OLEH: Amal Alkhairaaty

Hari ini kita berkumpul untuk kesekian kalinya dalam rangka mengenang sosok yang sangat berarti bagi kita semua.

Almarhum Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aljufri telah 50 tahun meninggalkan dunia ini dengan berbagai kenangan dan teladan yang patut diikuti.

Peringatan Haul ini adalah momentum untuk mengingat kembali perjuangan, pengorbanan dan dedikasi beliau terhadap ummat melalui Perguruan Alkhairaat yang dibangun dengan jiwa raga dan harta oleh ayahandanya Al-’Alimul ‘Allamah al-Bahrul Fahhamah Al-Haj As-sayyid Idrus bin Salim Aljufri.

Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aljufri, lahir di Kota Taris, Hadramaut, Yaman pada tahun 1915 Miladiyah/1333 Hijriyah dari pasangan Sayyid Idrus bin Salim Aljufri dan Syarifah Buhayyah binti Hasan Albahar.

Masa kecil beliau bersama kedua orang tuanya diliputi oleh suasana kehidupan ilmu pengetahuan yang religious.

Sekalipun belum ditemukan data tertulis tentang pendidikan Habib Muhammad, tetapi dapat dipastikan bahwa beliau dididik dan ditempa berbagai ilmu agama secara informal di lingkungan keluarganya, maupun masyarakat di Taris dan sekitarnya.

Hal ini dapat diketahui; pertama bahwa ayahnya adalah seorang ulama terkenal dan sebagai Qadhi di Taris serta memiliki sebuah madrasah yang dinamakan Alkhairaat.

Sebagaimana tulisan Sayyid Ahmad bin Muhammad bin Saqqaf Aljufri dalam kitabnya “Tarjamah al-Habib ‘Idrus bin Salim Aldjufri”, bahwa pada sekitar tahun 1918 M/1336 H, Habib Idrus bin Salim Aljufri membangun sebuah madrasah sebelah dinding bagian barat dari masjid Ibnu Shalah di Taris Hadramaut.

Acara peresmian madrasah tersebut dilangsungkan di “Qubah” Habib Abdurrahman bin Muhammad Aldjuri yang dikenal dengan gelar “Maula al-‘Arsyih”, dalam sebuah “Haflah” besar, dihadiri oleh kelompok masyarakat, dipimpin oleh guru-guru mereka yang ada di Taris.

Kedua, bumi Taris khususnya dan Hadramaut umumnya adalah tempat berkumpulnya orang-orang alim, takwa lagi bersih hati.

Habib Idrus bin Salim Aldjufri dalam keadaan sakit yang mendera dirinya, dua bulan sebelum kepergian menghadap Rabbnya, bersenandung dengan kasidah gubahannya:

Tak ada yang menyerupai Taris di bentangan bumi Hadhramaut. Kapan kami bisa pulang kembali ke sana.

Kemurnian hati, keindahan batin dan kebahagiaan sejati terdapat di sana. Berapa banyak ulama menjadi pahlawan.

Orang-orang takwa lagi suci dan jiwa-jiwa yang murni. Mereka menyebarkan kebaikan tanpa kenal lelah.

Habib Muhammad terlahir dari rahim Syarifah Buhayyah binti Hasan Albahar dengan nutfah suci pada sulbi pahlawan dua negeri, pemilik gelar al-‘Alimu al-‘Allamah wa al-Bahru al-Fahhamah al-Habib Idrus bin Salim Aldjufri.

Silsilah beliau bersambung sampai kepada Al-Haidar, Imami al-Haramain Ali bin Abi Thalib dengan al-Batul Fathimah al-Zahra’ bint Sayyidana al-Rasul Muhammad ibni Abdillah saw.

Jika ditilik secara geneologi beliau adalah keturunan ke-36 dari Nabi Muhammad saw.

Habib Muhammad adalah anak tertua dengan dua orang adik yaitu Habib Salim dan Syarifah Ragwan. Kedua saudara ini tidak datang ke Indonesia.

Habib Muhammad mewarisi sifat-sifat terpuji dari kedua orang tua dan keluarganya.

Di masa kecil beliau menyaksikan bagaimana sosok ayahnya yang ulet dalam mengajar dan berdakwah dengan penuh dedikasi, membimbing ummat ke jalan ilmu dan taqwa.

