Seorang muslim mesti mempertimbangkan banyak sisi dalam menjalani kehidupannya, terutama dalam mengajak atau menegur. Teguran dan nasihat harus dilandasi asas kelembutan.
Dengan demikian, pihak yang dinasihati atau ditegur akan benar-benar merasakan niat baik dari pihak yang memberi nasihat. Dengan asas kelembutan dan kasih sayang, nasihat dan teguran akan mudah diterima, mengena dalam hati, dan membuahkan berkah.
Abu Umamah meriwayatkan, “Ada seorang pemuda menemui Rasulullah. Ia berkata, Wahai Rasulullah, apakah Anda mengizinkan saya untuk berbuat zina? Para sahabat pun spontan bersuara.
Rasulullah lalu bersabda, Mendekatlah kemari! Pemuda itu lalu mendekat dan duduk di hadapan Nabi. Rasulullah kemudian bertanya, Relakah engkau jika hal itu terjadi pada ibumu? Ia menjawab, Tentu tidak, Allah menjadikan saya sebagai tebusanmu. Rasulullah bersabda, Tentu demikian juga orang lain. Mereka tidak rela hal itu terjadi pada ibu mereka. Relakah engkau jika perbuatan tersebut terjadi pada putrimu? Ia menjawab, Tentu tidak, Allah menjadikan saya sebagai tebusanmu. Rasulullah bersabda, Tentu demikian juga orang lain. Mereka tidak rela hal itu terjadi pada putri mereka. Relakah engkau jika perbuatan tersebut terjadi pada saudara perempuanmu?
Kemudian Rasulullah meletakkan telapak tangan beliau di atas dada si pemuda, lalu mendoakannya: Ya Allah, sucikanlah hatinya, ampunilah dosanya, dan jagalah kemaluannya. Setelah itu, tidak ada sesuatu yang lebih ia benci daripada perbuatan zina.” (HR. Ahmad )
Perhatikanlah! Kita dapat menyaksikan cara yang ditempuh oleh Rasulullah dalam mengobati “penyakit” sang pemuda. Beliau melakukannya dengan penuh kelembutan, kasih sayang, dan cinta.
Rasulullah tidak mengambil sikap kasar, tidak pula menghadapinya dengan hati keras. Rasulullah justru berbicara melalui akal sehat si pemuda, berusaha menguatkan ruh kebaikan pada dirinya, dan memadamkan api syahwat darinya.
Pada kesempatan lain, seseorang datang menemui Rasulullah sambil berkata, “Wahai Rasulullah, binasalah aku!” Rasulullah bertanya, “Apakah yang membuat dirimu binasa?” Ia menjawab, “Aku telah menggauli istriku pada siang hari bulan Ramadhan, padahal aku sedang berpuasa.” Rasulullah lalu memerintahkan agar ia memerdekakan seorang budak. Orang itu berkata, “Aku tidak punya.”
Lantas, Rasulullah memerintahkannya untuk berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ia mengatakan, “Aku tidak akan mampu.” Kemudian, Rasulullah n memerintahkannya untuk memberi makan enam puluh orang miskin. Ia berkata, “Aku tidak mampu.” Orang itu lalu duduk. Rasulullah lalu datang membawa sekeranjang kurma lalu bersabda, “Terimalah ini dan bersedekahlah dengannya!”
Ia berkata, “Apakah untuk orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, di antara dua gunung ini tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada kami.”
Rasulullah pun tertawa hingga terlihat geraham beliau. Beliau bersabda, “Berikanlah untuk makan keluargamu sendiri!” (HR Bukhari)
Dalam kelembutan, ada samudra kebaikan. Rasulullah pun tertawa, bukan tertawa biasa. Sebab, geraham beliau pun terlihat. Mengapa? Orang itu datang sambil mengatakan, “Binasalah aku!” Akan tetapi, ia pulang membawa keberuntungan.
Bagaimana, jika salah seorang dari kita yang mengalaminya? Mungkin dengan mudah kita menyalahkan orang tersebut. Mungkin dengan ringan kita akan memperolok-olok dirinya. Atau bahkan, kita akan menghinanya hanya karena ia terjatuh dalam kesalahan.
Hendaknya seorang muslim tidak merasa senang ketika saudaranya terjatuh dalam kesalahan. Sebaliknya, ia justru berusaha memperbaiki saudaranya sebagaimana halnya ia ingin dirinya baik. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)