Penulis Muh. Rasyidi Bakry,S.H.,LL.M (Advokat dan Konsultan Hukum)
DALAM sebuah video yang beredar di beberapa group WhatsApp, De Bee Lubis (Asisten Adminstrasi Umum Setda Kab. Donggala) terlihat diwawancara di acara talkshow “Bicara Langsung” di TVRI Sulteng.
Dalam wawancara tersebut salah satu isu yang dibahas adalah persoalan pelantikan Kepala Desa Marana, Kab. Donggala Bapak Lutfin, S.Sos. Ketika ditanya oleh host talkshow tentang isu yang dibahas, Lubis memulai penjelasannya dengan memberikan uraian yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut;
“Bahwa, Yang bersangkutan (kades Marana) awalnya memang mengikuti Pilkades (pemilihan kepala Desa), namun setelah menang tidak langsung dilantik, karena ada gugatan dari Masyarakat terkait hasil Pilkades Desa Marana, hal yang sama juga terjadi di 8 desa yang lain. Karena tidak langsung dilantik, maka Blio (Kades Marana) menyatakan TIDAK ADIL. Padahal penundaan pelantikan itu, disebabkan karena ada gugatan di PN Donggala, yang oleh Majelis Hakim akhirnya memutuskan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima atau N.O (niet ontvankelijke verklaard).
Terkait dengan Putusan itu, berdasarkan prinsip kehati-hatian, Bupati Donggala meminta petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan setelah ada balasan dari Ketua Pengadilan Tinggi, baru Blio (Kades Marana) dilantik. Apa yang dilakukan oleh Bupati Donggala telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.”
Setelah penjelasan tersebut, Lubis kemudian menyambung omongannya dengan menyatakan bahwa
“kalau kita bicara tentang adil, sesungguhnya dari sejak jaman Aristoteles belum ada satu pun pakar hukum yang bisa menyimpulkan apa itu adil ? karena ADIL itu berada dalam wilayah filsafat. Adil tidak berada dalam wilayah norma. Karena kalau kuliah di Fakultas Hukum, sejak semester satu sudah diajarkan bahwa “keadilan yang setinggi-tingginya adalah ketidak adilan. Semakin kita mengejar ketidak adilan, semakin kita mendapati ketidak adilan, tapi justru di situlah letak keadilan.
Antara keadilan dan ketidak adilan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan”
Saya tergelitik, untuk mengecek kebenaran pernyataan Lubis, yang mengutip kalimat filosofis terkait keadilan tersebut dan mengaitkannya dengan isu yang sedang dibahas dalam talkshow.
Setelah menelah secermat mungkin, apa yang diutarakan lubis dalam talkshow dan membandingkan dengan beberapa referensi yang saya baca, maka saya ingin memberikan beberapa tanggapan berikut ini.
Mengenai pernyataan yang menyatakan bahwa
“berdasarkan prinsip kehati-hatian, Bupati Donggala meminta petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan setelah ada balasan dari Ketua Pengadilan Tinggi, baru Blio (Kades Marana) dilantik”
Pernyataan ini agak aneh, karena tidak jelas apa yang jadi dasar Bupati Donggala harus meminta petunjuk lagi kepada Pengadilan Tinggi terkait Putusan PN Donggala Nomor 34/Pdt.G/2019/PN Dgl, yang dinyatakan N.O, tersebut.
Sebab, 14 hari setelah dibacakan pada Jum’at tanggal 26 Juni 2020 maka Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, karena tidak ada upaya hukum lagi dari Pihak Penggugat atau Tergugat.
Kemudian, dalam gugatan yang dinyatakan N.O., tersebut, Lutfin S.Sos, ditempatkan sebagai Tergugat I. Dengan tidak diterimanya gugatan tersebut, maka Putusan itu adalah sesuatu yang sebenarnya menguntungkan Lutfin, sehingga semestinya Lutfin merasa diperlakukan adil dengan Putusan ini.
Lantas dimana letak relevansi antara Putusan ini dengan statemen filosofis soal keadilan yang diutarakan Lubis ? Sepertinya tidak ada. Karena, kalau pun ada yang merasa diperlakukan tidak adil dengan Putusan itu, maka Penggugatlah yang mestinya merasakan itu. Tapi Penggugat pun, telah menerima Putusan itu karena tidak ada lagi upaya hukum yang dilakukan.
Terkait pernyataan Lubis yang menyatakan bahwa “keadilan yang setinggi-tingginya adalah ketidak adilan”, apakah pernyataan ini benar ? Sejauh yang saya pahami dari berbagai literatur yang saya baca, pernyataan itu, sebenarnya terjemahan bebas dari adagium hukum yang menyatakan bahwa “Summum ius, summa iniuria” yang juga dapat diartikan dengan kalimat “Kepastian Hukum Yang Absolut, Adalah Ketidakadilan Yang Tertinggi”.
Jadi sebenarnya, adagium ini berangkat dari perdebatan antara penganut “paham positivism” dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa hukum itu harus dikonsepsikan sebagai ius yang telah mengalami positifisasi sebagai lege atau lex atau Undang-Undang, guna menjamin kepastian antara yang terbilang hukum atau tidak.
Sementara aliran ini banyak ditentang oleh penganut aliran hukum kritis atau hukum progresif, yang sebaliknya menganggap bahwa hukum tidak hanya tertulis dalam undang-undang, melainkan ada juga hukum yang tidak tertulis yang terus hidup dan berkembang di masyarakat.
Dari perdebatan kedua aliran inilah sehingga muncul adagium bahwa “Summum ius, summa iniuria” atau “Kepastian Hukum Yang Absolut, Adalah Ketidakadilan Yang Tertinggi” atau yang biasa juga diterjemahkan dengan “keadilan yang setinggi-tingginya adalah ketidak adilan”.
Untuk memahami secara lebih kongkrit adagium ini, misalnya bisa dicontohkan bahwa “seorang yang mencuri karena kelaparan, harus dihukum sama beratnya dengan orang yang mencuri karena memang motifnya ingin mencuri”.
Oleh penganut aliran hukum progresif, penyamarataan hukuman dari dua perkara yang sama namun didorong oleh motif yang berbeda ini, adalah sesuatu yang tidak adil, karena bagaimana pun penentuan hukuman seseorang haruslah dengan memastikan sikap batin (mens rea) terlebih dahulu.
Dalam menilai Putusan Hakim, juga banyak dilakukan dengan merujuk pada dua aliran tersebut. Hakim yang tidak terpaku pada aturan positif dianggap dapat memberikan keadilan substansial (substantive justice) bagi masyarakat pencari keadilan.
Disisi lain, ada juga putusan hakim yang dianggap terlalu mengedepankan keadilan prosedural (procedural justice).
Bahkan Sebastiaan Pompe (2005) dalam hasil penelitiannya selama beberapa tahun terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia dan badan peradilan di bawahnya mendapatkan kesimpulan bahwa “lembaga peradilan merasa lebih “aman” mengedepankan aspek penegakkan hukum (supremacy of law) daripada penegakkan keadilan itu sendiri (supremacy of moral justice)”.
Sehingga dari perdebatan kedua aliran itulah, akhirnya bermuara pada adagium atau asas “summum ius, summa iniuria” tersebut. Karena, benar bahwa ukuran keadilan itu adalah sesuatu yang relative, ada yang mendasarkannya hanya pada aturan positif, namun ada juga yang memberikan penafsiran secara progresif, tanpa harus terbelenggu dengan aturan positif.
Sehingga, tidak mengherankan jika ada orang yang merasa telah diperlakukan adil oleh suatu putusan hukum, namun di saat yang sama, ada juga yang merasa telah cukup puas dan adil.
Lantas apa relevansi pernyataan Lubis terkait keadilan dengan Putusan PN Donggala yang menyatakan gugatan Penggugat terhadap Lutfin, S.Sos., tidak dapat diterima, sehingga Putusan ini justru menguntungkan Lutfin ?
Nah, dalam pandangan kami, ini yang terasa aneh.
Karena mengutip adagium atau azas seperti yang dilakukan Lubis dalam wawancara tersebut semestinya harus dikaitkan relevansinya dengan topik yang jadi pembahasan. Karena, jika tidak ada penjelasan lebih detail, maka pernyataan-pernyataan filosofis seperti itu, yang dalam pandangan kami, tidak relevan dengan topik yang dibahas, justru bisa menyesatkan banyak pihak, terutama masyarakat yang awam hukum.
Atau mungkin, Lubis hendak menjustifikasi tindakan Bupati Donggala yang menunda pelantikan Kades terpilih Lutfin, S.Sos, walaupun Putusan PN tersebut telah inkrah tapi harus minta Petunjuk lagi ke Pengadilan Tinggi ? Hanya Lubis dan Tuhan yang tau.***