OLEH: Syehan Marilau, S.Ag.,M.Si*

Apalah arti sebuah nama. Demikian Willam Shakespeare menuliskan satu frasa pada naskah drama tragedi Romeo and Juilet pada empat abad silam -belakangan banyak orang mengutip pernyataan itu jika sedang bicara soal nama, atau penamaan.

Dalam konteks ini, Willian sebenarnya menggunakan frasa itu diucapkan oleh Juliet kepada Romeo Montague, bukan karena namanya. Tapi kepada si pemilik nama. Tubuh dan jiwa Romeo, dilekatkan nama apa pun, tetap Juliet akan mencintainya.

Terlepas dari konteks pernyataan Willian melalui Juliet itu, bagi saya nama selalu adalah hal yang penting. Dalam pemahaman Islam disebutkan, bahwa nama adalah Doa. Dan dari sejak lama, nama hadir sebagai sebuah penanda, baik itu menunjukkan karakter, tampilan secara lahiria dan segala yang melekat dari proses penamaan itu sendiri.

Kali ini saya tertarik untuk membahas nama yang melekat pada tempat. Tepatnya sebuah daerah yang belakangan banyak muncul karena pemekaran suatu wilayah.

Setidaknya ada satu alasan yang umum digunakan saat menentukan sebuah nama wilayah. Dalam bidang ilmu linguistik, ada istilah Toponimi, yang mempelajari dan membahas tentang asal-usul penamaan tempat, wilayah, atau suatu bagian lain di permukaan bumi.

Bila dipandang lebih luas, Toponimi bisa dikaitkan dengan bidang etnologi dan kebudayaan. Toponimi sendiri adalah bahasa Yunani tópos (τόπος) yang berarti tempat dan diikuti oleh ónoma (ὄνομα) yang berarti nama.

Penamaan dengan pendekatan ini, selalu merujuk karakter sebuah wilayah, seperti daratan, lembah, gunung atau perairan. Atau vegetasi tertentu yang mendominasi sebuah wilayah yang fungsinya sangat strategis.

Ambil contoh nama Desa Maninili di Kecamatan Tinombo, yang sebenarnya berasal dari kata Meniling, pohon yang banyak tumbuh di wilayah tersebut -oleh masyarakat setempat digunakan sebagai ramuan obat tradisional seperti halnya obat-obatan herbal.

Atau kalau kita ke Palu, ada namanya Kampung Lere di bagian Palu Barat. Dalam sejarahnya, kelurahan yang letaknya di pesisir teluk Palu ini banyak ditumbuhi tanaman Tapal Kuda -dalam bahasa Kaili disebut Lere. Dan banyak lagi daerah-daerah lain yang punya konsep penamaan semacam itu, seperti Kota Luwuk- asalnya dari kata Luwok yang berarti teluk.

Lagi-lagi saya tekankan, soal penamaan daerah ini penting, sebab harus ada alasan kuat yang mejadi latar belakangnya. Ada konsep yang matang yang harus menjadi acuannya. Tidak seperti yang belakang banyak kita temukan, penamaan suatu tempat dengan cara yang ‘kurang kreatif’, hanya mengacu pada arah mata angin, atau letak wilayah dari tinggi rendahnya permukaan daratannya.

Mari kita persoalkan Tinombo Selatan, kecamatan yang merupakan pecahan dari Tinombo—wilayahnya meliputi Malanggo pesisir hingga Tada Selatan. Kenapa mesti Tinombo Selatan? Kenapa bukan “BETENG” misalnya, yang artinya Benteng Pertahanan. Nama sebuah gunung di Sungai Manggabalu, batas alam Desa Siaga dengan Desa Maninili.

Nama ini punya latar sejarah. Gunung ini menurut cerita yang berkembang di masyarakat secara turun-temurun, menjadi tempat perlindungan strategis, karena di lerengnya ada Sungai Manggabalu yang terhubung langsung dengan gunung membentuk jari-jari.

Bukankah akan lebih elok kita mengangkat khasanah sejarah ini, dibanding hanya memperkuat sejarah lama yang sudah kita ketahui bersama, bahwa Tinombo Selatan dulunya merupakan pemekaran dari Kecamatan Tinombo yang letaknya di sebelah selatan.

Saya agak skeptis melihat fenomena ini, jangan-jangan, pola penamaan “arah mata angin” ini punya motif politis, yang bakal mengkerdilkan Tinombo Selatan dan daerah sekitarnya untuk merdeka membentuk wilayah baru. Sengaja dinamakan begitu, agar tidak bisa lepas dari rencana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Tomoni Raya yang sudah diwacanakan sejak 2009 dan sampai saat ini belum jelas dimana ujungnya.

Kita patut curiga, sebab politik selalu mencari cara yang kadang tak diduga-duga. Tapi semoga tidak demikian. Sehingga sebagai warga yang lahir dan dibesarkan di Maninili, saya mau mengajak kita untuk ‘bermimpi’ menjadi sebuah wilayah merdeka dan mengukir sejarah baru.

