Perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, tidak lama lagi akan mencapai puncaknya. Tanggal 17 April mendatang akan menjadi hari penentuan dari semua perjuangan para kontestan yang bertarung di gelanggang Pemilu, baik yang mencalonkan diri sebagai Presiden/Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota di seluruh penjuru negeri.

Hari Rabu nanti akan menjadi saksi tereliminasinya ribuan calon legislatif yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT). Hanya sebagian kecil saja yang bisa duduk di kursi parlemen, mengingat kuota yang disiapkan cukup terbatas, sesuai dengan perkiraan jumlah penduduk dari masing-masing daerah pemilihan (dapil).

Di arena politik nasional, khususnya perebutan kursi Parlemen Senayan, cukup tersedia ratusan kursi. Berbeda dengan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang hanya menyediakan puluhan kursi, di DPR RI sendiri tersedia sebanyak 575 kursi. Artinya, akan ada 575 kursi yang akan diisi para legislator perwakilan dari puluhan provinsi yang ada di Indonesia.

Perjalanan menuju Desa Bambasia yang hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor. (FOTO: IST)

Di tahap pencalonan, 575 kursi itu mesti diperebutkan terlebih dahulu oleh 7968 calon yang terdaftar di DCT. Mereka berasal dari 16 latar belakang partai politik yang berbeda-beda.

Salah satu dari ribuan calon legislatif yang berkompetisi itu terdapat nama Asgar Ali Djuhaepa. Menggunakan perahu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Asgar maju bertarung melalui Dapil Sulawesi Tengah (Sulteng).

Dari dapil ini, Asgar mesti bersaing dengan 97 calon lainnya untuk bisa mendapatkan satu dari tujuh kuota kursi yang disiapkan. Jika pada Pemilu 2014 lalu, jatah kursi untuk dapil Sulteng hanya disiapkan sebanyak enam, maka pada Pemilu tahun ini ditambah satu kursi atas dasar bertambahnya jumlah penduduk, sebagaimana Data Agregat Kependudukan per-Kecamatan (DAK 2) milik Kementerian Dalam Negeri (Mendagri).

Jika disebut perang tokoh, maka dapil Sulteng memang layak disebut sedemikian rupa.

Lalu siapa Asgar sendiri? Sebesar apa peluangnya di pentas politik nasional dari sisi keterpilihannya di daerah ini?

Putra asli Suku Kaili ini lahir di Palu, 11 Oktober 1954 silam.

Model komunikasi yang oleh kalangan masyarakat sangat ramah dan sederhana, serta modal elektabilitas dari pemilih militan yang pernah mengantarnya ke kursi DPRD Sulteng, sepuluh tahun silam, tentu bukanlah pekerjaan yang terlalu berat baginya ketika berhadapan dengan petahana Senayan lainnya yang masih berkompetisi saat ini.

Sepak terjangnya mengemban suara dan aspirasi rakyat semasa duduk di DPRD Sulteng, tentu patut diperhitungkan. Menyandang Ketua Komisi III Bidang Pembangunan dan Anggota Komisi II Bidang Ekonomi dan Keuangan, serta pernah menjadi bagian dari Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sulteng yang notabene berhubungan langsung dengan kebijakan penganggaran untuk hajat hidup rakyat, tentu bukan hal sulit baginya untuk kembali meraih simpati dalam menapak karir legislator ke jenjang yang lebih tinggi.

Silaturrahmi dengan tokoh masyarakat, tokoh perempuan dan tokoh pemuda di Desa Vombo Kalonggo, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala. (FOTO: IST)

Dari sisi partai politik, PPP adalah partai dengan basis massa kultural yang sulit diobok-obok dengan cara apapun. Mereka yang sudah terlanjur “cinta” dengan partai berlambang Ka’bah ini, akan sulit pindah ke lain hati.

Mantan Ketua DPW PPP Sulteng ini pernah menjadi legislator periode 2009-2014 dari Dapil Donggala dan Sigi. Meskipun di periode berikutnya, Asgar sempat gagal duduk kembali dari dapil yang sama, namun semua itu bukan karena minimnya suara yang didapat, melainkan “permainan” saingan politik yang membuat suara yang sebelumnya mencapai 23 ribu, amblas menjadi sekitar 17 ribu dan menempatkannya di urutan ke 10.

