Mendahulukan orang lain dari pada diri sendiri adalah salah satu sifat terpuji dalam Islam.

Sifat ini dalam bahasa Al-Qur’an disebut dengan al-Itsâr yang berarti; bahwa seseorang mendermakan sesuatu yang sangat berharga kepada orang lain, sedangkan ia juga membutuhkan sesuatu tersebut, seperti orang yang memberikan makanan yang dimiliki satu-satunya kepada orang lain sementara ia pun sesungguhnya lapar.

Terhadap masalah al-Itsar ini contohlah Rasulullah Saw sebagaimana yang pernah dituturkan oleh Aisyah RA, bahwa Rasulullah Saw tidak pernah merasakan kenyang selama tiga hari berturut-turut sampai beliau wafat. Padahal jika beliau mau, niscaya bisa saja ia selalu kenyang.

Akan tetapi beliau lebih sering mendahulukan orang lain dari pada dirinya. Lebih-lebih sifat baik ini beliau tampakkan pada bulan Ramadhan.

Sebagaimana digambarkan dalam hadits, bahwa kebaikan Rasulullah Saw pada bulan puasa melebihi kebaikan angin yang bertiup. (HR. Bukhari Muslim).

Alangkah indahnya dunia ini jika setiap orang bisa mengamalkan hadits tersebut dengan sempurna. Alangkah damainya bumi yang kita tinggali ini jika orang-orang mampu menjadikan kepentingan orang lain lebih utama ketimbang kepentingan dirinya sendiri. Walau kenyataan yang kita hadapi kini mungkin cukup jauh panggang dari api.

Sebagian dari kita mungkin menganggap bahwa konsep itsar ini merupakan satu sikap yang sangat sulit ditemukan baik dulu hingga kini.

Karena banyak anggapan yang menyatakan bahwa fitrah manusia adalah mendahulukan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan orang lain dan agak sulit dibayangkan ada seseorang yang mau mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri.

Namun sungguh mudah contoh implementasi itsar ini kita temukan padadi masa generasi terbaik umat ini. Ya, kita akan dengan mudah mendapat berbagai kisah hikmah tentang Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabatnya yang berhasil memberikan teladan mulia akhlak itsar.

Begitu besar kemuliaan yang akan disandangkan bagi mereka yang mampu melakukan itsar dalam kehidupannya. Ada banyak ganjaran kebaikan yang telah menunggu bagi mereka yang mampu mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri.

Perilaku mengedepankan kepentingan orang lain ini juga disinggung dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang menceritakan kasih sayang dan kepedulian kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin, “Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9).

Allah begitu menyanjung perilaku mulia orang-orang Anshar terhadap orang-orang Muhajirin sehingga Allah pun menyebut orang-orang Anshar dengan muflihun, yaitu orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, Islam sangat mengecam perilaku manusia yang mencintai dirinya sendiri (hubbu nafsi) dan selalu mengutamakan dirinya daripada orang lain.

Sifat ini sangat dibenci oleh Rasulullah karena merupakan cerminan sifat individualisme, yaitu sifat yang hanya memikirkan maslahat dan diri sendiri serta cenderung ingin menang sendiri.

Demikianlah dahsyatnya sifat mendahulukan orang lain tersebut dalam Islam, betapa orang lain adalah diri kita sendiri yang juga harus kita penuhi kebutuhannya. Bukankah puasa memiliki pesan yang sama, yaitu agar kita dapat merasakan apa yang orang lain rasakan, khususnya kepada mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.

Memberikan sesuatu yang sudah tidak kita perlukan kepada orang lain, atau sesuatu yang masih banyak kita miliki adalah baik. Namun memberikan orang lain satu-satunya milik kita sedangkan diri kita juga membutuhkannya adalah puncak daripada kebaikan tersebut, dan inilah yang disebut dengan al-Itsâr.  Semoga kita punya hati yang kuat menjalankan sifat Rasulullah ini. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)