Menghitung dosa adalah hal yang mungkin sangat jarang kita lakukan. Sungguh sangat berbeda dengan para tabi’in, mereka adalah generasi yang senantiasa menhitung dosa-dosa yang mereka lakukan sampai mereka bisa menebak jumlah dosa yang telah dilakukan.
Seorang tabi’in bernama Riyah al-Qaisi yang mampu menghitung banyak dosa yang telah dia lakukan dengan mengatakan, “Aku mempunyai lebih dari 40 dosa dan aku beristighfar untuk setiap dosa sebanyak 100.000 kali.”
Mungkin timbul pertanyaan, “Kenapa mereka bisa dengan mudah menghitung dosa-dosa mereka?” Jawabannya, karena mereka memiliki hati yang selalu sadar, yang selalu peka sehingga tidak ada kesempatan bagi noda dosa hinggap di permukaan hati mereka. Bukankah dosa bisa menyebabkan kegelapan hati? Seperti yang Allah firmankan dalam surah Al-Muthaffifin, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.”
Ayat di atas merupakan teguran yang sangat keras dari Allah, bahwa dosa-dosa yang kita lakukan dapat membuat hati tersebut menghitam. Bukankah kaca yang dipenuhi debu tidak akan mampu ditembus oleh cahaya? Begitu juga dengan hati, ketika hati tersebut penuh debu-debu dosa maka akan sulit merasakan indahnya cahaya hidayah, sehingga hati tersebut menjadi keras dan sulit mengeluarkan air mata taubat.
Ketika kita tidak pernah menghitung atau menghisab diri berkaitan dosa-dosa yang pernah kita lakukan, sungguh takutlah kelak ketika kita berdiri di hari penghitungan! Berdiri menghadap Rabb seluruh alam, di saat itu kita akan terkejut ketika melihat catatan amal penuh dengan dosa-dosa yang tidak pernah kita hitung dan kita taubati. Ingatlah Saudariku, di akhirat tidak ada lagi hari beramal tapi hari menghisab amal. Sehingga Umar bin Khattab mengatakan, “Hisablah dirimu, sebelum Allah menghisabmu!”
Seorang tabi’in bernama Abdul Wahid bin Zaid mengatakan, “Aku pergi bersama Utbah Al Ghulam untuk suatu keperluan. Ketika kami berada di halaman rumah para jagal, aku melihat Utbah berkeringat deras sampai basah, padahal hari itu sangatlah dingin. Aku pun bertanya kepadanya, “Utbah, engkau basah dengan keringat? Padahal hari ini sangat dingin.”
Dia diam dan tidak berkata sepatah kata pun. Aku bertanya lagi, “Apa yang engkau rahasiakan?”
Aku terus bertanya sampai ia menjawab, “Aku teringat dosa yang pernah aku kerjakan di tempat ini.”
Bisakah kita mencontoh Utbah Al Ghulam? Bukankah kita juga pernah meninggalkan bekas-bekas dosa pada setiap tempat? Pernahkah kita merasakan ketakukan setiap kali kita melihat tempat-tempat yang dulu pernah kita singgahi untuk bermaksiat? Bukankah kelak Allah akan perintahkan bumi untuk menyampaikan berita-beritanya seperti yang Allah firmankan dalam surah Al-Zalzalah?
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya.” (QS. Al-Zalzalah: 4–5)
Bukankah kita adalah orang yang lebih pantas untuk menghitung dosa-dosa kita? Dosa mata karena memandang yang diharamkan. Dosa telinga yang sering mendengarkan musik atau perkataan yang tak bermanfaat. Dosa tangan karena bersentuhan dengan lawan jenis dan dosa-dosa anggota tubuh kita yang lainnya.
Tidakkah ingin kita mentaubati dosa-dosa tersebut? Hasan Al-Bashri mengatakan, “Sesungguhnya orang mukmin jika berbuat dosa maka dia akan selalu bersedih hingga berhasil masuk surga.”
Apakah perasaan sedih tersebut sudah sering hadir? Maka mulai sekarang tulislah, hitunglah, taubatilah dosa-dosa yang telah kita lakukan! Jadikan ingatan dosa menjadi motor penggerak untuk semangat beribadah kepada Allah Ta’ala. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)