HUJAN baru saja redah, saat media ini siang Rabu kemarin memasuki Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi. Udara terasa segar, di sisi kanan dan kiri jalan poros Palu-Kulawi, ladang sawah baru saja panen. Negeri yang asri, dan sumber air tak berhenti mengaliri persawahan milik petani.
Di sebuah rumah tampak sederhana, dikelilingi pepohonan lestari. Seorang lelaki usia senja duduk di kursi sofa mengenakan sarung dan kameja batik. Ia menyambut dengan senyum ramah, lalu mempersilakan masuk ke ruang tamu. Diskusi tanya jawab pun mengalir. Tentang masa lalu, tentang sang Guru Tua atau SIS Aljufri pendiri perguruan Islam Alkhairaat di Palu.
Ustadz Abdurrasyid Desa Pakuli salahsatu murid langsung Guru Tua sekitar tahun 1960-an. Ia menimba ilmu di perguruan Alkhairaat Pusat Palu hingga jenjang Mualimin 4.
Memori ingatannya masih jelas ketika menceritakan masa hidupnya bersama para murid Guru Tua lain di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Ia bahkan menguraikan detail saat sejumlah santri menjaga ketat kediaman Guru Tua karena maraknya penolakan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu. Instruksi tersebut atas perintah ketua satu atau Habib Saggaf bin Muhammad Aljufri. Tujuannya untuk menjaga keselamatan sang Guru Tua dan keluarga.
”Kami waktu itu, sama-sama murid Guru Tua diperintahkan untuk menjaga rumah karena ada PKI. Rupanya kami tidak tahu, rumah yang dijaga ketat itu, Guru Tua tidak ada lagi di dalam rumah dan tiba-tiba datang dengan membawa beras,” kata ustadz Abdurrasyid.
Ustadz Abudurraysid juga menceritakan ketika perjalanan mengunjugi madrasah di wilayah Kulawi Kabupaten Sigi. Dengan menumpangi mobil bersama rombongan Guru Tua. Jalan terjal saat itu tiba-tiba mobil mengalami kerusakan di tengah perjalanan. Sehingga membuat kepanikan dan mobil dalam kondisi berjalan mundur. Ustadz Abdurrasyid dalam bahasa Arab mempraktekkan ucapan Guru Tua kala itu, sembari memukul bagian bodi mobil, seketika mobil itu berhenti dan nyaris terjun ke dasar jurang.
”Itulah Guru Tua, banyak sekali keanehan-keanehan dan keajaiban yang tidak masuk logika dan pikiran kita manusia. Itulah karamah yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dekat dengan Dia (Allah), ketika hambanya butuh lansung diijabah Allah,” ujar ustadz Abdurrasyid.
Ustadz Abdurasyid juga mengenang saat kunjungan Guru Tua ke Desa Pakuli senantiasa mengujungi rumahnya. Kunjungan untuk melihat perkembangan madrasah di desa Pakuli.
Saat kunjungan Guru Tua, beberapa kali Guru Tua memangkas atau merapikan rambutnya bersama ayah ustadz Abdurrasyid yang sering dipanggil warga setempat om Bado Karim. Ustadz Abdurrasyid mengenang bahwa Guru Tua sangat senang jika merapikan rambutnya dengan ayahnya. Ustadz Abdurrasyid menceritakan suatu ketika ayahnya terbersit dalam hatinya untuk merapikan janggut Guru Tua, seketika Guru Tua reflek dan memegang janggutnya agar tidak dirapikan.
”Guru Tua tahu isi hati orangtua saya, tiba-tiba Guru Tua langsung memegang janggutnya dan berkata janggut saya tidak usah dirapikan,” ujar ustadz Abddurrasyid tersenyum.
Ustadz Abdurrasyid juga meceritakan saat Guru Tua mewasiatkan baju dalaman kaos kutang berwarna putih agar disimpan. Guru Tua berpesan, agar baju kaos miliknya itu jangan dicuci, dan kalau basah karena keringat langsung dijemur. Jika ada keluarga yang sakit selimuti atau pakaikan baju kaos itu kepada anak atau keluarga yang sedang sakit insya Allah akan sembuh.
”Alhamdulillah sembuh ada keluarga yang sakit waktu itu dipakaikan,” katanya
Sementara itu, Nursia merupakan ponakan dari ustadz Abdurrasyid juga menceritakan. Saat baju kaos milik Guru Tua dibawa menjadi bekal saat saudaranya hendak pergi kuliah di Jogja. Dengan harapan kuliah dan saudaranya bisa sukses dan selamat dalam menempuh pendidikan di kampung orang.
”Saya pernah lihat langsung baju kaos itu, sudah kuning warnanya, karena sudah lama disimpan, baju kaos itu dibawa ke Jogja, dan alhamdulillah saudara saya itu setelah selesai kuliah dan mendaftar ASN langsung lulus jadi ASN,” pungkasnya.
Reporter: Nanang IP/Editor: Nanang