Sifat-sifat ini membentuk pribadi Habib Muhammad menjadi manusia berjiwa tegas dan bertanggungjawab dalam menghadapai tantangan hidup, selalu menunjukkan kesabaran dan ketabahan, serta berpegang teguh pada prinsip dan nilai-nilai islami yang dijunjung tinggi.

Menginjak dewasa sekitar awal tahun 1930an, Habib Muhammad muda dengan jiwa besar dan keberanian yang pantang menyerah, rela meninggalkan tanah kelahiran, meninggalkan ibu dan saudara-saudara serta keluarganya, berlayar berhari-hari.

Bahkan mungkin sebulan mengarungi laut Arab yang membentang di Samudra Hindia, laut merah dari teluk Aden ke Selat Malaka, melalui laut Cina Selatan sampai ke Pulau Jawa, menyusul ayahandanya ke Indonesia.

Di Indonesia tepatnya di Pekalongan, Habib Muhammad menikah dengan Syarifah Ragwan binti Thalib yang merupakan adik ipar Habib Idrus bin Salim Aldjufri ayahnya.

Syarifah Ragwan adalah Adik dari Syarifah Aminah binti Thalib. Sementara Syarifah Aminah adalah istri ke-3 dari Habib Idrus bin Salim Aldjufri yang melahirkan Syarifah Lu’lu’ dan Syarifah Nikmah.

Dari perkawinan Habib Muhammad bin Idrus Aldjufri dengan Syarifah Ragwan binti Thalib Aldjufri lahirlah tiga orang anak, yaitu Habib Saggaf, Habib Abdillah dan Syarifah Sakinah.

Setelah menikah dan mempunyai anak Habib Muhammad memikul tanggung jawab besar pada keluarganya, sehingga beliau harus bekerja keras menafkahi istri dan ke tiga anaknya.

Beberapa tahun di Pekalongan, beliau menyusul ayahnya yang sudah lebih dulu datang ke Sulawesi Tengah tepatnya di Palu.

Di Palu, Habib Muhammad bertemu dengan dua orang saudarinya, yaitu Syarifa Sidah dan Syarifah Sa’diyah.

Syarifah Sidah dan Syarifah Sa’diah adalah anak dari Habib Idrus bin Salim Aldjufri dengan Istri Ince Ame seorang putri bangsawan Kaili.

Di Sulawesi, terutama di wilayah tengah dan utara, tempat ayahnya mendirikan dan menyebarkan Pendidikan Alkhairaat, Habib Muhammad ikut belajar kepada ayahnya dan berdagang untuk membiayai kehidupan keluarganya.

Sekitar tahun 1950-an dalam perjalanan dakwah dan berdagang. Di Tondano Habib Muhammad menikah untuk ke dua kalinya dengan Syarifah Alwiyah binti Alwy bin Salim Aldjufri.

Syarifah Alwiyah adalah putri pamannya Alwy bin Salim Aldjufri dan Syarifah Nur binti Abdullah Assagaf.

Dari pernikahan ini Habib Muhammad dikaruniai dua orang anak, yaitu Habib Alwy dan Habib Ali.

Sekitar tahun 1963 Syarifah Alwiyah meninggal dunia, pada saat itu Habib Ali bin Muhammad Aljufri baru berumur sekitar 1 tahun.

Pada tahun 1965 atau 1966, Habib Muhammad menikah lagi dengan Syarifah Fathimah binti Hasan Alidrus dan dikaruniai satu orang anak, yaitu Habib Shaleh bin Muhammad Aldjufri.

Habib Alwy bin Muhammad Aldjufri pernah menceritakan, bahwa kurang lebih umur delapan atau sembilan tahun, beliau bersama ibunya datang dari Tondano ke Palu menemui Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aldjufri ayahnya.

Pada saat pertemuan mereka, Syarifah Alwiyah menyatakan kepada Habib Muhammad, “Saya datang ke sini bertemu denganmu untuk menyampaikan bahwa, saya siap “rujuk” kembali dengan syarat engkau harus melanjutkan belajar kepada Abamu (Habib Idrus bin Salim Aldjufri) dan semua perniagaanmu saya yang urus”.

Habib Muhammad menerima syarat tersebut dan mulai giat belajar kepada Habib Idrus bin Salim Aldjufri, ayahnya.

Diceritakan pula bahwa saking giatnya Habib Muhammad belajar, Kitab Ajrumiyyah beliau baca dan hafal dalam perjalanannya dari Boyauge ke Madrasah Alkhairaat yang ada di Kamonji.

