Kenapakita harus ber-Pancasila? Meski klasik, pertanyaan ini selalu layak dan relevan untuk diajukan, apalagi di tengah krisis moral yang melanda bangsa kita saat ini. Di abad teknologi dan lajunya perkembangan informasi, penguatan nilai moral menjadi prioritas utama yang harus mendapat perhatian serius bangsa ini.
Di tengah kemajuan zaman, harus diakui ada sesuatu yang meredup, bahkan nyaris hilang dari kehidupan bangsa ini, yakni karakter dan budi pekerti. Memudarnya integritas, menyebarluasnya informasi hoaks, tumbuh suburnya ujaran kebencian, merajalelanya korupsi, maraknya aksi kriminal, tingginya kejahatan di dunia maya, kekerasan seksual yang kerap berulang termasuk di lingkungan pendidikan, intoleransi, dan berbagai bentuk perilaku amoral lainnya menjadi bukti bahwa moral bangsa kita saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Pancasila sudah lama menyertai perjalanan kehidupan bangsa kita. Sayangnya, seiring dengan kemajuan zaman Pancasila pelan-pelan ditinggalkan sebagian masyarakat Indonesia.
Tak dimungkiri, perlakuan kita terhadap Pancasila selama ini hanya sebatas seremonial belaka, masih sekadar hapalan. Kita menganggap Pancasila hanya sebatas narasi, teks, atau rumusan belaka. Padahal, Pancasila juga adalah nilai yang senantiasa hidup, bergerak, menjadi rujukan moral, memandu kehidupan bangsa ini.
Jika ditelaah, menurut penulis ada beberapa faktor penyebab sehingga nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa mengalami degradasi atau kemerosotan dalam pengamalannya. Pertama, perkembangan teknologi khususnya di bidang informasi. Berbagai kemudahan yang ditawarkan teknologi informasi tidak saja membawa dampak positif tetapi juga menimbulkan efek negatif. Maraknya konten negatif di media sosial yang dengan mudah menyebar menimbulkan pengaruh buruk bagi pengguna media sosial itu sendiri.
Kedua, krisis keteladanan. Saat ini bangsa kita mengalami defisit tokoh yang dapat meneladankan spirit Pancasila. Yang terjadi justru banyak tokoh publik, pejabat negara yang mempertontonkan perilaku yang sangat jauh dari nilai-nilai Pancasila, seperti korupsi, bergaya hidup mewah, menajamkan perbedaan yang dilandasi semangat permusuhan dan kebencian.
Pancasila seyogyanya tidak hanya menjadi slogan atau ornamen bangsa saja, tetapi harus menjadi landasan perilaku, baik perilaku individu, penyelenggara negara, pengambil kebijakan, maupun pembuat undang-undang.
Pemerintah juga gagal menularkan keteladanan para tokoh atau pahlawan bangsa ini. Saat ini, jarang sekali kita temukan ruang-ruang dialog yang mempercakapkan figur atau sosok pahlawan bangsa. Padahal, semangat para tokoh bangsa tersebut harus terus dikisahkan di ruang-ruang publik agar kita sebagai anak bangsa dapat tercerahkan dan bisa mewarisi keteladanan para tokoh atau pahlawan bangsa tersebut.
Ketiga, kemerosotan nilai-nilai Pancasila juga disebabkan oleh abainya pemerintah dalam menguatkan nilai-nilai Pancasila di ranah pendidikan. Penghapusan pendidikan Pancasila sejak diberlakukan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengakibatkan generasi muda Indonesia paska-reformasi kehilangan rujukan penting tentang hakikat hidup bernegara yang baik dan tepat.
Pemerintah cukup lama “membiarkan” pendidikan kita kosong dari pelajaran Pancasila, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Lihat saja pada UU Sisidiknas yang tidak mewajibkan pendidikan Pancasila. Syukurlah, di tahun ini terbit Peraturan Pemerintah (PP) yakni PP No. 4 Tahun 2022 Tentang Perubahan PP. No. 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan. PP ini merupakan turunan dari UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas. Dalam Pasal 40 PP No.4 Tahun 2022 ini menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Pendidikan Pancasila.
Mengarusutamakan Pancasila sebagai sebuah moral menjadi kebutuhan mutlak bangsa ini. Sebagai filosofis, dasar falsafah negara, Pancasila dikehendaki menjadi pembentuk moral bangsa agar memiliki perilaku yang beradab. Itulah sebabnya Bung Karno sangat menekankan program “Nation and Character Building”. Dalam pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, namun seringkali memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil.
Yudi Latif dalam bukunya “Wawasan Pancasila” menulis, usaha membangun mental-karakter Pancasila memerlukan berbagai usaha pembudayaan secara konsisten, berkelanjutan, dan terpadu. Salah satu yang terpenting adalah melalui pendidikan karakater. Dalam usaha melakukan pembudayaan Pancasila, dunia pendidikan ditantang untuk memperbaiki pendidikan karakter, yang selama ini cenderung diabaikan. Yudi menulis, kejatuhan politik cuma kehilangan penguasa, kejatuhan ekonomi cuma kehilangan sesuatu, tetapi kalau kejatuhan karakter suatu bangsa kehilangan segalanya.
Melalui momentum peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2022 ini, mari kita senantiasa meneguhkan spirit Pancasila dalam sanubari kita, dalam setiap aspek kehidupan kita. Pancasila harus terus digaungkan, Pancasila harus terus diperbincangkan, Pancasila harus menjadi roh dalam setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan kita sebagai anak bangsa.
Penulis : Wahyu Hidayat, S.IP., M.H (Dosen Prodi PPKn Universitas Cokroaminoto Palopo)