Pagi yang terik di halaman Gedung Serbaguna II FKIP Untad telah padat dengan ragam mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan.

Bukan sedang mengikuti antrean sembako. Mereka adalah mahasiswa yang sedang bergumul melaksanakan giat “gelar karya” PPG Prajabatan gelombang 1 Tahun 2023, Kamis (06/06).

Sebagai calon-calon guru yang akan dianggap profesional, mereka memang harus melewati serangkaian tahapan untuk meraih gelar “Gr” setelah “S.Pd” lewat sertifikat pendidik dengan menjalani kuliah PPG Prajabatan.

Gelar karya hanya sebagian kecil. Ini hanya bagian dari tugas mata kuliah Proyek Kepemimpinan. Karena, menjadi guru, tantangan mencerdaskan kehidupan anak bangsa tidak cukup hanya dengan belajar. Guru harus memiliki jiwa kepemimpinan yang bersinergi dengan masyarakat.

“Gelar karya proyek kepemimpinan ini, melakukan praktik bukan hanya disekolah tetapi bersama komunitas. Ada 8 kelompok proyek yang tersebar di berbagai daerah,” kata Prof. Dr. Ijiriana, S.Pd., M.Si selaku Koordinator  PPG Prajabatan, di sela acara.

Delapan kelompok mahasiswa melakukan tugas pemberdayaan pendidikan ini dengan memilih sendiri lokasi di Sulteng yang dirasa penting.

Di sela-sela tugas perkuliahan yang padat, tidak menghambat mahasiswa mengerahkan kreativitas pun akhirnya turut terarus mengamati kondisi pendidikan di beberapa daerah di Sulteng.

Tak ayal, dalam perjalanan menyelesaikan tugas proyek kepemimpinan, mahasiswa dengan berani mendengungkan narasi kritis tentang keprihatinan mereka terhadap kondisi pendidikan di tempat mereka bertugas.

Berikut yang ditemukan:

Kesenjangan pendidikan di daerah perkotaan dan pedesaan

Masyarakat Uwe Tua adalah sebutan warga lokal di wilayah Desa Ape Maliko. Sebuah desa berjarak sekitar 10 kilometer (km) dari jalan poros Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala.

Kecamatan Sindue secara umum adalah salah satu wilayah terdampak parah gempa bumi 28 September 2018 silam.

Lokasi ini menjadi pilihan Rahmawati dan 11 kawannya, lantaran kondisi pendidikan di wilayah tersebut baginya memprihatinkan.

Kelompok masyarakat Uwe Tua merupakan orang-orang dengan pola kehidupan semi nomaden. Terdapat sekolah yang dihadirkan oleh pemerintah, yaitu  SDN 25 Sindue.

Sayangnya, semenjak pascabencana SDN 25 Sindue tidak memiliki bangunan permanen. Sehingga,  keterbatasan sarana serta minimnya fasilitas belajar yang dimiliki anak-anak Uwe Tua nampak jelas terlihat.

Kondisi ini mengukap fakta pendidikan di Indonesia saat ini belum merata. Kesenjangan hak pendidikan antara wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan ini justru menjadi ironi, mengingat wilayah Kecamatan Sindue hanya berjarak beberapa kilometer dari wilayah Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.

Minim fasilitas literasi

Bukan kajian baru jika masalah literasi masih menjadi problematika berat di Indonesia. 

Minim fasilitas literasi nampak pada peserta didik di Dusun Sisere, Desa Labuan Toposo, Kabupaten Donggala. Sebuah Dusun yang berjarak 4 km jika ditempuh kendaraan bermotor dari Labuan Toposo.

Sem Pakiding, mahasiswa Prodi Pkn, meminta perhatian pemerintah agar sekolah di Dusun Sisere Desa Labuan Toposo memiliki fasilitas yang mendukung literasi, di kegiatan gelar karya PPG Prajabatan Untad, Kamis (06/06). (FOTO: media.alkhairaat.id/Mun)

Sem Pakiding, mahasiswa PPG Prajabatan bersama kawan jurusan PKN-nya menemukan kondisi pendidikan di Dusun Sisere yang lemah dari sisi akses. Jalan menuju lokasi berada di lereng membuat mayoritas masyarakat tidak menyentuh pendidikan formal.

Sem menilai, kondisi ini mestinya menjadi perhatian pemerintahan tentang nasib pendidikan di daerah terpencil dan memperoleh hak  pendidikan yang sama dengan daerah lain.

Siswa enggan sekolah, guru memakai metode konvensional

Film berjudul “Cahaya Pendidikan di Balik Pegunungan” menjadi pilihan Akbar bersama 12 kawannya untuk menyelesaikan tugas proyek kepemimpinan PPG Prajabatan.

Sebuah film garapan bersama Palindo Official menayangkan aktivitas pendidikan sebuah sekolah di Baluase, yakni SDN Inpres Baluase. Sebuah Desa yang berada di Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi.

Dalam hasil observasi Akbar dan kawan-kawan, menyebutkan bahwa sekolah yang berada di Dusun III Baluase memiliki 200 KK. Namun, sekolah ini memiliki peserta didik yang relatif sedikit.

“Kadang siswa yang datang hanya 10, 5 saja satu kelas. Peserta didik lebih memilih membantu orang tua mereka di ladang, mencari rotan atau berkebun,” jelas Akbar.

Kenyataan ini mengungkap angka kemiskinan di Sigi berimbas pada keinginan belajar peserta didik, karena teralih dengan membantu orang tua bekerja.

Persentase penduduk miskin di kabupaten ini berada di urutan sepuluh dari 13 kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Tengah.

Selain itu, Akbar yang seorang mahasiswa program studi PGSD ini menilai, terkadang para guru masih menggunakan pendekatan konvensional saat mengajar, pun mampu berinovasi.

Syam Zaini yang turut hadir dalam pelaksanaan gelar karya turut berkomentar. Sebagai seorang Ketua PGRI Sulteng, ia mendorong pentingnya pemerintah daerah untuk mulai melirik kondisi pendidikan ini.

“Belum maksimal perhatian pemerintahan masalah pendidikan di daerah terpencil, padahal berada dekat dari Ibukota Kabupaten. Kami mendorong pemerintah daerah menurunkan fasilitas dan guru menyebar merata,” ujar Syam.

Reporter : Mun
Editor : Rifay