Oleh: Alamsyah Palenga*

BERHARAP perubahan hasil pilkada dengan pengerahan massa dapat dianggap sia-sia dan harus ditolak, karena sistem pemilu yang demokratis tentu dilengkapi dengan mekanisme hukum yang ketat untuk memastikan integritas proses pemungutan suara. Beberapa alasan mengapa hal ini cenderung tidak efektif antara lain:

1. Kepastian Hukum: Hasil pemilu ditentukan oleh undang-undang dan badan penyelenggara pemilu, seperti KPU (Komisi Pemilihan Umum) di Indonesia. Setiap perselisihan hasil diselesaikan melalui mekanisme hukum, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), bukan melalui tekanan massa.

2. Legitimasi Proses: Proses pemilu yang sah memberikan legitimasi kepada hasilnya. Pengerahan massa tanpa bukti kuat hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi tanpa memberikan hasil yang nyata.

3. Risiko Kekacauan Sosial: Demonstrasi besar-besaran sering kali membawa risiko kekacauan, kerusuhan, atau konflik, yang justru dapat merugikan masyarakat secara luas tanpa mengubah hasil yang telah disahkan.

4. Kekuatan Institusi: Dalam negara yang memiliki institusi demokrasi yang kuat, keputusan pemilu hanya dapat diubah melalui jalur konstitusional, bukan melalui tekanan massa.

Apalagi kalau yang menjadi obyek sengketa adalah rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Kalau yang dipersoalkan adalah hasil pemilu, ngadunya ke Mahkamah Konstitusi. Kalau ia soal proses pemilihan, ngadunya ke Bawaslu. Nah kalau rendahnya tingkat partisipasi pemilih ngadunya kemana? Ke dukcapil, ke pengadilan? Ke RT atau RW? Kan jadi tidak jelas.

Partisipasi pemilih adalah hak warga negara yang dijamin UUD 1945 (pasal 27 atat 1 dan 28D ayat 1), karena ia dijamin UUD maka upaya menghalangi kebebasan memilih adalah pelanggaran dan bisa dipidana secara hukum. Demikian juga bagi warga yang tidak melaksanakan haknya, ia tidak bisa dipidana, karena itu bukan kewajiban.

Di saat bersamaan, kewajiban memilih tidak diatur di dalam UU, ia lebih merupakan kewajiban moral warga negara.

Oleh karena itu saya lebih suka mengambil pendapat yang mengatakan bahwa rendahnya partisipasi pemilih disebabkan faktor faktor lain seperti pasangan calon yang ada kurang menarik, rendahnya kepercayaan terhadap sistem politik, kurangnya pendidikan politik, apatisme atau kepasrahan politik dikarenakan kecewa yang berulang atas hasil yang diharapkan tak kunjung terwujud dari pilkada ke pilkada.

Lagian siapa yang menjamin rendahnya partisipasi pemilih hanya akan menguntungkan satu pasangan calon saja?  Kalau saya jadi hakim MK, maka dengan tegas akan menolak hal itu untuk diperkarakan karena tidak memenuhi unsur.

Oleh karena itu munculnya logika – logika yang diarahkan pada upaya mendeligitimasi hasil pilkada adalah logika sesat. Itu bukan kebenaran, itu murni politik. Ia dipicu oleh keinginan politik ingin menang. Jika logika ini terus dipaksakan apalagi dengan segala cara, maka ia bukan hanya sia – sia, tapi akan membuat masyarakat semakin terjerumus ke dalam jurang apatisme yang disebabkan oleh perilaku elit.

Sebagai warga negara, warga biasa, saya memilih memberi kepercayaan kepada penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu untuk bekerja sampai tuntas. Jika ada sengketa, silahkan diselesaikan lewat jalur hukum. Kami warga masyarakat akan kembali bekerja, berkeringat mengais rejeki sembari menikmati kopi hitam pahit dan sesekali menyaksikan tontonan lakon para elit.

*Penulis adalah Ketua Pimpinan Pusat GP Ansor/ Wasekjend PB Alkhairaat