Kealiman Habib Muhammad sempat diragukan oleh beberapa murid Habib Idrus, karena mereka melihat Habib Muhammad sibuk dalam tijarah atau berdagang, sedangkan mereka senantiasa qira’ah/membaca kitab di hadapan Habib Idrus bin Salim Aldjufri.

Dengan basyirah yang dimiliki Habib Idrus. beliau memanggil Habib Muhammad anaknya, untuk gira’ah di hadapannya dan dihadiri oleh murid-muridnya agar mengikis keraguan mereka atas kemampuan Habib Muhammad dalam membaca kitab.

Ternyata mereka kagum setelah melihat dan mendengar bacaan Habib Muhammad begitu lancar dan fasih.

Sedangkan mereka yang sebelumnya pernah merasa lebih alim dari Habib Muhammad justru bacaan mereka masih terdapat kesalahan, bahkan yang menegur kesalahan bacaam mereka bukan Habib Idrus, tetapi Habib Muhammad.

Kitab yang mereka baca adalah kitab ihya’ ulumiddiin, karangan Imam Al-Ghazali.

Habib Idrus memuji kemampuan Habib Muhammad dalam gubahan syiirnya:

Muhammad memiliki pemahaman yang benar dalam ilmu nahwu. Sesekali dia tampil di majelis menunjukan kemampuannya.

Andai hal ini berlanjut tanpa berlebihan, kelak dia akan menjadi guru terbaik di Madrasah Alkhairaat.

Gubahan syair ini sebagai saksi sejarah tentang kealiman Habib Muhammad yang tak akan pernah sirna sepanjang zaman, sekaligus nasehat bagi kita semua untuk menghilangkan syak wasangka negatif dan sifat merasa lebih baik, merasa paling pintar dari yang lainya.

Sifat takabbur seperti ini tidak pantas kita miliki. Abna’ul khairaat harus tampil dengan kemampuan ilmu yang mumpuni dengan mengedepankan akhlaqul karimah.

Hal ini selaras dari gubahan sya’ir Habib Idrus lainnya:

Hanya dengan ilmu dan akhlak seseorang dapat mencapai cita citanya.

Apabila anda ingin mendapatkan ilmu janganlah berprilaku sombong.

Senin, Tanggal 22 Desember 1969 M/12 Syawwal 1389 H, Habib Idrus bin Salim Aljufri pendiri Alkhairaat wafat.

Tampuk kepemimpinan tertinggi di Alkhairaat beralih ke Habib Muhammad atas kesaksian Habib Abdurrahman bin Syekh bin Salim Aldjufri, bahwa Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aldjufri mendapat amanah dari ayahnya untuk melanjutkan kepemimpinan tertinggi di Alkhairaat.

Pada awal kepemimpinan Habib Muhammad diperhadapkan dengan persoalan organisasi yang pelik, bahkan ada usaha membenturkan Habib Muhammad dengan Habib Saggaf anaknya, pada saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Alkhairaat.

Mencermati kerumitan yang dapat menggangu stabilitas organisasi, Habib Muhammad mengambil sikap tegas dengan membubarkan kepengurusan PB Alkhairaat, kecuali ketua umumnya.

Sikap tegas ini sebagaimana sikap Boneporte menebas benang kusut dengan satu tebasan dan tidak meninggalkan sisa, untuk menunjukkan kepada Sultan Alauddin Khalid akan ketajaman pedang buatannya.

Sebagai pemimpin tertinggi di Alkhairaat, Habib Muhammad pantang mundur dan menyerah dengan berbagai cobaan dan rintangan di kala itu, sehingga ada bahasa beliau yang terkenal:

goyang dulu gunung Donggala Kodi, baru kalian bisa menggoyang kepemimpinan saya”.

Ini pelajaran yang diajarkan oleh beliau untuk kita semua agar tetap teguh, sabar, tabah, dan tak perlu gentar dengan segala terpaan, selama kita dalam kebenaran, karena kebenaran pasti akan mengalahkan kebatilan,

Allah berfirman yang artinya “Dan katakanlah, Kebenaran telah datang, dan kebatilan telan lenyap. Sungguh yang batil itu pasti lenyap”.

Sikap tegas seperti ini beliau tempuh, karena beliau tahu pasti, bahwa Alkhairaat adalah milik ayahnya dan selanjutnya sebagai ahli waris beliau harus menjalankan amanah yang diembannya dengan penuh tanggungjawab untuk diabdikan bagi kemaslahatan ummat.

