Pembangunan Hotel Mutiara boleh jadi awal “malapetaka” yang dialami para ahli waris almarhum Moehd. Idris Ro-E. Anak-anak dari Direksi Pendiri Bank Pembangunan Sulawesi Tengah (Sulteng) itu harus berjibaku dengan proses hukum, menuntut pemenuhan hak yang dinilai telah dirampas oleh bank milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng tersebut.
Ihwal persoalan ini berangkat dari pengajuan kredit yang dimohonkan salah satu ahli waris kepada Bank Sulteng untuk pembangunan hotel di Kota Palu, tahun 90-an silam. Sebagai persyaratan, ahli waris selaku debitur harus memasukkan agunan sebagai jaminan bank untuk mengeluarkan sejumlah uang yang dimaksud. Ahli waris pun memasukkan agunan berupa sertifikat tanah yang berada di Jalan Gunung Loli, lengkap dengan surat ukurnya. Sebagai agunan tambahan, debitur kembali memasukkan Sertifikat Hak Milik Nomor: 34/1978 Desa Birobuli, tepatnya di Jalan Kijang, Kota Palu, beserta Surat Ukur/Gambar Situasi Nomor: 421/1978 tanggal 10 April 1978. Surat ukur inilah yang kemudian menjadi penyebab utama “malapetaka” itu.
Dalam perjalanannya, terdapat beberapa masalah yang membuat debitur tidak bisa lagi melunasi utangnya kepada Bank Sulteng. Sebagai konsekwensi, debitur pun harus merelakan hotel yang sudah terbangun untuk dieksekusi dan kemudian dilelang oleh pihak bank. Meskipun menilai ada kejanggalan dari proses eksekusi dan lelang tersebut, namun pihak debitur tidak mempermasalahkan.
“Nilai lelangnya sudah melebihi nilai kredit, sehingga lunas. Untuk itu, maka kami mengambil sertifikat yang diagunkan,” demikian kata salah satu ahli waris, Chairil Anwar.
Sayangnya, agunan yang dikembalikan pihak bank, tidak lengkap. Surat Ukur/Gambar Situasi Nomor: 421/1978 tanggal 10 April 1978 yang melekat di Sertifikat Hak Milik Nomor: 34/1978 Desa Birobuli, dinyatakan hilang.
Ada upaya pihak bank untuk mendapatkan kembali surat ukur tersebut, termasuk menghubungi Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat untuk mengeluarkan duplikat dari surat ukur yang dimaksud. Kabar buruk pun diperoleh, ternyata BPN juga tidak memiliki duplikat yang diminta. Belakangan diketahui, tanah yang ada dalam sertifikat tersebut sudah dikuasai pihak lain, tanpa sepengetahuan ahli waris selaku pemilik.
Surat ukur tersebut adalah nyawa sertifikat, karena didalamnya tertera batas-batas wilayah kepemilikan beserta ukuran lengkap. Sertifikat tidak akan berguna sedikitpun jika tanpa surat ukur tersebut.
Hal inilah yang terus diperjuangkan para ahli waris. Apalagi ada undang-undang yang membolehkan untuk melakukan itu. Undang-undang pun mengatur hukuman kepada perbankan yang melakukan kejahatan, ada konsekuensi materil dan immateril yang harus dipenuhi perbankan jika menghilangkan agunan nasabahnya.
Di pasal 49, poin 1 huruf c, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sudah jelas menyatakan, bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar.
DARI MEDIASI HINGGA KASASI
Hampir semua jalan ditempuh dengan melibatkan sejumlah pihak demi memperoleh hak-haknya. Upaya tersebut mulai dari mediasi dengan Wakil Gubernur dan Ombudsman, Gubernur dan aparat kepolisian.
“Kami juga dimediasi oleh wakil gubernur waktu itu, dan diminta dipertemukan dengan Bank Sulteng, kami mengikutinya. Ternyata sampai di Bank Sulteng kami dilecehkan karena tidak ada salah satu direksi yang ingin menemui kami, hanya diarahkan ke kuasa hukum mereka,” kenang Chairil Anwar.
