Setiap hari manusia berjibakumengais rezeki. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela menggadai diri dan menghinakan martabat.
Kondisi dunia modern yang sarat persaingan dan pergulatan menuntut mereka untuk lebih banting tulang dalam mencari nafkah berupa karunia Tuhan
Dalam mencari rezeki, Nabi SAW bersabda, Thalabul-halali faridhatun ‘ala kulli muslim. Artinya, “Mencari (rezeki) yang halal adalah kewajiban setiap muslim” (HR Muslim).
Beliau memperingatkan pula bahwa, Laa yadkhulul-jannata jasadun guziya bi haramin. Artinya, “Tidak akan masuk ke dalam surga jasad yang diberi makan dengan yang haram” (HR Abu Ya’la, Al-Bazzar, Tabarani, dan Al-Baihaqi).
“Dewasa ini, jangankan mencari yang halal, yang haram saja sulit.” Demikianlah ungkapan yang beredar di masyarakat luas.
Diriwayatkan, seorang perempuan mengadu kepada Imam Ahmad bin Hanbal RA yang alim dan kaya. Perempuan itu berkata, “Syekh, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya sangat miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak, saya merajut benang di malam hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak sambil bekerja sebagai buruh kasar di sela waktu yang ada. Karena saya tak mampu membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang bulan.” Menyimak serius penuturannya, perasaan miris mendengarnya.
Sebenarnya hatinya telah tergerak untuk memberi sedekah kepada perempuan itu, tapi dia urungkan dahulu, karena perempuan itu melanjutkan pengaduannya.
Perempuan itu tadi meneruskan penuturannya, “Pada suatu hari, ada rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang memanfaatkan cahaya lampu-lampu itu. Tetapi setelah selesai saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual? Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu? Sebab, saya melakukan pekerjaan itu diterangi lampu yang minyaknya dibeli dari uang negara, dan tentu saja itu tidak lain adalah uang rakyat.”
Imam Ahmad RA terpesona kemuliaan jiwa perempuan itu. Dia begitu jujur, di tengah masyarakat yang bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal haram lagi. Padahal jelas, perempuan ini begitu miskin dan papa. Maka dengan penuh rasa ingin tahu, Imam Ahmad RA bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini siapa?”
Suara serak karena penderitaannya yang berkepanjangan, perempuan ini mengaku, “Saya ini adik perempuan Basyar Al-Hafi.” Imam Ahmad RA makin terkejut. Karena Basyar Al-Hafi RA adalah gubernur yang terkenal sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya. Rupanya, jabatannya yang tinggi tidak disalahgunakan untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya. Sampai-sampai adik kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.
Setelah menghela nafas berat, Imam Ahmad RA berkata, “Pada masa kini, ketika orang-orang sibuk menumpuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan menggerogoti uang negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada perempuan terhormat seperti engkau, ibu. Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding berlapis-lapis serban yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.
Subhanallah, sungguh mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal bagi kami itu tidak apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara…”
Kemudian Imam Ahmad RA melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silakan engkau meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan kepada perempuan semulia engkau…”
Pada zaman sekarang, bisakah kita menemukan anak bangsa yang karakternya seperti perempuan ini? Ataukah kisah inspiratif seperti ini hanya menghiasi lembaran-lembaran kertas di dalam sebuah buku, bukan di atas lembaran kehidupan? Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)