Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustad. Sebagaimana kita di Indonesia memiliki kebiasaan membaca shalawat atau melafalkan doa untuk para Khalifah. Pertanyaan saya, satu, mengapa bacaan bilal antar shalat tarawih harus menyebutkan para nama khalifah? Kedua, apakah Nabi Muhammad melafalkan kalimat-kalimat tertentu antar tarawih? (Abu Zaid, Buluri)
Jawaban:
Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Pembaca budiman, baiklah kami akan menjelaskan terlebih dahulu, sejarah mengucapkan nama sahabat di dalam tarawih, sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid ‘allamah Abdullah bin Mahfud al-Haddad dalam kitab Ittihaful Anaam bi Hukmis Shiyaam.
Kami terangkan sedikit, siapa Sayyid ‘allamah Abdullah al Haddad. Beliau ini adalah seorang qadi yang ada di Mukalla yang lahir pada tahun 1342 Hijriyah. Ulama-ulama di zamannya sepakat memberikan julukan beliau dengan “Al-Shafi’i As-Sagir, Imam Shafi’i Kecil”. Artinya dia adalah orang yang terpandang dan keilmuannya diakui.
Beliau menjelaskan dalam kitab Ittihaful Anaam bi Hukmis Shiyaam tersebut:
فذكر السيد العلامة عبد الله محفوظ الحداد أن الترضي عن الخلفاء الأربعة في صلاة التراويح رتبه علماء حضرموت لأغراض دينية، وجعلوه من السياسة الشرعية, لأن حضرموت مرت بفترة حكمها فيها بعض أهل الفرق الذين ينتقصون بعض الصحابة، فرتبوا ذلك بين ركعات التراويح لتثبيث احترام الصحابة، وهو فعل حسن وليس هو بدعة ضلالة ولا أنه سنة، فمن فعله فقد أحسن، ومن تركه فلا إثم عليه… (إتحاف الأنام بأحكام الصيام: ص ٢٠١)
Terjemahan bebasnya begini:
Sayyid ‘allamah Abdullah bin Mahfud al-Haddad menjelaskan bahwa : Bacaan taradhi bagi empat Khalifah di sela-sela shalat tarawih disusun oleh ulama Hadramaut, karena adanya suatu tujuan keagamaan. Ulama Hadramaut menjadikan itu sebagai bentuk siyasah syariah/tehnik politik syariah, dikarenakan Negri Hadramaut kala itu mengalami periode dimana para pemecah belah persatuan masa itu suka mencela para sahabat. Oleh karena itu ulama Hadramaut menyusun bacaan taradhi (mengucapakan Radhiyallahu anhu) ketika shalat tarawih agar meresap, dan memiliki sikap memuliakan para sahabat Nabi. Perbuatan tersebut bukanlah bidah atau sesuatu yang disunnahkan, siapa yang melakukannya sungguh dia telah melakukan perbuatan yg di anggap baik oleh syariat dan siapa saja yang tidak melakukanya makabtidak berdosa.
Jadi, untuk mencegah perpecahanan tadi maka dipakailah pola seperti itu. Supaya para sahabat itu kembali disebut terkenang-kenanglah jasa mereka. Dengan itu pula, sehingga propaganda yang digencarkan oleh orang-orang yang membenci para sahabat, yang mana mereka itu bertujuan untuk memecah bela umat, itu terhenti.
Jadi ini adalah metode yang dilakukan oleh pemerintah di Hadramaut, akhirnya menjadi tradisi. Dan Guru Tua (Habib Idrus bin Salim Aljufri, pendiri Alkhairaat) ulama-ulama lain atau ulama-ulama sebelum Guru Tua yang dari Hadramaut, juga mengambil tradisi itu membawa ke Indonesia, khususnya juga di Kota Palu. Jadi tradisi Hadramaut yang kemudian kita copy paste.
Kemudian, terkait pertanyaan kedua, apakah Nabi Muhammad melafalkan kalimat-kalimat begitu ketika tarawih, jawabannya tidak. Nabi sendiri, kalau salat tarawih itu cuma tiga kali (malam, red), tidak sebulan penuh. Ada juga riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW tarawih baru bergabung bersama sahabat di malam ke-23. Di zaman itu pun Tarawih bukan disebut “Tarawih”, namun disebut sebagai “Qiyamu Ramadhan”.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَا نًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang berdiri, mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan, maka Allah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata “tarawih” itu baru muncul di zaman Saydina Umar bin Khattab. Al-Imam Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan, kenapa kemudian dinamakan “tarawih” karena asal katanya “tarwihah”.
والتَّراويحُ جمعُ تَرْويحةَ وهي المرَّةُ الواحدةُ مِنَ الرَّاحةِ كتَسْليمةٍ مِنَ السّلامِ سُمِّيَت الصلاة في الجماعة في ليالي رمضان التّراويح لأنَّهم أوّل ما اجتمعوا عليها كانوا يستريحون بين كلِّ تسليمتين
Artinya: “Tarawih adalah jamak dari tarwihah yaitu istirahat satu kali, seperti kata taslimah berasal dari kata salam. Salat berjamaah di malam-malam bulan Ramadhan disebut sebagai tarawih karena pada awalnya shalat tarawih dilakukan secara berjamaah, para sahabat beristirahat diantara setiap dua kali salam.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, Juz IV, H. 250)
Tarwihah itu artinya santai, shalat santai, jadi setiap kali dua rakaat berhenti, atau santai dulu, kemudian berdiri lagi mengerjakan shalat. Ada pula, setiap empat rakaat berhenti, kemudian shalat lagi empat rakaat-bukan sekaligus. Maka bila shalat yang 8 atau 20 rakaat sekaligus bukan tarawih namanya.
Lalu bagaimana dengan hukumnya Taradhi, sementara Nabi sendiri tidak pernah melakukannya? Jadi kalau ditanya hukumnya bagaimana? Hukumnya itu bukanlah bid’ah, bukan pula sesuatu yang sunnah. Tapi barang siapa yang mengerjakannya, dia dianggap telah melakukan kebaikan di dalam agama. Sebagaimana dalam Kaidah Fiqhi:
الامور بمقاصدها
Segala sesuatu bergantung dari tujuan dilakukanya perkara tersebut.
Perkara-perkara itu dinilai berdasarkan maksudnya. Jika maksudnya baik, maka perkara itu akan dihukumi baik. Jika tujuannya buruk, maka natijah hukum itu dianggap buruk, fasad, haram. Karena membaca taradhi memiliki tujuan yang baik, maka oleh para ulama berdasarkan kaidah tadi, dianggap baik, bukanlah sesuatu yang haram.
Suatu hal karena tidak dikerjakan nabi atau bahkan ditinggalkan oleh Nabi, bukan berarti menunjukkan itu haram. Sebagai mana kaidah fiqhi lagi ‘ada yang mengatakan apa.
ترك الشيء لا يدل على التحريم.
Nabi meninggalkan perkara tertentu, bukan berarti hukum yang ditinggalkan itu adalah sesuatu yang haram.
Shalawat, maupun taradhi dan pelafalan kalimat-kalimat yang baik di sela-sela tarawih, hanya merupakan hasil ijtihad dari kalangan fuqaha, ahli fiqhi, berdasarkan kaidah “bahwa perkara-perkara itu dinilai berdasarkan maksudnya”. Wallahu a’lam bishawab.
(Dijawab oleh Pengasuh Jalsatul Jumah Majelis Jibril Kalukubula, Ustadz Zaenal, S.Pd.I, M.Pd)