Mengapa Pengangguran Meningkat di Sulteng?

oleh -
Ilustrasi. (Youtube/Kumparan)

OLEH: Moh. Ahlis Djirimu*

Laju pertumbuhan Sulteng mencapai 13,18 persen pada triwulan I Tahun 2023 tersebut dalam konteks teoretis dan empiris sepatutunya diikuti oleh penurunan angka pengangguran terbuka. Sayangnya, hal ini tidak terjadi.

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) meningkat, pengangguran meningkat, kemiskinan pun meningkat pula. Hal ini karena industri yang menopang LPE adalah industri pengolahan logam dasar padat modal yang hanya menyerap tenaga kerja berketrampilan tinggi. Akibatnya, serapan tenaga kerja minim. Hal ini mengindikasikan pula bahwa terjadi kegagalan strategi pembangunan di Sulteng.

Bila strategi pembangunan menjadikan pangan-hortiklutura dan perikanan sebagai “panglima pembangunan”, LPE akan diikuti pengurangan ketimpangan secara drastis, jika yang menopang LPE adalah sektor pertanian khususnya pangan-hortikultura dan perikanan di atas, dan industri manufaktur padat karya.

Sepatutnya pertumbuhan ekonomi tinggi diikuti oleh angka tingkat pengangguran terbuka menurun. Namun, angka pengangguran terbuka tetap tinggi yang meningkat dari 3 persen pada Agustus 2022 menjadi 3,49 persen di Tahun 2023. Tingkat pengangguran tenaga terdidik lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Perguruan Tinggi tetap dominan. Artinya, SMK dan Perguruan Tinggi menjadi “Gudang calon Penganggur”.

Hal ini terjadi pada daerah industri berbasis gas alam yakni Kabupaten Banggai, dan daerah yang berbasis logam dasar nikel yakni Kabupaten Morowali, Morowali Utara, serta Kota Palu sebagai daerah berbasis batuan dan emas.

Hal ini berarti dua daerah tersebut walaupun laju pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi tidak banyak mendatangkan penciptaan lapangan kerja karena sifat industri padat modal. Kutukan sumberdaya alam ada di pesisir timur dan pesisir barat Sulteng. 

Penduduk bekerja pada Februari 2023 mencapai 1.542,48 ribu jiwa meningkat dari 1.527,43 ribu jiwa pada Februari 2022 atau bertambah sebanyak 15,05 ribu jiwa.

Peningkatan penduduk terbesar terjadi pada sektor restoran, makan dan minum sebagai dampak dari pemulihan ekonomi seiring berkurangnya kasus covid akibat peningkatan vaksinasi. Sayangnya, penduduk bekerja ini lebih dominan bekerja di sektor informal sebanyak 1.031,35 ribu jiwa atau proporsinya mencapai 66,86 persen.

Sektor ini merupakan jaring pengaman sosial karena menyerap pekerja kasar tak trampil dan berpendidikan SD ke bawah 39,84 persen, 18,33 persen pekerja berpendidikan SMP/MTs dan 23,42 persen pekerja berpendidikan SMA.

Hal ini berarti 81,59 persen pekerja di Sulteng adalah mereka yang “pasrah” bekerja serabutan karena minimnya penciptaan lapangan kerja. Kepasrahan mereka bekerja di sektor informal terlihat pula dari mereka yang bekerja di sektor pertanian mencapai 594,62 ribu jiwa atau proporsinya mencapai 38,55 persen, lalu diikuti oleh sektor Pergudangan dan Perdagangan mencapai 240,32 ribu jiwa atau proporsinya 15,58 persen.

Para pekerja ini dominan berada pada status berusaha sendiri meningkat dari 21,87 persen pada Februari 2022 menjadi 22,08, berusaha dibantu oleh buruh tidak tetap/tidak dibayar meningkat dari 18,08 persen menjadi 19,15 persen, dan pekerja keluarga meningkat dari 16,90 persen menjadi 18,34 persen.

