Sebulan penuh dalam Ramadhan seluruh potensi dikerahkan untuk membesarkan Allah Ta’ala. Tapi  Allah  masih juga memerintahkan kita untuk  tetap bertakbir menutup  Ramadhan.

Padahal dalam Tarawih dan Tadarus kita sudah membesarkan Allah? Bukankah pada malam Idul Fitri kita juga bertakbir? Mengapa kita masih harus bertakbir lagi? Mengapa kita masih harus membesarkan Allah lagi?

Sang pemilik alam amat tahu betul bahwa  kita sering takbir dalam ibadah-ibadah, tetapi ironinya kita sering melupakan takbir di luar itu. Kita besarkan Allah hanya di masjid saja, tapi di luar masjid kita kembali mengagungkan kekayaan, kekuasaan dan kedudukan. Kita besarkan hawa nafsu, kepentingan, dan pikiran kita.

Di atas sajadah sembahyang, di masjid, mushalla, di tempat-tempat ibadah, kita gemakan takbir. Sementara, di kantor, pasar, ladang dan di tengah-tengah masyarakat, kita lupakan Allah dan kita gantikan takbir dengan takabbur.

Saat di kantor  kita campakkan perintah-perintah Allah. Jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk memakmurkan negara, melayani rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita manfaatkan untuk memperkaya diri.

Kita bangga kalau kita mampu menyalahgunakan fasilitas kantor. Kita bangga kalau kita melihat rakyat yang harus kita layani merengek-rengek bersimpuh memohon belas kasihan kita.

Kita bangga dengan sedikit kecerdikan kita menumpuk keuntungan walaupun mengorbankan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Ternyata di kantor kita singkirkan takbir dan kita suburkan takabbur.

Di dunia bisnis  kita menjalankan bisnis seakan-akan Allah tidak pernah hadir dalam hati kita. Kita lakukan cara apapun tanpa peduli halal-haram, tanpa memperhatikan apakah tindakan kita menyengsarakan banyak orang.

Kita lupakan firman Allah yang datang setelah perintah puasa. “Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 188).

Seakan kita lupakan firman tersebut, bahkan kita merasa hebat bila kita dapat mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, walaupun mencampakkan firman Allah, kita sudah menggantikan takbir dengan takabbur.

Di tengah-tengah masyarakat kita tidak lagi mendengar firman Allah yang mengajarkan kejujuran, keikhlasan, kasih sayang dan amal saleh.

Lalu kita  dengan  setia  mengikuti petunjuk iblis untuk melakukan penipuan, kemunafikan, kekerasan hati dan penindasan. Allah yang kita besarkan dalam shalat dan doa kita, kita lupakan dalam kehidupan kita.

Dalam puasa kita menahan diri untuk tidak memakan makanan dan minuman yang halal, tetapi kita berbuka dengan makanan dan minuman yang haram. Bibir kita kering karena kehausan, perut kita kempis karena kelaparan, tetapi tangan-tangan kita kotor karena kemaksiatan.

Di rumah Allah  kita bertakbir tetapi di tengah-tengah masyarakat kita ber-takabbur, kita sering melihat inkonsistensi dalam perbuatan kita. Banyak orang yang fasih membaca Alquran, fasih pula memperdayakan orang lain. Banyak orang yang tidak putus puasanya, tidak putus pula kezalimannya.

Dengan demikian tasyakur yang benar ialah bila kita masukkan takbir dalam menggunakan nikmat-nikmat Allah. Kita gunakan nikmat hidup kita untuk membesarkan asma-Nya, menjunjung tinggi syariat-Nya, menghidupkan agama-Nya dan menyayangi para hamba-Nya.

Kita gunakan nikmat kekuasaan, kekayaan dan pengetahuan untuk sebesar-besarnya mewujudkan kehendak Allah di bumi. Allah mengajarkan cara tasyakur amal ini dalam firman-Nya, “Dan nikmat Tuhanmu kabarkanlah” (QS. adh-Dhuha: 11).

Mengabarkan nikmat artinya menyebarkan nikmat yang kita peroleh pada orang lain. Kita bagikan kebahagiaan kita pada orang lain, anak yatim dan fakir miskin. Makin banyak yang ikut merasakan nikmat yang kita peroleh, makin bersyukurlah kita.

Anda menjadi orang kaya yang paling bersyukur, bila kekayaan anda bisa dinikmati oleh orang banyak, sumbangkan ke fakir, berikan kepada si miskin.

Kelebihan rezeki yang anda peroleh tidak anda gunakan untuk barang-barang konsumtif yang hanya berfungsi untuk meningkatkan harga diri. Anda tidak menikmatinya sendiri. Anda telah menyebarkan nikmat kepada orang lain. Inilah tasyakur dalam amal.

Alquran dimulai dengan nama Allah (Bismillah) dan diakhiri dengan nama manusia (An-Nas). Shalat dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, penghormatan kepada manusia.

Puasa dimulai dengan menahan makan dan diakhiri dengan memberi makan kepada orang lain (zakat fitrah). Ini  semua menunjukkan bahwa Ramadhan dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan tasyakur. Maka mari menjaga konsistensi takbir kita. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)