Agar hidup lebih tentram dan bermakna maka  teruslah  menghidupkan hati. Hati yang hidup akan mampu merasakan perbedaan baik dan buruk, sehingga akan merasa senang dalam kebaikan dan segala keburukan akan terasa sedih tatkala mengingatnya.

Bila senang terhadap kebaikan, akan muncul keinginan untuk terus berbuat baik dan berusaha bersama orang-orang yang berbuat baik. Sebaliknya, akan timbul rasa menyesal yang amat dalam terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang terlanjur dilakukan.

Lantas bagaimana menghidupkan hati agar tak mati? Banyak cara telah dianjurkan ulama, termasuk menghadiri majelis-majelis ilmu atau duduk bersama ulama. Menghadiri majelis-majelis ilmu sesering mungkin, antara lain, akan mengingatkan kita akan kehidupan dunia yang singkat dan kehidupan akhirat yang abadi.

Sedangkan menghindari majelis-majelis ilmu akan melupakan kehidupan akhirat. Sehingga kehidupan dunia ini akan terus-menerus dalam upaya mengejar kesenangan duniawi seperti kedudukan, harta, dan sejenisnya.

Bila ini yang menjadi targetnya, tak akan merasa sedih bila harus melakukan hal-hal buruk, seperti menipu orang-orang yang sanggup ditipu dengan janji-janji palsu.

Orang yang mampu menghidupkan hati akan bisa mengelola rasa, mengendalikan sikap keegoannya dan bisa menyingkirkan rasa-rasa yang menggangu.

Misalnya, bila ingin hadir rasa tenteram dalam hidup ini, kita diajak untuk menyingkirkan rasa iri atau dengki terhadap apa yang dimiliki orang lain, seperti harta kekayaan, pangkat, jabatan, dan kenikmatan.

Rasa iri terhadap kekayaan orang lain menimbulkan rasa tersiksa dengan perasaan gundah atau sakit di hati kita, sehingga bisa terdorong untuk melakukan apa saja agar seperti orang lain.

Makanya banyak orang menjadi koruptor karena tak mau menyingkirkan rasa iri hati.

Bila membuncah rasa iri kita terhadap kenikmatan hasil korupsi dan menjual barang haram, ingatlah bahwa sesungguhnya itu rasa nikmat yang palsu. Apalagi banyak jatah orang banyak telah dirampas paksa. Juga, rasa nikmat hasil perbuatan seperti itu mendatangkan murka Allah, sehingga lambat atau cepat akan dibalas dengan azab dengan penderitaan panjang.

Berbeda dengan insan yang pandai mensyukuri rasa nikmat yang Allah berikan dan bertaqwa.

Allah akan selalu dirasakan hadir dalam setiap langkahnya. Sehingga akan berusaha untuk menjauhi rasa-rasa yang mengganggu rasa tenang dalam mengingat Allah. Juga akan menyingkirkan rasa-rasa yang mengganggu hubungan baik dengan sesama manusia.

Benarlah firman Allah SWT:   Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. ar-Ra’d: 28).

Sebenarnya Allah Swt. mengilhamkan di dalam hati sanubari kita kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran. Hanya saja hawa nafsu seringkali lebih kuat mendominasi diri kita sehingga tertutuplah bisikan nurani kita oleh bisikan hawa nafsu.

Seperti ketika kita menghadapi orang yang sikapnya membuat kita kesal. Hawa nafsu mengajak kita untuk marah, tapi sebenarnya hati nurani mengajak kita untuk menahan amarah dan lebih banyak mengingat kebaikan yang pernah dilakukan orang tersebut.

Oleh karena itu biasakanlah untuk menahan diri ketika emosi muncul di dalam diri kita. Diam jauh lebih baik daripada berkata buruk atau sia-sia. Ingat-ingatlah kebaikan orang yang sedang membuat kita kesal. Beristighfarlah dan berpikirlah positif.

Jika hal ini bisa kita biasakan, insyaa Allah kita akan terampil mengendalikan hawa nafsu kita dan tetap pada jalan yang Allah ridhoi. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)