Dalam kehidupan, kita dapat menyaksikan betapa manusia bisa bersandiwara, manis madu dimulutnya, tetapi sepahit empedu rasa benci yang bergelayut di kalbunya.
Menghormat bahkan menjilat seseorang yang dibutuhkannya, kemudian menghujat dan menghumpat bila seseorang itu tidak lagi dibutuhkan. Mereka memandang manusia hanya pada batas ”kebutuhan” bukan dengan rasa cinta.
Hal lain dapat kita simak pada seorang laki-laki yang kepalanya terbentur pintu, masih bisa tersenyum memandang pacarnya, rasa nyeri kalah oleh cinta. Seorang penjahat bisa menampakkan wajah kelinci, lemah lembut, halus tutur katanya, tetapi di hatinya tersimpan tipu muslihat serigala yang siap menerkam mangsanya yang terpedaya.
Banyak orang tertipu kalau hanya mengandalkan apa yang tampak secara lahiriah. Hal ini dikarenakan, perilaku seseorang belum tentu menampakkan orisinalitas dari kemauan sebenarnya yang tersimpan secara misterius di balik dada manusia.
Kita tidak boleh mengandalkan sepenuhnya pada potensi indrawi, tanpa mendengarkan bisikan suara hati (ruhiyah).
Perilaku tanpa muatan moral adalah kering, tidak ada kedalaman dan dimensi kemanusiaan. Kita sering terjebak pada penilaian semu, keputusan tergesa-gesa hanya karena melihat “kulit luar” sering mengalami kekecewaan setelah terlibat jauh dengan orang yang kita nilai tersebut.
Manusia adalah makhluk yang sangat kreatif, penuh dengan daya imajinasi. Apabila potensi yang dimilikinya itu terlepas dari cahaya ilahi, maka masuklah dalam qolbunya itu kekuasaan setan sehingga seluruh kreatifitasnya, imajinasinya, dapat menyesatkan pandangan lahir manusia lainnya.
Di sinilah pentingnya peranan qalbu yang selalu diketuk dari dalam agar timbul kesadaran moral serta rasa tanggung jawabnya sebagai manusia dalam kebersamaan dengan manusia lainnya.
Ketukan itu tidak lain adalah potensi ruhani yang selalu mengajak manusia kepada kebenaran Ilahiah yang bersifat universal, seperti ajakan bertuhan, kedamaian, cinta kasih, dan persahabatan.
Potensi bertuhan sebagai fitrah manusia yang bersemayam dalam ruh, tidak pernah hilang, dan suatu saat dia muncul untuk menyadarkan manusia.
Di sinilah pentingnya pendidikan yaitu berupaya untuk mengembangkan kecerdasan ruhaniah dengan cara membersihkan dan mencerahkan kolbu.
Qalbu yang bersih dan cerah selalu mendengarkan bisikan ruhaniah yang tajam dan sensitive terhadap rangsangan luar.
Qalbu yang dikuasai cahaya ruhani yang selalu meng-Ilahi (dalam bahasa metaphor disebut melangit) mencari, merindu, dan mewujudkan nilai kebenaran akan semakin sensitive dan memberikan atsar “bekas” yang sangat mendalam sehingga di dalam diri kita akan ada semacam etxtra sensory perception indra ke enam yang menyatakan ya atau tidak dalam mengambil keputusan.
Itulah sebabnya Allah memanggil qalbu untuk mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan perilakunya, karena seluruh perbuatan manusia diputuskan oleh qalbu.
Kesadaran akan kebenaran dan tanggung jawab, memang berasal dari ruh yang diserahkan pengelolaannya kepada qolbu. Tidak ada sebuah perbuatan tanpa keterlibatan qolbu.
Al-Quran menempatkan rangkaian kesadaran, dzikir, jiwa, iman, dan taqwa, tidak pernah terlepas dari peran dan fungsi qolbu yang oleh Nabi Allah Rasullulah saw.
Diperlambangkannya bagaikan segumpal daging atau mudghah, yang apabila mudghah itu baik, maka baiklah seluruh jasad dan perilaku manusia, sebaliknya apabila mudghah itu rusak penuh penyakit (maradh) maka rusaklah seluruh kepribadian manusia itu.
Qalbu merupakan padang pertempuran yang paling dahsyat, di mana kebenaran akan selalu bertempur dengan kebatilan, cahaya berhadapan dengan kegelapan.
Jiwa yang melangit merindu cinta kasih Ilahi, dihadang hawa nafsu yang membumi penuh dengan sikap ambisius dalam alam hedonis (kenikmatan duniawi yang sementara).
Ketika taqwa membujuk qalbu untuk berpihak kepada Allah, maka sang hawa nafsu memaksaknya untuk berpaling dari Allah.
Konflik batiniah merupakan salah satu fitrah manusia, dan dengan iman dan taqwanya itulah, mereka harus memenangkan pertempuran dahsyat yang tak kenal henti.
Kecerdasan ruhaniah akan terus cemerlang selama kita mau mengasahnya/melatihnya dengan kewaspadaan yang penuh. Bagaikan seorang prajurit tempur yang piawai, dia selalu waspada takut akan adanya penyusupan musuh yang akan memporak-porandakan pertahanannya.
Qolbu harus berani bertanggung jawab untuk menampilkan wajahnya yang suci dan selalu berupaya untuk berpihak kepada Allah, menghidupkan getaran jiwa melalui kesadaran yang hakiki. Kesadaran inilah yang dituntut dari proses dzikir, karena dzikir yang menghasilkan getaran jiwa, getaran kesadaran.
”Aku di hadapan Tuhanku,” dapat menjadikan seseorang mencapai puncak keimanan. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)