Ombudsman sendiri bahkan sudah mengeluarkan rekomendasi agar Bank Sulteng segera melakukan ganti rugi kepada ahli waris. Tapi tetap buntu. Bank Sulteng tetap enggan membayar.
Upaya pun meningkat ke jalur perdata di Pengadilan Negeri (PN) Palu. Di pengadilan tingkat pertama ini, pihak ahli waris dinyatakan menang. Dalam putusannya, PN Palu menghukum Bank Sulteng untuk membayar ahli waris, sekira Rp12 miliar, terdiri dari kerugian materil Rp2,672 miliar lebih dan immateril sebesar Rp10 miliar.
Setelah bergulir sekian lama, Bank Sulteng akhirnya melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun dinyatakan kalah dan tetap diharuskan membayar kepada ahli waris.
Sedianya, perkara ini sudah dinyatakan inkra atau sudah berkekuatan hukum tetap, karena sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa Bank Sulteng memang bersalah.
Dalam putusan Nomor: 3366 K/PDT/2015 tanggal 26 Mei 2016, MA menghukum PT Bank Sulteng untuk membayar ganti rugi kepada Chairil Anwar senilai Rp7,672 miliar lebih, terdiri dari kerugian materil Rp2,672 miliar lebih dan kerugian imateril sebesar Rp5 miliar, karena telah terbukti menghilangkan agunan kredit berupa Surat Ukur/Gambar Situasi tersebut.
TIDAK BERGEMING
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Palu selaku eksekutor sudah mengambil langkah cepat menyahuti putusan MA, dengan memberikan peringatan (aanmaning) kepada Bank Sulteng untuk menyelesaikan kewajibannya, delapan hari setelah aanmaning dikeluarkan (Selasa tanggal 21 Februari).
Pihak Bank Sulteng sebagai termohon dihadiri Kepala Bagian (Kabag) Hukum Bank Sulteng, Moh Rum dan Remran serta kuasa hukumnya, Deny Patta Eppe. Sementara pihak pemohon dihadiri Chairil Anwar dan kuasa hukumnya, Hasnawati.
Dalam Berita Acara Aanmaning Nomor: 87/Pen.Anm/Pdt.G/2014/PN.Pal, Ketua PN Palu, Sutaji menyatakan, pihaknya hanya memberi tenggang waktu pembayaran ganti rugi, selama delapan hari setelah pembacaan aamaning, meskipun ada permohonan penundaan eksekusi dari Bank Sulteng. Apabila tidak dipenuhi, maka akan dilakukan proses selanjutnya sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku.
“Jadi penundaan yang diminta Bank Sulteng ditolak oleh Ketua PN. Kalau menurut aturan, proses selanjutnya itu adalah permohonan eksekusi dari kami untuk peletakkan sita jaminan,” kata Chairil Anwar.
Perlawanan masih terus dilakukan Bank Sulteng. Mereka belum tergerak sedikitpun melaksanakan putusan MA sebagaimana yang tertuang dalam aanmaning pertama yang dikeluarkan Ketua PN Palu.
Untuk itu, Selasa (21/03) lalu, Ketua PN kembali memanggil yang bersangkutan untuk pemberian aanmaning kedua.
Sesuai Berita Acara Aanmaning Nomor: 87/Pen.Anm/Pdt.G/2014/PN Pal tanggal 21 Maret 2017, bahwa sejak aanmaning pertama tanggal 21 Februari 2017 sampai 21 Maret 2017, pihak termohon eksekusi (Bank Sulteng) belum melaksanakan putusan MA. Maka dengan itu, delapan hari sejak tanggal dikeluarkannya aanmaning kedua, agar segera melaksanakan isi putusan MA secara sukarela.
“Menurut keterangan Ketua PN, kali ini adalah aanmaning terakhir, tidak ada lagi berikutnya. Jika dalam waktu delapan hari tidak diindahkan juga, maka segera dilakukan proses eksekusi,” ujar Chairil Anwar usai mengikuti pembacaan aanmaning.