Hal ini berarti 59,57 persen pekerja tersebut atau sebanyak 925,02 ribu jiwa bekerja pada wilayah yang rentan kebijakan yang memarginalisasi mereka.

Selain itu, di antara pekerja tersebut, terdapat 118,62 ribu adalah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam sepekan atau proporsinya mencapai 7,69 persen. Hal ini berarti kategori setengah menganggur tersebut menerima pendapatan minim yang tentunya akan mengurangi belanja rumah tangga atau berhutang bagi menyambung hidup di masa berikutnya.

Pemerintah Provinsi Sulteng berusaha melindungi pekerja rentan ini. Hal ini terbukti pada 16 Agustus 2022, Gubernur Sulawesi Tengah menyatakan telah mengalokasikan Rp6,- miliar bagi perlindungan masyarakat pada 300 desa tertinggal dan sangat tertinggal di Provinsi Sulteng.

Anggaran sebesar itu lebih fokus kepada rumah tangga miskin ekstrim dan pekerja rentan yang berdomisili tepatnya di 288 desa yakni 275 desa tertinggal dan 13 desa tertinggal menurut data yang bersumber dari “Peringkat Nilai Data-Data Indeks Desa Membangun Tahun 2022” yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa dan PDTT).

Selain itu, Gubernur Sulteng menghimbau kepada Kepala Desa pada 1.842 desa untuk mengalokasikan Rp20,- juta bagi asuransi masyarakat perdesaan. Mengingat Gubernur mengeluarkan diskursus tersebut pada Agustus 2022, maka dukungan anggaran hanya dapat dimulai pada Perubahan APBD 2022 dan APBD Tahun 2023. Sayang hingga saat ini, kebijakan gubernur tersebut tak jelas rimbanya. Apakah hal ini  Bappeda dan BPKAD dapat menjabarkannya?

Sayangnya, inisiatif Pemerintah Sulteng ini tidak serta merta dapat dilaksanakannya. Justru Provinsi Jambi yang mampu menjabarkannya sejak APBD Perubahan Tahun 2022. Artinya, ide dari Sulteng, tetapi aksinya oleh daerah lain. Seharusnya, Bappeda, BPKAD, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Provinsi Sulteng bersinergi menjalankan amanah Gubernur ini.

Ketiga perangkat daerah bertanggung jawab penuh baik perencanaan maupun penyiapan dokumen tehnis berupa Petunjuk Pelaksanaan (juklak), Petunjuk Tehnis (Juknis), Master Schedule, Lini Masa dan Petunjuk Operasional (Jukops).

Inisiatif perlindungan pekerja pun hanya dilakukan oleh beberapa kabupaten/kota dengan Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaa (BPJS-TK).

Lembaga ini menyediakan, pertama, manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) meliputi perlindungan di perjalanan dari tempat kerja, perawatan tanpa batas biaya sesuai kebutuhan medis, santunan kematian akibat kecelakaan kerja sebesar 48 kali upah, serta bantuan beasiswa bagi 2 anak korban kecelakaan kerja maksimal Rp174 juta, apabila telah mengikuti program ini selama 3 tahun tanpa putus.

Kedua, Manfaat Hari Tua. Manfaat ini berupa tabungan untuk persiapan hari tua berupa akumulasi iuran ditambah dengan hasil pengembangan.

Ketiga, Manfaat Jaminan Pensiun (JP) berupa manfaat pensiun hari tua, manfaat pensiun janda/duda, manfaat pensiun cacat, manfaat pensiun anak, dan manfaat pensiun orang tua.

Keempat, manfaat Jaminan Kematian (JKM) memperoleh total manfaat santunan sebesar Rp42,- juta berupa santunan kematian, biaya pemakaman, santunan berkala 24 bulan, serta bantuan beasiswa maksimal Rp174,- juta untuk 2 anak mulai dari Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi dari orang tua peserta aktif yang meninggal dunia atau cacat total akibat kecelakaan kerja.