Jelas, basis pemilih militan di dua dapil ini, sudah digenggam.

Bagaimana dengan Kota Palu? Asgar sendiri lahir dan berdomisili di Kota Palu. Mayoritas Suku Kaili yang menghuni kota ini, juga menjadi indikator tersendiri yang secara langsung bisa mengangkat elektabilitasnya.

Secara umum, setiap sudut yang ada di Kota Palu juga sudah diisi dengan Alat Peraga Kampanye (APK) dalam bentuk spanduk dan baliho. Komunikasi yang intens ala budaya Kaili, juga massif dilakukan di daerah dengan jumlah pemilih ketiga terbesar yang ada di Sulteng ini.

Modal suara di tiga daerah ini tentu belum bisa membuat Asgar berada di zona aman. Pertimbangan inilah yang membuat Asgar bersama tim untuk merambah daerah lain dengan jumlah pemilih terbesar, Parigi Moutong.

Di daerah dengan jumlah pemilih sekitar 299.522 jiwa itu, Asgar bergerak. Dari Kecamatan Parigi Induk, Palasa hingga kecamatan terjauh di Parigi Moutong, seperti Bolano Lambunu, pun dijelajah. Asgar bersama tim menyasar hingga pelosok yang dari pengakuan masyarakat, belum pernah “dijamah” oleh caleg DPR RI lain.

“Pa Asgar cukup dikenal di sini apalagi kita sama-sama orang Kaili. Orangnya ramah dengan kita. Namanya orang Kaili, biarpun jauh dengan kita, pasti dia ingat kita di sini. Sangat jarang, bahkan boleh dikata cuma Pa Asgar sendiri caleg DPR RI yang masuk mendatangi kami di sini”  begitu pengakuan seorang tokoh masyarakat.

Pengakuan di atas adalah satu dari sekian banyak tokoh yang mengungkap bagaimana mereka begitu antusias menyambut kunjungan Asgar. Sambutan positif terus dituai.

Sebuah momen paling tepat ketika Asgar mengunjungi Desa Bambasia di Kecamatan Palasa yang memiliki penduduk kurang lebih 30 kepala keluarga muallaf. Saking terisolirnya daerah ini, untuk mencapainya pun hanya bisa ditempuh dengan menggunakan sepeda motor.

Desa ini sama sekali belum dilirik oleh caleg lain. Momen kunjungan ini pun tak disia-siakan warga dengan menyampaikan keluhan dan usulan-usulan program untuk pemberdayaan muallaf.

Asgar dengan gaya santunnya yang khas, pun merespon setiap masukan yang diterimanya dengan senang hati. Saat ini, Asgar sendiri mengaku belum bisa berbuat banyak, tetapi apa yang diinginkan masyarakat bukan hal mustahil untuk diwujudkan manakala dia sudah duduk di parlemen. Kelihaiannya masuk dalam kebijakan anggaran selama di DPRD Sulteng, boleh jadi akan diterapkan manakala dia duduk di lembaga parlemen yang lebih tinggi nanti.

Tak sampai disitu, wilayah Sulteng bagian utara juga menjadi incaran Asgar, tepatnya di Tolitoli dan Buol.

Daerah pengasil cengkeh ini memang bukan menjadi bagian dapilnya saat maju di DPRD Sulteng, periode sebelumnya. Tapi nama Asgar Ali Djuhaepa bukanlah orang baru bagi kalangan masyarkat dan tokoh di daerah itu.

Asgar Ali Djuhaepa saat menemui warga Parigimpu yang sedang bergotong royong membangun dapur. (FOTO: IST)

PPP sendiri mempunyai basis massa yang jelas di daerah itu. Hal ini ditopang dengan keberadaan Abdul Rahman H Budding, Wakil Bupati Tolitoli yang notabene merupakan Ketua DPW PPP Sulteng, saat ini.

