Starting Point Visi Misi Kandidat
Visi misi dan program yang disampaikan calon kepala daerah wajib sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Visi, misi dan program yang dijanjikan harus realistis dapat dilaksanakan dan memiliki target jangka waktu dapat dilaksanakan selama menjalankan pemerintahan.
Agar Pembangunan daerah dilaksanakan secara berkelanjutan mestinya visi, misi dan program calon gubernur dan wakil gubernur sesuai dengan RPJMD Sulawesi Tengah. Beberapa isu krusial dalam pembangunan daerah di Sulawesi Tengah antara lain ;
Pertama, masalah kemiskinan. Menurut data BPS Provinsi Sulawesi Tengah bahwa Persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 11,77 persen, menurun sebesar 0,64 persen poin terhadap Maret 2023.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 379,76 ribu orang, menurun sebesar 15,9 ribu orang
dibandingkan dengan kondisi Maret 2023.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2023 sebesar 8,9 persen, turun menjadi 8,61 persen pada Maret 2024. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada Maret 2023 sebesar 14,09 persen, turun menjadi 13,33 persen pada Maret 2024.
Dibanding Maret 2023, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 di daerah perkotaan turun sebanyak 0,2 ribu orang (dari 92,11 ribu orang pada Maret 2023 menjadi 91,92 ribu orang pada Maret 2024).
Sementara itu, pada periode yang sama jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun sebanyak 15,7 ribu orang (dari 303,55 ribu orang pada Maret 2023 menjadi 287,84 ribu orang pada Maret 2024).
Garis Kemiskinan pada Maret 2024 tercatat sebesar Rp600.872,-/kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp453.429,- (75,46 persen), dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp147.443,- (25,54 persen). Pada Maret 2024, secara rata-rata rumah tangga miskin di Sulawesi Tengah memiliki 5,41 orang anggota rumah tangga.
Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp3.250.718,-/rumah tangga miskin/bulan.
Problem kemiskinan tidak saja hanya masalah ekonomi semata, namun merambah keberbagai dimensi permasalahan seperti ; dimensi sosial, politik dan budaya.
Di luar dimensi ekonomi bahwa penyebab kemiskinan. sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial. Kemiskinan telah menyebabkan individu hidup dibawah standart kehidupan yang layak atau kondisi dimana invidu mengalami deprivasi relatif dibandingkan individu lainnya di masyarakat.
Kemiskinan juga merupakan ketidakmampuan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuasaan
sosial yang meliputi modal produktif atau asset berupa tanah, perumahan, peralatan dan Kesehatan, sumber sumber keuangan, organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial serta informasi.
Kedua, masalah pengangguran dan lapangan pekerjaan. Problem krusial pengangguran adalah kurang tersedianya lapangan kerja yang disiapkan oleh pemerintah maupun swasta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah bahwa tingkat pengangguran terbuka sejak februari 2021 sampai februari 2024 memang mengalami penurunan di angka 0,34 %. Data tingkat
pengangguran terbuka tahun 2023 sebesar 3,49% sedangkan pada Februari tahun 2024 sebesar 3,15%.
Sementara untuk pekerja penuh ada 986,68 ribu orang atau 64,67% warga bekerja penuh kurang lebih 35 jam. Selajutnya pekerja tidak penuh 1-34 jam berjumlah 538,98 ribu orang atau setara 35,33%. Pekerja tidak penuh dikelompokan dalam dua kategori yaitu setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu.
Berdasarkan data ini, menunjukan bahwa pengangguran di Sulawesi Tengah masih tinggi, meskipun kebijakan pemerintah daerah Sulawesi Tengah pada tahun 2024 setidaknya dapat menurunkan angka pengangguran sebesar 0,34% dari tahun 2023.
Ketiga, masalah Pembangunan Infrastruktur. Problem infrastruktur pembangnan di daerah Sulawesi Tengah dapat diukur dari tingkat kesulitan geografis dimana diukur berdasarkan jangkauan ketersediaan pelayanan dasar, infrastruktur dan aksesibilitas/transportasi.
Semakin besar tingkat kesulitan geografis berarti semakin sulit desa dalam menjangkau ketersediaan akan pelayanan dasar, infrastruktur dan aksesibilitas/transportasi, dibandingkan dengan desa yang memiliki tingkat kesulitan geografis yang lebih rendah. Sehingga desa dengan Indeks Kesulitan geografis yang tinggi perlu perhatian yang lebih besar dari pemerintah.