok tani, dengan pagu anggaran Rp11,2 miliar.
Namun kenyataannya, pelaksanaan proyek tersebut tidak sesuai petunjuk Operasional Kegiatan (POK), dimana PT. Karya Lestari Raya milik Syamsul Alam, dikondisikan menjadi pemenang.
Kala itu, masing-masing pihak (PT. Karya Lestari Raya dan Disbun) sepakat dengan harga satuan sebesar Rp2.490 per sambungan. Dalam perjalanannya, yang hidup hanya sebanyak 2,7 juta sambungan atau hanya 60 persen.
Hasi perhitungan BPKP Sulteng ditemukan ada perbedaan harga satuan yang tertera dalam kontrak dengan fakta pelaksana kegiatan. Total harga pekerjaan dalam kontrak adalah sebesar Rp2.480 per sambungan, sementara satuan harga yang sebenarnya hanya Rp1.264 per sambungan.
Berdasarkan SP2D pencairan senilai Rp10,86 miliar dikurangi pajak senilai Rp167,4 juta dan pengembalian ke kas negara Rp131,91 juta, maka pekerjaan tersebut terlaksana 98,8 persen, dikurangi biaya riil Rp4,18 miliar, sehingga negara mengalami kerugian Rp6,6 miliar.
MASIH MENYISAKAN PR
Meski putusan telah dibacakan, namun kasus ini masih meninggalkan pekerjaan rumah (PR) bagi institusi penegak hukum, dalam hal ini kepolisian. Pasalnya, sejak kasus ini mencuat dan sesuai SPDP kepada kejaksaan Tolitoli, ada enam nama yang dijerat menjadi tersangka, yakni Donatus Marru, Nawir, Mansyur IB Lanta, Eko Juliantoro, Cony J. Contiadago dan Syamsul Alam.
Namun sampai pada tahap penuntutan, hanya empat nama yang tembus ke persidangan. Nama Donatus Marrru dan Nawir tidak ada.
Padahal berdasarkan fakta persidangan, Donatus Marru memiliki peran utama atau otak intelektual atas kasus ini.
Kepala Seksi (Kasi) Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Tolitoli, Ridwan Marban mengatakan, pihaknya telah menerbitkan dan melayangkan P17 (Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan) kepada penyidik kepolisian, namun tidak ada perkembangan, hingga akhirnya pihaknya mengembalikan SPDP ke penyidik kepolisian.
Faktor inilah yang menyebabkan kasus ini tertunggak sekitar tiga tahun, baru kemudian dilimpahkan ke pengadilan.
“Daripada menjadi tunggakan kejaksaan, maka SPDP-nya dikembalikan. Kami sudah menjalankan sesuai KUHAP dan SOP kejaksaan,” kata Ridwan Marban.
Terkait hal tersebut, praktisi hukum, Dr. Elvis DJ. Katuwu mengatakan, siapa yang tercatat dalam SPDP, dialah tersangkanya dan tidak ada yang namanya dari enam menjadi empat.
“Hal itu berkaitan dengan bukti-bukti yang harus mereka pertanggung jawabkan. Jadi dalam hal ini, penyidik punya kewajiban untuk mencukupkan bukti-bukti yang sudah mereka upayakan. Bila dikatakan sudah penyidikan berarti mereka yakin bahwa bukti itu sudah cukup,” kata Elvis.
Dia menambahkan, hilangnya nama tersangka perlu dipertanyakan dan penyidik harus bertanggung jawab
“Artinya, jika sudah mengeluarkan SPDP maka mereka harus memenuhi petunjuk yang dibutuhkan oleh penuntut dalam hal orang menjadi tersangka. Bila kemudian hilang, maka perlu dipertanyakan kualitas mereka,” jelasnya.
Menurutnya, penyidik tidak boleh pasif, mereka harus berusaha memenuhi petunjuk jaksa.
Apalagi kata dia, fakta dalam sidang memberi gambaran bahwa dua tersangka yang hilang adalah otak intelektualnya.
Dalam rangka Equality Before the Law (asas persamaan di hadapan hukum), penegakan hukum dalam rangka menyelamatkan keuangan negara, maka yang menjadi penyidiknya harus professional dan tak terkesan kongkalingkong.
“Semua yang terlibat ikut dengan bukti bahwa mereka menikmati uang negara secara illegal. Siapapun dia, apa pangkat dan kedudukannya, maka tetap sama di mata hukum, tidak boleh ada pengecualian,” tegasnya.
Donatus Marru merupakan Direktur PT. Supin Raya, perusahaan yang satu group dengan PT. Karya Lestari.
Dalam pelelangan proyek Gernas Kakao sendiri, ada 11 perusahaaan yang terlibat, namun hanya tiga yang memasukan dokumen penawaranya, yakni PT. Trio Yudha Prima, PT. Green Medikatama dan PT. Karya Lestari. Namun tiga-tiganya dikendalikan oleh Donatus Marru.
Terbuktinya kolusi dari ketiga perusahaan tersebut adalah dari kesamaan penulisan dalam dokumen, seperti nama staf, bahkan menggunakan tenaga teknis yang sama.
