Ketenangan batin, kebersihaan hati dan kelembutan perasaan menjadi esensi hidup yang sangat dibutuhkan di tengah masyarakat yang saat ini sudah banyak tak peduli kecuali hanya pada keinginan dan kepentingan dirinya sendiri.
Lihatlah kenyataan di sekeliling kita, bacalah di media massa, dan lihatlah tontonan di TV, begitu banyak yang suka mengorbankan orang lain demi kebahagiaan dirinya sendiri.
Banyak yang senang ketika melihat orang lain menangis dan menderita di saat dirinya masih bisa tertawa. Tidak terenyuh sedikitpun ketika melihat kaum miskin papa sakit-sakitan dengan anak-anaknya yang putus sekolah.
Ketika pribadi dengan sikap semacam ini menggejala di mana-mana, maka kondisi sosial semacam inilah yang disebut dengan masyarakat yang tidak teratur (social disorder), masyarakat berpenyakit dengan kesenjangan psiko-sosial yang sangat lebar.
Penyakit sosial seperti inilah yang menjadi pupuk penyubur krisis bangsa kita. Tidak adanya kesadaran diri (self awareness), ketidakmampuan mengatur diri (self-regulation), tidak peduli orang lain (emphaty), dan keengganan untuk memahami orang lain demi kebahagiaan bersama adalah diantara hasil diagnosa penyakit sosial ini.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai solusi?
Pertama adalah muhasabah (maknanya: pengujian atau koreksi diri untuk mengetahui kekurangan diri dan ketidak sempurnaan niat kita).
Kita renungkan diri kita sendiri, cari kekurangan dan kelemahan untuk kita perbaiki pada masa berikutnya, janganlah sibuk mencari kesalahan orang lain, sibuklah mencari kesalahan diri.
Ada peribahasa Indonesia yang sudah hampir terlupakan, yaitu: “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di seberang lautan terang terlihat.”
Sebuah penggambaran bahwa kesalahan orang lain walaupun kecil sangat gampang kita temukan, tetapi kesalahan kita sendiri walaupun sangatlah besar sulit untuk disadari.
Kalau ini yang terjadi dan menjadi agenda kehidupan yang tak terkoreksi dan terbaiki dalam jangka waktu lama, maka akan terbiasalah sikap menyalahkan orang lain dengan merasa dirinyalah yang paling benar, akan mudah kita membesar-besarkan kesalahan kecil orang lain sementara mengentengkan kesalahan besar kita sendiri. Muhasabah adalah metode penyembuhannya.
Kedua adalah riyadlah (kedisiplinan diri untuk melatih spiritual diri).
Latihan pengembangan jiwa dengan berupaya menghilangkan akhlak yang tercela (istilah yang sering digunakan al-Ghazali: al-madzmumah) untuk kemudian digantikan dengan akhlak yang terpuji (al-mahmudah).
Ibadah dalam Islam, seperti shalat, puasa, zakat dan haji sebenarnya memiliki dimensi riyadlah ini.
Riyadlah yang dimaksud dalam kajian ini tidaklah lain melainkan memaksimalkan olah potensi spiritualitas kita dengan konsisten menjalankan ibadah.
Ketika kita mampu, maka janji Allah akan berlaku, yakni jaminan kebahagian yang hakiki di dunia dan di akhirat nanti.
Allah berfirman dalam surat Hamim As-Sajdah ayat 30: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Tuhan kami adalah Allah dan kemudian istiqamah (konsisten) dengan pernyataannya itu, maka malaikat akan turun dengan menyatakan: Jangan kau takut, jangan kau bersedih, berbahagialah karena engkau akan mendapatkan surga yang dijanjikan.”
Dan yang ketiga adalah mujahadah (the daily combat against the lower self, the nafs/ perlawanan terus menerus melawan nafsu kita) sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran surat an-Naziat (79) ayat 40-41:” Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.
Al-Qusyairi dalam kitab al-Risalahnya juz I hal. 393, menyimpulkannya dengan sebuah ungkapan perintah: “Bunuhlah egomu dengan pisau mujahadah.”
Ketika ketiga hal tersebut sukses kita lakukan, maka saat itulah kita bisa memiliki kebeningan hati yang memancarkan kasih sayang, menebarkan kesejukan, melambangkan keindahan, memunculkan kebenaran, melahirkan kebaikan dan mewujudkan keadilan. InsyaAllah. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)