Kelima, Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) memperoleh manfaat Bantuan Uang Tunai yang dapat digunakan sebagai modal kerja, memperoleh informasi lowongan kerja dan pelatihan kerja.

Keenam, bagi pekerja Bukan Penerima Upah (BPU), mereka akan mendapatkan 3 program saja yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM).

Di Provinsi Sulteng, daerah yang telah memberikan perlindungan pekerja aktifnya adalah Kabupaten Buol, Morowali, dan Kota Palu dan Poso, Sigi pada tataran konversi inisiatif. Kabupaten Buol memberikan perlindungan pertama, kepada Non ASN/Hononer sebanyak 3.159 jiwa dari 3.284 jiwa atau 96 persen meliputi honorer pemda, guru honorer, perangkat kecamatan, perangkat desa dan kelurahan.

Saat ini, di Kabupaten Buol, tinggal 125 yang belum tercover dalam perlindungan jaminan ketenagakerjaan. Perlindungan kepada Kepesertaan Ekosistem Desa berjumlah 2.161 jiwa dari 13.226 jiwa. Kabupaten Buol akan memproyeksikan perlindungan pada 10.800 pekerja rentan atau masing-masing 100 pekerja rentan pada setiap desa yang berjumlah 108 desa.

Definisi dan kategori pekerja rentan teah dituangkan dalam Instruksi Bupati Nomor 188.04/06.03/Disnaketrans/2022.

Di Kabupaten Morowali, pemerintah mempunyai program inovasi berupa alokasi BPJS-TK bagi petani, nelayan dan pekerja non ASN, Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi Berdasarkan Kebutuhan Pasar, serta Pendidikan Vokasi Diploma I dan Diploma III.

Pada 2022, Pemerintah Kabupaten Morowali mengalokasi APBD bagi 5000 pekerja Non ASN berjumlah Rp489,89,- juta, alokasi sebesar Rp1,78,- miliar bagi 8.843 nelayan dan Rp4,05,- miliar bagi 20.082 petani.

Di Kota Palu, Pemerintah Kota akan mencoverage 40 ribu perlindungan ketenagakerjaan pada pekerja rentan dan penduduk miskin ekstrim. Perlindungan ini sebenarnya telah dilakukan sejak pelaksanaan Program Padat Karya dan Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) sejak Tahun 2014 yang berkesimbangunan.

Pemerintah Kabupaten Poso akan menginisiasi konversi bantuan uang duka kepada Perlindungan Ketenagkerjaan. Demikian pula dengan Kabupaten Sigi.

Pada tingkat korporasi besar, PT. IMIP mensyaratkan Kartu BPJS-TK merupakan syarat wajib di area PT. IMIP. Demikian pula dengan PT. Donggi-Senoro LNG.

Data pada BPJS-TK menunjukkan bahwa PT. GNI selain mewajibkan perlindungan Tenaga Kerja melalui BPJS TK, korporasi ini mengalokasikan pula Corporate Social Responsibility (CSR) pada perlindungan masyarakat pekerja di sekitar area perusahaan.

Strategi perlindungan pekerja Di Provinsi Sulteng yang diinisiasi oleh Gubernur sudah tepat. Dari 1.842 desa, terdapat 275 desa tertinggal atau menurun dari 615 Desa Tertinggal pada Tahun 2019 menjadi 436 Desa Tertinggal pada Tahun 2020.

Sedangkan Desa Sangat Tertinggal menurun jumlahnya dari 52 Desa Sangat Tertinggal pada 2019 menjadi 31 Desa Sangat Tertinggal pada 2020 lalu tinggal 13 Desa Sangat Tertinggal pada 2022. Sayangnya, perangkat daerah belum mampu menjabarkan inisiatif Gubernur ini.

Akibatnya, Pemerintahan ini gagal menurunkan dua indikator utama kinerja VISI dari tujuh indikator yakni naiknya kemiskinan dan naiknya tingkat pengangguran.

*Penulis adalah Pengajar FEB-Untad dan Regional Expert Sulawesi BKF-Kemenkeu