Sebenarnya, ketiga perusahan tersebut tidak memenuhi syarat, tapi oleh Eko Juliantoro diloloskan dan dikondisikan PT. Karya Lestari sebagai pemenang lelang.
Sementara Nawir sendiri merupakan pegawai PT. Supin Raya yang dipercayakan oleh Donatus Marrru untuk mengurus dan memfasilitasi pertemuan antara Mansyur IB Lanta, Conny J Cantiadago, Eko dan Syamsul Alam di Makassar.
Pada saat pertemuan di Makassar, mereka diangkat melalui surat keputusan, dimana Mansyur IB. Lanta sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Eko Juliantoro sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Cony J. Contiadago pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PP-SPM).
Hanya saja, dalam pertemuan sebanyak dua kali tersebut mereka belum menerima SK pengangkatan.
MELIBATKAN BUPATI
Proses perjalanan persidangan Gernas Kakao di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri (PN) Palu, cukup panjang dan menyita perhatian, salah satunya karena menghadirkan paling banyak saksi, yakni 145 orang yang terdiri dari 92 ketua kelompok tani dan tenaga teknis yang diperiksa secara bertahap.
Di persidangan, terdakwa Cony J. Cantiodago membeberkan keterlibatan sejumlah petinggi, baik di kepolisian, kejaksaan, bahkan Bupati yang disebut-sebut turut kecipratan dana gernas kakao.
Atas perintah ketua majelis hakim, JPU pun harus menghadirkan Bupati Tolitoli, Moh. Saleh Bantilan.
Di persidangan, Bupati Tolitoli menampik bahwa dirinya telah menerima cek travel satu miliar. Dia bahkan mengaku tidak tahu sama sekali travel cek tersebut yang diberikan kepada mantan istrinya Nuraeni Yusuf Bantilan dan adiknya.
Tapi Cony tetap berkeyakinan telah memberikan travel cek kepada Bupati Saleh Bantilan. Sayangnya, Cony tidak bisa memberikan bukti pendukung atas keterangannya itu.
Tak hanya Cony, Mansyur IB Lanta juga membenarkan adanya travel cek yang diberikan kepada Bupati. Namun keteranganya berubah ketika Saleh Bantilan sudah dihadirkan di persidangan.
Mansyur mengatakan, travel cek itu hanya diserahkan kepada ajudan Bupati, Endriko, yang kini telah almarhum.
Begitupun Donatus Marru, saat dihadirkan sebagai saksi, dia mencabut keterangannya di BAP mengatakan segala terkait keuangan semuanya dikelola owner atau pemegang group perusahaan James Yogianto. Padahal dari keterangan saksi dan terdakwa, segala pengelolaan keuangan dilakukan Donatus Marru.
Terkait pertemuan di Makassar, menurutnya sudah merupakan standar pelayanan perusahaan bagi tamu yang datang.
Donatus juga menyampaikan bahwa gaji seorang direktur sebesar Rp15 juta per bulan, ditambah bonus.
Namun kenyataannya, Syamsul Alam hanya mendapatkan gaji Rp3,5 juta per bulan dan hanya sekali mendapat bonus. Namanya hanya sebagai formalitas sebagai Direktur PT. Karya Lestari, namun pada kenyataannya hanya bekerja sebagaimana karyawan biasa. Segala yang terkait pengelolaan keuangan, dikendalikan Donatus Marru.
Eki, Yohanis Budiman Napat, Syarifudin A. Datu selaku kuasa hukum para terdakwa, menilai, Donatus merupakan otak intelektual dalam kasus ini.
Berdasarkan SP2D pencairan senilai Rp10,86 miliar, semuanya masuk ke rekening perusahaan PT. Suffin Raya. Dana inilah kemudian secara bertahap ditransfer ke rekening Nurlela sebesar Rp5.68 miliar digunakan untuk pembayaran bibit sambung samping, okulator dan lainya.
Yohanis mengatakan, bila dicermati, masih ada dana tersisa sebesar Rp5 miliar lebih yang mengendap di rekening perusahaan Donatus Maru. Sementara yang bersangkutan tidak pernah diseret sampai ke tahap penuntutan.
“Pertanyaan kemudian, wajarkan Rp5 miliar lebih itu sebagai keuntungan perusahaan. Untuk itu, kami selaku kuasa hukum terdakwa meminta Kapolda agar memerintahkan Kapolres Tolitoli mengusut dimana berkas perkara tersebut mengendap,” tekannya.
Kuasa hukum lainnya, Syarifudin A. Datu, mengatakan, keterangan Donatus Maru di BAP awal sangat sesuai dengan keterangan saksi-saksi yang telah diperiksa sebelumnya, bahwa segala keuangan terkait proyek gernas kakao, sepenuhnya dalam pengelolaan Donatus.
Namun semua itu dibantah oleh Donatus dengan mencabut sendiri keterangannya di BAP.
“Jadi ada mata rantai yang terputus karena semua saksi yang diperiksa mengatakan bahwa Donatuslah yang berperan dalam proyek gernas kakao ini,” imbuhnya. (IKRAM)