Menuju Kabupaten Tanantajio

Bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kecamatan Tinombo Selatan ke 18 pada hari ini, 13 Maret 2024, saya tertarik mengajak kita semua untuk ‘bermimpi’ menatap masa depan. Syukur-syukur ini bisa menjadi realita di masa mendatang.

Dengan mempertimbangkan segala potensi daerah, termasuk letak geografis yang strategis, bukan tidak mungkin Tinombo Selatan bisa berdiri sendiri menjadi DOB, dengan nama Tanantajio.

Tanantajio adalah wilayah yang didiami Suku Tajio, salah satu suku di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah -meliputi Kecamatan Tinombo Selatan, Kecamatan Kasimbar, dan Kecamatan Toribulu, membentang di pesisir timur sepanjang hampir 100 KM per segi.

Wilayah ini berpeluang menjadi satu kabupaten sendiri di masa depan, dengan mencalonkan Kasimbar sebagai ibukota kabupaten yang representatif.

Hal ini sangat mungkin, sebagaimana sebelumnya Tinombo Selatan akhirnya berdiri sendiri setelah memenuhi syarat untuk menjadi kecamatan baru, melepaskan diri dari kecamatan induknya, Tinombo. Entah wacana Tanantajio ini akan terjadi pada sepuluh, dua puluh, atau seratus tahun ke depan, yang pasti akan ada perubahan.

Kemudian pertanyaan akan muncul, mengapa harus Kasimbar sebagai ibu kota? Jawabannya sederhana—secara geografis Kasimbar berada di tengah Tinombo Selatan dan Toribulu. Tapi bila ditelisik lebih jauh, setidaknya memiliki tiga alasan penting:

Pertama, Kasimbar punya catatan sejarah kerajaan yang sudah berdiri sejak tahun 1711. Ada literatur yang menyebut bahwa cikal bakal berdirinya Kerajaan Moutong itu dari Kerajaan Kasimbar. (perlu pembahasan khusus).

Kemudian yang kedua, wilayah ini bisa dibilang strategis karena punya akses jalan Kasimbar-Tambu. Jalur ini menghubungkan dua wilayah antara Kasimbar di pesisir timur, dan Kecamatan Tambu di pesisir barat. Jalur ini penting, sebab Selat Makassar yang menjadi antara Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur, diharap menjadi jalur penghubung antara wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan wilayah Timur Indonesia ketika dermaga Tambu dibangun.

Yang terakhir, dulu sempat diwacanakan tentang Terusan Sulawesi atau Terusan Khatulistiwa. Sekalipun ini wacana lama yang masih terus dibicangkan di kalangan elit, tapi kita bisa menaruh harapan jika nantinya bisa terwujud. Terusan ini menjadi penting, karena akan membelah pulau Sulawesi menjadi jalur transportasi laut untuk memperpendek jarak pelayaran dari wilayah timur ke barat.

Memang, untuk mewujudkan mimpi tersebut masih perlu kajian mendalam, terutama berkaitan dengan aspek ekologis dan geologis, sebab Sulawesi Tengah mempunyai sejumlah lempeng tektonik aktif.

Namun jika proses kajian memberi lampu hijau untuk pembukaan terusan tersebut, maka Kasimbar akan menjadi penghubung antara IKN dengan wilayah Timur Indonesia. Bukankah ini sebuah peluang?

Kemudian mari kita melihat data demografi untuk menakar potensi untuk pembentukan DOB. Total jumlah desa yang tersebar di tiga kecamatan sebanyak 47, masing-masing Tinombo Selatan 20 desa, Kasimbar 18 desa dan Toribulu 9 desa.

Dengan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah, bukan tidak mungkin beberapa desa akan membentuk kecamatan baru, hingga mencukupi jumlah kecamatan yang menjadi syarat untuk membentuk satu kabupaten.

Memang, dalam mencapai cita-cita ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu upaya besar yang harus dilakukan sejak dini, untuk memenuhi syarat-syarat dalam pembentukan DOB Tanantajio nantinya. Kita perlu melakukan inventarisasi segala potensi di semua sektor, terutama potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Di sektor ekonomi, dengan segala subsektor yang menopangnya, sektor kesehatan, pendidikan, budaya dan politik -semua harus bisa menjawab tantangan untuk memastikan bahwa Tanantajio layak menjadi sebuah daerah otonomi baru yang mempunyai identitas sendiri, sebagai wilayah yang secara akar kulturnya sama, yakni Tajio.

Jika semua upaya dilakukan dengan baik, terukur dan tertata untuk mencapai cita-cita di masa mendatang, saya yakin dan percaya bahwa mimpi besar ini bisa terealisasikan. Kehadiran Tanantajio sebagai satu daerah otonom di Sulawesi Tengah, akan menambah khasanah keragaman entitas bangsa Indonesia.

Nah, sampai di sini, bukankah soal penamaan wilayah ini menjadi penting?

*Penulis adalah Arsiparis Ahli Madya di Kemenag Parigi Moutong