B. SUMPAH DAN PENGAWASAN: HUBUNGAN, HIRARKI DAN KUALITAS LETAKNYA DALAM HUKUM KETATANEGARAAN

Berselancar di area bernegara (state) berbeda goyangnya (dan harus dibedakan) dengan area interaksi dalam masyarakat (society). Tata nilai yang dijadikan patokan perilaku baik pada area state maupun area Society sesungguhnya berisi norma pengawasan.

Sumpah merupakan pranata nilai yang terhubung dengan pengawasan. Tatanan nilai pada masyarakat sebagai pedoman perilaku menghadirkan berbagai varian norma, berupa norma agama, norma hukum, norma kesusilaan, serta kesopanan.

Norma-norma itu dalam masyarakat yang plural (konservatif atau yang telah terbuka) determinasinya sangat bergantung pada kondisi objektif masyarakatnya.

Pada masyarakat religius akan menempatkan norma agama sebagai puncak rujukan pedoman tingkah laku warganya. Pada masyarakat yang belum mengenal agama, pedoman tingkah lakunya dominan bermatra norma susila dan kesopanan (volk geist), yang eksistensinya bersumber dari kebiasaan masyarakat setempat yang terpelihara dalam rentang waktu berdurasi panjang.

Nah sekarang timbul pertanyaan, norma hukum lokusnya berada dimana, atau lebih konkritnya area operasinya pada masyarakat seperti apa?

Norma hukum area operasinya pada level state, bukan society. Norma norma perilaku dalam masyarakat selain hukum dan agama, daya laku, daya paksa serta daya kontrolnyadidorong dan bersumber dari dalam kesadaran diri.

Norma agama dan norma hukum daya laku, daya laku serta daya paksanya bersifat eksternal. Karakteristik Eksternalitas norma agama dan norma hukum dapat diidentifikasi melalui klasifikasinya, yakni pada norma agama daya laku, daya paksa serta daya kontrolnya bersumber dari Maha Pencipta.

Pada norma hukum daya laku, daya paksa serta daya kontrolnya berasal dari kekuasaan negara yang diperankan melaui para petugas hukum yang diberi wewenang untuk menegakkannya.

Mengikuti alur berpikir demikian, maka sistem pemerintahan dan ketatanegaraan yang didalamnya terdapat jabatan gubernur dan wakil gubernur sebagai struktur yang dilahirkan dari organ negara, seharusnya hanya membutuhkan norma hukum demi menjaga kelangsungan eksistensinya.

Jika tesis di atas benar, maka timbul pertanyaan mengapa harus ada prosesi sumpah dalam rangkaian menuju menempati jabatan itu?. Bukankah cukup dengan menyusun norma hukum (negara) dalam bentuk produk legislasi atau regulasi yang ketat untuk mengontrol power yang cenderung akan bersalah guna, karena jabatan gubernur memiliki kewenangan yang tidak kecil?.

Selanjutnya di dalam produk hukum legislasi dan regulasi negara itu dibangun mekanisme kontrol berlapis, melalui struktur kelembagaan yang kokoh untuk memastikan agar pejabat dan warga negaranya taat dan patuh atas hukum yang dibuat itu?.

Seorang sarjana berlatar hukum yang realistis, tidak pernah yakin seratus persen bahwa hukum dapat mengontrol perilaku para pejabat agar taat dan patuh pada peraturan negara meski norma hukum negara dapat dipaksakan tegas secara eksternal. Mengapa?, karena norma hukum negara memiliki ruang ruang gelap yang sulit untuk mengontrol secara deterministik melalui mekanisme eksternal terhadap perilaku sang pemangku jabatan.

Ruang-ruang gelap itu boleh jadi bermula karena terkondisikan melalui penormaan yang tidak komplit, multi tafsir atau bahkan terdapat ruang yang hampa hukum sama sekali. Atau boleh pula jadi karena durasi pengawasan hanya berlaku hanya saat jam kantor saja.

Diluar waktu itu, norma hukum negara istirahat bersamaan saat jendela, pintu pintu kantor terkunci disertai computer tershutdown.

Melalui teropong ini, nyata terlihat bahwa norma hukum negara hanya sekedar menakar soal formalitas salah dan benar saja. Betapa sangat terlihat kelemahan daya tegak pengawasan norma hukum negara jika hanya semata memplototi soal salah dan benar, lalu abai pada soal etis atau tindakan tercela.

Terlalu menekankan aspek benar-salah pada penyelenggaraan pemerintahan, hanya akan melahirkan tindakan yang kering nir makna, misal: karena tidak aturan yang melarang pejabat untuk tidak memberi keteladanan yang baik didepan publik, sehingga tidak memberi keteladanan yang baik di depan publik bukan merupakan perbuatan yang salah.

Akal sehat tidak akan memilih pemerintahan negara diselenggarakan dengan semata mata berpatokan dan berhenti pada salah dan benar, dia harus menjangkau aspek etika.

Atas kesadaran ini maka tatanan nilai dalam hukum ketatanegaraan terisi perspektif etika penyelenggara negara. Adalah suatu tatanan nilai pengawasan atas perilaku yang bersumber dari kesadaran dan kematangan diri, yang dihadirkan untuk menutupi kelemahan yang terdapat pada pengawasan norma hukum negara yang bersifat eksternal. Tatanan nilai yang mengontrol perilaku ini melekat pada diri tak mengenal pada durasi waktu tertentu.

Pada fase selanjutnya, ternyata layer pengawasan yang bersumber dari dalam kesadaran diri tidak cukup mengisi kelemahan yang terdapat pada norma negara. Diperlukan layer pengawasan berikutnya untuk memback up dan memperkokoh kelemahan yang terdapat norma negara dan norma etika, dengan meletakan peleburan norma agama dalam sendi sendi penyelenggaraan pemerintahan negara melaui instrumen “sumpah”.

Sumpah jabatan, demikianlah dia dikenal luas sebagai sebutan khas ditengah tengah masyarakat. Jika norma hukum memiliki kelemahan pada daya laku, daya paksa dan daya kontrolnya yang berscoup terbatas, lalu kelemahan itu ingin ditutupi melalui norma etika agar lebih bermarwah kesadaran akal sehat yang bersumber pada panggilan kesadaran diri, maka sumpah hadir untuk meneguhkokohkan layer pengawasan terhadap perilaku pemangku jabatan pemerintahan negara dengan menekankan pada aspek daya paksa eksternal yang langsung dilakukan oleh Sang Maha Pencipta atas relasi sumpah yang telah diikrarkan oleh pemangku jabatan.

Relasi ini harus dipahami sebagai hal yang sangat privat, khas serta suci antara seorang hamba dan Sang Khaliq, melalui sebuah ucapan ikrar yang dalam pelaksanaan amanah seharusnya tabu untuk mempertontonkan acrobat “2L” setelah mengucapkannya.

Jangan sampai terjadi seperti yang telah sering dipertontonkan dipentas publik, lalu Salim Said menyebutnya dalam salah satu kesempatan “orang Indonesia itu berani, jangankan lalai ataupun lupa atas janjinya terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhan yang menciptakan dirinya saja dia berani lawan”.

Jika demikian realitasnya, maka dapatlah kita berharap untuk mengatakan janganlah letakan derajat “sumpah” yang sakral nan agung hanya untuk menjadi “sampah”. Cukup sudah, nemo natalanjoro!!!

*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako