(Satu Aspek dari Prosesi Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah 2021-2024)
OLEH: Dr. Mohammad Tavip S.H.,M.Hum*
Sore itu tanggal 16 Juni 2021, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu, tempat saya dilahirkan tidak seperti biasa. Ada yang terasa beda. Dalam kesadaran umum, hal yang bikin terasa beda dan tidak biasa itu boleh jadi terhubung dengan momen pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah di Ibu kota negara lama, Jakarta, tepatnya di Istana Negara yang dilakukan oleh Presiden RI Bapak Joko Widodo.
Dalam amatan spesifik saya, hal tidak biasa dan terasa beda itu bukan seperti yang digambarkan di atas, tetapi pemandangan khas terhadap para pemerhati warung kopi yang sering nongkrong, koq tidak ada di arena favoritnya, pada kemana mereka ya?. Tidak usah dijawab, karena bukan itu yang saya mau tulis.
A. SUMPAH DALAM HUKUM POLITIK
Hampir semua orang tau jawaban atas pertanyaan dari judul yang tertera dipembuka tulisan ini. Saya yakin akan hal itu. Lalu untuk apa sibuk bin repot untuk corat coret sgala?, kurang kerjaan!!!.
Hampir saja saya memberhentikan aktifitas menulis, saat bisikan itu bergelayut dipikiranku. Hal itu terjadi berulang ulang. Ketik berhenti, ketik berhenti, ketik lagi, berhenti lagi. Sampai pada satu titik tertentu, saya memutuskan untuk meneruskan menyelesaikannya.
Bahwa benar menulis tentang sumpah dengan diksi “mengapa” sudah dapat ditebak maksudnya, sehingga mudah menjawabnya, karena majelis pembaca sudah khatam diksi tentang “apa” itu sumpah.
Tapi, apakah telah banyak mengetahui “untuk apa” sumpah diucapkan, terutama dihubungkan dalam konteks hukum ketatanegaraan?. Saya tidak perlu menjawab berlembar lembar untuk merespon pertanyaan itu. Cukuplah saya berdalil secara aksiomatik berdasar fakta yang kita jalankan selama ini, bahwa manusia seringkali memerankan “2 L” yakni “Lalai” dan “(mudah) Lupa”.
Dalam gelombang frekwensi hukum ketatanegaraan (baca hukum politik), soal “2L” ini sering sekali dipertontonkan. Tontonan yang seharusnya tidak terjadi itu menjadi hal biasa dan diterima kehadirannya, lain yang diucap lain yang dikerjakan. Ini yang saya sebut sebagai lalai dan (mudah) lupa.
Pertunjukan “2L” itu semakin sempurna karena masyarakatnya, kita kita ini, punya antena dengan gelombang pendek dan tidak stabil, on off, on off. Hmmm Kloplah sudah. Yang bersumpah mengidap “2L”, yang mendengar sumpah diucapkan (rakyat, yang salah satu bagian dari isi sumpah itu beradresaat untuk dirinya) ternyata mengidap sindrom “2L” juga.
Jika dipikir pikir, sebenarnya penyumpahan adalah satu rangkaian sistemik demokrasi. Untuk konteks ini penyumpahan merupakan resultanta lanjutan dari pemilhan umum, yang tidak saja bermakna prosedural, tapi juga fundamental.
Demokrasi yang diderivasi dalam bentuk konkrit berupa pemilihan umum bermakna fundamental bertumpu pada satu kata yakni “pengawasan”. Jadi roh dari demokrasi adalah Pengawasan. Jika pengawasan tidak ada, maka berarti demokrasi telah mati karena kehilangan makna.
Pelajaran semester awal di fakultas hukum disiarkan pada mahasiswa tentang pikiran Lord Acton “ Power Tend to corrupt, absolute power tend to corrupt absolutely”.
Demikianlah mengapa pengawasan menjadi begitu strategis dalam sebuah sistim pemerintahan yang demokratis.
Jabatan Gubernur dan wakil Gubernur yang terisi sebagai resultanta dari pemilihan umum, memiliki power yang tidak kecil. Oleh karena itu akan sangat potensial dan berkecendurungan absolut bersalah guna. lagi lagi kita harus bilang bahwa pengawasan mutlak diperlukan.