Beliau sadar, Alkhairaat tidak seperti organisasi keagamaan lainnya yang didirikan oleh sekelompok orang dalam bentuk organisasi melalui rapat-rapat, dan muktamar, sehingga organisasi itu menjadi milik ummat.

Alkhairaat didirikan oleh Habib Idrus seorang diri, mendidik, memfasilitasi semua keperluan murid-muridnya dengan sepenuh hati, mencurahkan seluruh jiwa, raga serta harta tanpa pamrih.

Sebagaimana yang Habib Idrus katakan dalam bait sya’irnya:

Aku mengajak setiap muslim menuju ilmu dan takwa, dengan seluruh jiwa dan raga, serta harta dan ucapan.

Dimulai dengan sebuah madrasah, terus berkembang menjadi ratusan beliau rintis sendiri tanpa ada organisasi selama kurang lebih 25 tahun.

Alkhairaat hadir sebagai organisasi nanti sekitar tahun 1956 dengan diadakan muktamar pertama di Palu.

Hal ini dibuktikan dengan sya’r beliau

Dua puluh lima tahun aku berjuang, Dengan memuji kepada Allah.Aku berjuang membangun (madrasah).

Madrasah-madrasah yang ada di seluruh pelosok negeri menjadi saksi, bahwa usaha dan ucapanku tidaklah sia-sia.

Sekalipun berpenampilan tegas, tetapi Habib Muhammad memiliki sifat pemurah lagi penyayang.

Kalaupun ada anak asrama yang melakukan kesalahan dan mendapat teguran keras darinya, bila tiba waktu makan beliau memanggilnya untuk makan bersama.

Seakan tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan yang bersangkutan. jika tak kunjung datang, beliau akan memerintahkan murid lain untuk mencarinya dan Habib Muhammad tidak akan menyentuh makanan tersebut sampai yang bersangkutan datang makan bersamanya.

Sudah menjadi kebiasaan Habib Muhammad ketika makan, harus ada yang menemaninya, kalau hidangan sudah disiapkan dan belum juga ada yang datang, beliau akan menunggu bahkan mencari orang untuk menyantap hidangan bersamanya.

Sifat-sifat mulia seperti inilah yang patut kita tiru dari sosok Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aldjufri.

Ketika beliau mengadakan kunjungan ke daerah untuk memantau Alkhairaat, beliau ikut membawa barang dagangannya, sebagian dari keuntungannya untuk keluarga, sebagian untuk Alkhairaat, sebagian lagi untuk membiayai kehidupan para santri di asrama.

Kerja keras beliau, tidak menghilangkan sifat kedermawanannya. Beliau sering membantu dan memberikan sesuatu walaupun dalam keadaan susah.

Inilah akhlak para leluhur beliau dari ahlul bait Rasulullah dan akhlak para sahabat Nabi yang mulia.

Sehingga Allah abadikan di dalam Alqura’an di surat al-Hasr ayat 9:

“Orang-orang (Anshar)_yang telah menempati Kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri, meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, itulah orang-orang yang beruntung.”

Semasa hidup ayahnya, Habib Muhammad ditugaskan mengelola asrama.

Dalam mengelola asrama beliau sangat disiplin, terutama soal shalat lima waktu dan “rauhah” selepas shalat asar. Tidak boleh ada anak asrama yang lambat shalat berjama’ah dan tidak mengikuti rauhah.

Diceritakan dari anak-anak asrama asal Manado; Suatu ketika Habib Muhammad mengimami shalat asar, selesai rakaat ke tiga terdengar bunyi hentakan kaki menaiki tangga ke lantai dua yang beralaskan papan, menuju tempat shalat berjama’ah. Setelah salam mestinya ada yang berdiri karena masbuk, tetapi Habib Muhammad melihat tidak ada satupun jama’ah yang berdiri, semuanya ikut salam bersamanya. Habib Muhammad keluar dari mihrabnya menuju ke arah tangga untuk melihat tanda telapak kaki orang yang masbuk.

Dipanggillah salah satu murid yang diketahui sebagai orang yang masbuk tadi, untuk diberikan sanksi.

Dari mana Habib Muhammad mengetahuinya? Ternyata tanda telapak kaki yang terlihat di tangga memiliki jari enam. Dan hanya murid yang dipanggil tadi dari semua anak asrama yang memiliki kaki berjari enam.

Cerita lainnya terjadi kepada santri asal Manado Bernama Ali Minabari yang punya kebiasaan membuat “dabu-dabu” sebagai teman santapan nasi pada saat makan malam.

Mendengar suara mu’azin mengumandangkan azan shalat asar, Ali bersegera menyiapkan diri, sementara dabu-dabu belum sempat dibuatnya.

Takut kalau terlambat shalat berjama’ah dan bahan dabu-dapu yang sudah disiapkan diambil temannya, Ali dengan cekatan memasukkan semua bahan dabu-dabu ke kantong depan kemejanya dan bersegera menuju tempat shalat.

Di Mushalah Ali mengambil shaf depan samping kanan imam. Saat rukuk pada rakaat pertama semua bahan dabu-dabu keluar dari kantongnya.

Beberapa tomat dan lemon menggelinding tepat di tempat sujud imam. Selesai shalat Ali mendapat hukuman dari Habib Muhammad pada saat itu sebagai imam shalat.

Ustadz Muhammad Lationo pernah mengatakan, Habib Muhammad sangat sayang kepada anak asrama. sampai-sampai beliau pernah menemui kepala sekolah dan menyampaikan, bahwa “anak-anak asrama harus naik kelas, sekalipun jarang masuk”.

Tetapi tidak untuk shalat lima waktu dan rauhah. Didikan seperti ini terbukti di kemudian hari, banyak dari anak-anak asrama yang mengembangkan Alkhairaat di kampung mereka masing-masing.

Kekeramatan Habib Muhammad pernah diceritakan Om Yusuf Latopada.

Ketika Habib Muhammad berboncengan dengannya dari Walatana menuju Palu, di pertengahan jalan turun hujan deras, tetapi hujan tidak membasahi, hanya mengikuti motor mereka dari belakang.

Ketika sampai di sungai palupi, banyak kendaraan terhenti sebab air sungai meluap dan tidak ada satupun yang berani melewatinya.

Dalam hati Om Yusuf berkata “Kita harus berhenti karena mustahil dapat melewati sungai ini”.

Tetapi tiba-tiba datang perintah dari Habib Muhammad untuk terus berjalan. Tanpa berpikir panjang, Om Yusuf lansung tancap gas melewati sungai yang kebanjiran tersebut.

Dengan kebesaran dan kekuasaan Allah, mereka dapat melewati sungai tanpa halangan, sekalipun motor sudah tenggelam dan air seakan sampai di perut mereka, kata om Yusuf.

Ajaibnya lagi, mereka tidak basah dan motor tetap berjalan, seakan tidak ada sesuatu yang terjadi sebelumnya,

Subhanallah walhamdulillah walailaha illallah wallahu Akbar.

Sepulang kunjungan kerja dari Manado, pada tanggal 27 Juli 1975 M/ 17 Rajab 1395 H, hari Sabtu subuh Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aldjufri menghembuskan nafas terahir, beliau dishalatkan di mesjid Alkhairaat palu, yang diimami oleh Habib Seggaf bin Syekh Aldjufri, sepupu beliau.

Habib Muhammad pergi meninggalkan kita untuk selamanya, tetesan keringat beliau untuk Alkhairaat sebagai amal jariyah yang tak perna putus, doa untuk beliau dari anak cucunya dan dari yang mencintainya tak pernah berhenti bagaikan roda yang berputar terus menerus.

Semangat mengenang haulmu ya Habib Muhammad dari kami yang mencintaimu, tak akan pernah lelah dengan terus bekerja keras, ikhlas, mengorbankan apa yang ada, mengharapkan untuk dibangkitkan bersamamu di hari yang tak ada lagi gunanya harta, pangkat dan tahta Ya Allah ya Rabbi RahmatMu, BerkahMu untuk kami yang hadir di tempat ini, langkah-langkah kami, tenaga dan keringat kami, serta apapun yang ada pada kami, catatlah sebagai amal ibadah di kemudian hari.

Semoga berkah haul ini dapat mencerahkan kita semua, sehingga tali silaturrahmi terjalin erat, tak ada lagi dendam, tak ada lagi fitnah, yang ada hanyalah ketentraman, kedamaian di hati dan negeri kita tercinta.

Damai di bumi dan damai di hati.

Sesungguhnya menulis manaqib sekelas Habib Muhammad tak cukup hanya dengan beberapa lembar kertas, tetapi semoga tulisan ini dapat mewakili dan mengenang sekelumit perjuangan serta dapat mengobati rasa rindu kita kepada Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aldjufri.