Mencari Jejak Identitas Kaili Rai di Tengah Arus Modernisasi

oleh -
Salah satu pementasan seni dalam acara Festival Serumpun, di Kecamatan Tawaeli, Ahad (10/08) (Foto : media.alkhairaat.id/Mun)

Matahari sore perlahan tenggelam di balik perbukitan Tawaeli, sebuah kecamatan di utara Kota Palu, Sulawesi Tengah. Di halaman kantor camat, puluhan warga berkumpul, menunggu penampilan kebudayaan yang sudah lama dinanti. Suasana penuh harap menyelimuti kerumunan, yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua yang duduk di bangku plastik.

Di hadapan mereka, seorang lelaki paruh baya berdiri dengan sorot mata penuh kegelisahan. Dia bukan sekadar berbicara tentang sebuah festival, melainkan tentang sesuatu yang lebih dalam identitas yang kian tergerus.

“Identitas Kaili Rai sepertinya sudah mulai hilang,” ujarnya dengan nada getir.

“Di rumah saya bahkan keluarga sendiri sudah tidak tahu bahasa Kaili,” Pernyataan itu menggetarkan hati penonton. Mereka mengangguk, seolah setuju, bahwa identitas Kaili Rai, subetnis yang telah lama menghuni wilayah utara Palu, mulai memudar di tengah arus modernisasi yang kian deras.

Kaili Rai, subetnis dari Suku Kaili, adalah bagian dari mozaik budaya Sulawesi Tengah yang kaya. Mereka mendiami wilayah yang kini dikenal sebagai Tawaeli, Donggala, Parigi Moutong, dan sekitarnya. Di masa lalu, Kaili Rai hidup dalam naungan kerajaan tertua di Sulawesi Tengah, sebuah entitas yang kini hanya tinggal kenangan.

BACA JUGA :  Authority Bawaslu Sebelum Penetapan Calon dalam Pemilihan Kepala Daerah

Namun, di balik sejarah gemilang itu, ada kenyataan pahit yang harus dihadapi: budaya, bahasa, dan kesenian Kaili Rai semakin jarang terdengar, bahkan di tanah kelahirannya sendiri. Saat ini, hanya segelintir orang yang masih menguasai bahasa Kaili Rai, dan kesenian mereka jarang sekali tampil di panggung-panggung kebudayaan.

Farid Dg Sibali adalah salah satu dari sedikit orang yang masih peduli dengan keberadaan budaya Kaili Rai. Sebagai seorang pelaku seni asal Tawaeli, dia telah lama meresahkan kondisi kebudayaan Kaili Rai yang semakin terpinggirkan.

“Di Kota Palu lebih dominan dikenal dari kalangan Kaili Ledo, sementara Seni Budaya Rumpun Kaili Rai masih sangat jarang terekspos,” keluhnya.

Namun, keluhan Farid tidak hanya berakhir di kata-kata. Dengan tekad untuk melestarikan warisan leluhurnya, dia mengambil peran aktif dalam program Fasilitas Pemajuan Kebudayaan (FPK) 2024, sebuah inisiatif dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII.

BACA JUGA :  Widyaloka Palu Diharap Ciptakan Generasi Terbaik

Program ini memberikan kesempatan bagi pelaku seni seperti Farid untuk mengangkat kembali kesenian Kaili Rai melalui berbagai kegiatan kebudayaan.

Dengan dukungan dana FPK, Farid menyelenggarakan sebuah workshop yang mengumpulkan maestro, pelaku budaya, dan masyarakat untuk berembuk tentang masa depan budaya Kaili Rai. Workshop ini bukan sekadar diskusi akademis, melainkan upaya konkret untuk merumuskan strategi pelestarian budaya yang nyaris terlupakan.

Hari kedua dari rangkaian kegiatan ini menampilkan Festival Serumpun, sebuah perayaan budaya Kaili Rai yang membawa kembali tradisi-tradisi kuno ke hadapan publik. Salah satu penampilan yang paling mencuri perhatian adalah Dadendate, sebuah tradisi lisan yang dinyanyikan oleh Mahlun, maestro Dadendate asal Tawaeli. Dengan suara yang mendayu-dayu dan iringan kecapi kecil, Mahlun membawa penonton pada perjalanan nostalgia, mengingatkan mereka akan keindahan bahasa dan tradisi lisan Kaili Rai.

Tidak ketinggalan, penampilan tarian dari para pelajar yang dibimbing oleh Farid turut meramaikan festival. Tarian ini menceritakan bagaimana masyarakat Kaili Rai memperlakukan padi, simbol kehidupan dan kesejahteraan dalam tradisi mereka.

BACA JUGA :  UIN Datokarama Perkuat Sistem Pengendalian Internal

Farid menutup festival dengan sebuah harapan sederhana, namun penuh makna.

“Dengan dilaksanakannya gelar kebudayaan ini, semakin terbukalah apa-apa saja identitas Kaili Rai, supaya dikenal masyarakat kita hari ini,” katanya.

Namun, di balik harapan itu, terselip pertanyaan. Apakah upaya ini cukup untuk menjaga api budaya Kaili Rai tetap menyala di tengah arus globalisasi yang kian kuat? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Tapi satu hal yang pasti, melalui tangan-tangan seperti Farid, identitas Kaili Rai akan tetap diperjuangkan, meski tantangan di depannya tak sedikit.

Festival Serumpun di Tawaeli bukan hanya sebuah acara kebudayaan, tetapi juga sebuah pengingat akan pentingnya menjaga warisan leluhur di tengah derasnya perubahan zaman. Di antara riuh rendah perayaan, ada pesan mendalam yang terukir di hati setiap penonton: jangan biarkan budaya kita hanya menjadi kenangan di masa depan.

Penulis : Mun