Mesin partai, pengaruh ketua DPW PPP yang cukup mengakar di masyarakat, ditambah tingkat keterkenalan kepada Asgar, bukan tidak mungkin menjadi pendulang suara di hari H nanti, 17 April 2019.

Pengetahuan masyarakat tentang siapa Asgar dan apa latar belakangnya, bukanlah isapan jempol. Asgar yang intens melakukan kunjungan di setiap kesempatan, membuatnya tak lagi menjadi “orang baru” di daerah itu.

Ini juga berdasarkan pengakuan tokoh masyarakat setempat, bahwa Asgar memang cukup dikenal di daerah itu.

Belum lagi jika berbicara mesin partai. Di Sulteng, PPP sendiri hampir mengisi penuh semua DCT di setiap tingkatan parlemen, baik di 13 kabupaten/kota dan provinsi. Inilah yang dimanfaatkan Asgar. Kolaborasi selalu dibangun dengan para caleg, berjalan seiring menyampaikan program-program inovatif kepada masyarakat, termasuk menyatukan visi dan misi dalam alat peraga kampanye.

Demikian halnya dengan struktur partai. Di Sulteng, PPP juga memiliki tingkat kepengurusan sampai ke akar rumput, di anak ranting. Keberadaan tokoh PPP kultural sebagai pengurus di akar rumput, membuat mobilitas perkenalan kepada masyarakat menjadi begitu mudah. Komunikasi dengan konstituen berdasarkan fasilitasi dari pengurus di tingkat bawah, membuat masyarakat tidak ragu memilih Asgar.

Terakhir adalah metode kampanye door to door yang sangat jarang diterapkan saingan politiknya. Metode ini patut diakui menjadi salah satu strategi yang cukup baik untuk meraih simpati pemilih. Mendatangi langsung masyarakat dengan berdialog melalui pertemuan terbatas dari rumah ke rumah, membuat masyarakat merasa nyaman menyampaikan uneg-uneg, ketimbang harus teriak-teriak menyampaikan program kerja dalam kampanye rapat umum.

Asgar pun dengan nyata bisa mengidentifikasi, mana masyarakat yang betul-betul akan memilihnya pada hari H nanti. Boleh dikata, basis-basis suara suara dikantongi Asgar, meskipun hari pemilihan masih berlangsung beberapa pekan lagi.

Ini penting bagi masyarakat pelosok Sulawesi Tengah yang rata-rata mencari nafkah dengan bertani. Paham dengan seluk beluk pertanian, membuat Asgar dinobatkan menjadi Ketua Umum  Pertanu (Persatuan Tani Nusantara). Tentunya, solusi atas persoalan pertanian masyarakat, bisa dijawab dengan lugas melalui program nyata yang diusungnya.

Berbicara ekonomi, teknologi dan industri, Asgar sendiri bukanlah seorang yang hanya punya pengalaman berkarir di pentas bisnis dan birokrasi daerah. Level nasional, bahkan internasional pernah dilakoninya.

Anak ketiga dari enam bersaudara ini pernah menjadi Kepala Pemasaran PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pimpinan Menristek/Kepala BPPT, BJ Habibie.

Di BPPT, Habibie memberi amanah Asgar sebagai Staf Khusus. Dengan kapasitas dan posisi yang dimiliki, Asgar selalu mendampingi Habibie untuk kunjungan luar negeri. Sebagaimana Habibie, Asgar juga menguasai beberapa bahasa asing. Kehidupan yang mapan dan dekat dengan elit kekuasaan (waktu itu), tidak membuat Asgar melupakan Sulteng dan Palu, daerah kelahirannya. Ia selalu terkenang daerah yang membesarkannya. Hampir tiap saat Asgar memikirkan kemajuan daerahnya.

Baginya, jika hanya sekadar ingin hidup mapan, semua itu sudah didapatkan di Jakarta. Tapi keinginan untuk mengabdi pada daerah dan masyarakat Sulteng, memanggil nuraninya untuk pulang kampung.

Pengalaman Asgar di dunia bisnis dan birokrasi saat mendampingi BJ Habibie sebagai Menristek/Kepala BPPT, membuat dirinya memahami arti penting mengelola sumberdaya alam daerah untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat. ***