OLEH : H Mochsen Alaydrus
Lihatlah dunia sekarang ini, begitu banyak manusia menggandrungi silat lidah alais debat. Mereka saling berbantah bantahan yang tak jarang berujung konflik, saling mencaci dan menghina. Ini tentu bukan sikpa terpuji seperti yang diamanatkan agama kita.
Kita melihat sikap dalam berdebat tidak lagi dimaksudkan untuk bersama mencari kebenaran. Sebelum berangkat ke forum debat, mereka berusaha mencari tahu titik lemah lawan debat, bukan berusaha menggali data untuk mencari titik kekuatan dan kebenaran yang ada pada lawan debat.
Kalau Imam As-Syafii sebelum berdebat selalu saja berdoa agar Allah memunculkan kebenaran melalui mulut lawan debat, pecinta debat era ini sebelum berdebat berharap semoga lisan lawat debat “keseleo” dan logikanya tidak pas sehingga mudah dibully dan dihinakan. Debat tak lagi untuk mencari kebenaran, tapi untuk ketenaran sahaja.
Duniapun semakin panas karena yang muncul adalah caci maki, hinaan dan bentakan. Sulit sekali mencari pakar debat yang berbicara santun dengan kata teratur. Sukar sekali menemukan orang jago debat yang mengakui sisi kebenaran yang dibawa oleh lawan debat. Rata-rata mereka adalah berbicara atas dasar kepentingan diri dan kelompoknya, bukan atas asar mewujudkan kemaslahatan bersama. Dunia pun semakin panas. Kita semakin membutuhkan pendingin yang mampu menyejukkan suasana. Siapakah pendingin itu?
Islam mengenal istilah jidal. Para ulama menafsirkannya dengan perdebatan dalam hal-hal yang tidak berguna atau tidak bermanfaat. Jidal adalah termasuk dalam perdebatan yang dilarang adalah semua perdebatan yang menyebabkan kegaduhan, mudharat kepada orang lain atau mengurangi ketentraman. Sementara perdebatan yang baik dan masih diperbolehkan adalah perdebatan untuk menjelaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras penantangnya lagi lihai bersilat lidah’.” (HR Bukhari [2457] dan Muslim [2668])
Kita berharap, para tokoh agama adalah menjadi pendingin yang utama. Caranya adalah dengan berbicara apa adanya yang kiranya mampu secara arif menyejukkan suasana dengan kelembutan suara dan kesejukan cara bicara. Kita membutuhkan tokoh agama yang seperti ini kali ini di negeri tercinta ini.
Bukan hanya tokoh agama yang bisa menjadi pendingin. Para pakar di bidangnya masing-masing bisa juga meredam panasnya nuansa politik di tahun politik ini dengan cara menampilkan pandangan yang mencerahkan dan mendamaikan, bukan mengeruhkan dan meruntuhkan. Berhentilah menjadi provokator.
Semua kitapun bisa menjadi pendingin dengan cara tak memilih yang memanaskan dan tak mendekat pada panas itu. Jadilah pendukung politik yang santun dan berbudi yang bisa menghormati siapapun termasuk yang tak sepaham dengan dirinya sendiri. Saya ingin sekali mendengar pujian dari suatu kelompok pendukung atas kelebihan yang dimiliki rival atau kelompok lawan, karena sesungguhnya masing-masing calon memiliki kelebihan di samping pasti memiliki kekurangan.
Demikianlah, dalam kehidupan ini, manusia tidak selalu sepaham dan sependapat tentang berbagai persoalan, seperti persoalan negara, ekonomi, sosial budaya, politik, hukum, bahkan agama. Karena itu mucnullah berbagai perdebatan menyangkut beragam hal tersebut. Agar terbangun perdebatan yang memicu perkembangan ilmu bukan memicu terjadinya konflik, maka perdebatan harus dijadikan usaha atau teknik adu pendapat yang dibangun di atas hujjah dan susunan pikiran yang premis-premisnya disusun secara baik yang diterima secara umum kebenarannya agar dapat mengalahkan lawan bicara untuk menrima kebenaran yang ada, bukan dilakukan secara ngotot dan berkeras kepala dalam mempertahankan pendapat sendiri. Wallahul Mustaan
*Penulis Adalah Mantan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Agama (Kemenag) Sulawesi Tengah