Entah merasa “kebal” karena menganggap sebagai bank milik pemerintah, atau hal lainnya, pihak bank belum menunjukkan upaya untuk menjalankan putusan MA. Satu-satunya alasan, mereka sedang menempuh upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK).
Direktur Utama Bank Sulteng, Rahmat Abdul Haris mengatakan, pihaknya sudah mengajukan permohonan PK ke MA.
“Kami tidak akan melakukan pembayaran karena kami sedang menempuh upaya hukum luar biasa,” katanya.
Bank Sulteng, kata Rahmat, akan mencari keadilan dalam perkara ini dan yakin bahwa upaya hukum luar biasa yang sedang ditempuh di MA saat ini akan dimenangkan Bank Sulteng.
“Kami optimistis menang. Masak sih surat ukur saja kalah sama sertifikat dan nilainya bermiliar-miliar,” ujar Rahmat.
Senada juga dikatakan Kabag Hukum PT. Bank Sulteng, Moh Rum. Dia mengakui pihaknya kembali diberi tenggang waktu delapan hari untuk melaksanakan putusan MA. Namun menurutnya, proses aanmaning tidak harus hanya tiga kali.
“Berkali-kali juga bisa dan kami tetap menunggu hasil putusan Peninjauan Kembali (PK). Perlu digarisbawahi, bahwa kedudukan semua orang sama. Okelah putusan kasasi sudah ada, tapi kan masih disediakan upaya hukum selanjutnya. Andaikan itu tidak ada, silahkan, justru salah kalau kami menunda-nunda. Jadi mohon kiranya kita saling menghargai atas upaya yang sedang kami lakukan ini,” kata Rum.
Dia menegaskan, semua orang sama di mata hukum. Demikian halnya dengan Bank Sulteng, pihaknya juga berhak, selama masih ada upaya hukum maka akan ditempuh.
“Kami sedang melakukan upaya PK dan itu perlu dihargai. Kami optimis menang PK karena selain adanya beberapa kekhilafan hakim MA, kami juga membawa novum (bukti yang belum diajukan ke pengadilan),” tambahnya.
Dia menyatakan, nilai yang harus dibayarkan sesuai putusan MA tidak akan berpengaruh besar bagi Bank Sulteng.
“Apalagi masyarakat sudah tahu sepak terjang Bank Sulteng, bisa dibaca neraca publikasi laba kami berapa. Jadi nasabah tidak usah khawatir, karena bukan uang nasabah yang kami pakai membayar,” tutupnya
Terpisah,Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulteng, Miyono menyatakan, nilai Rp7,6 miliar yang harus dibayar oleh Bank Sulteng, sebagaimana yang tertuang dalam putusan MA, tidak terlalu mempengaruhi operasional Bank Sulteng.
“Tapi bukan mengecilkan (nilai yang harus dibayar sesuai putusan MA), tapi kalau sampai membuat gonjang ganjing, ya nggaklah, tidak berpengaruh,” kata Miyono.
Bahkan kata dia, gugat menggugat dalam dunia perbankan adalah hal yang biasa terjadi.
Pihaknya sendiri menunggu upaya hukum yang sedang ditempuh Bank Sulteng saat ini.
“Kami dari BI yang dalam hal ini kami menjaga stabilitas keuangannya, makro prudensialnya, juga menunggu upaya-upaya yang dilakukan Bank Sulteng. Kawan saya juga itu pak Rahmat (Dirut Bank Sulteng),” katanya.
Terkait menjaga kepercayaan publik, pihak Bank Sulteng bisa menjelaskan kondisi saat ini kepada masyarakat agar tidak menjadi ekspektasi yang negatif, terutama kepada bank itu.
“Kalau dijelaskan dengan baik, transparan, orang bisa percaya,” imbuhnya.
PK BUKAN PENGHAMBAT EKSEKUSI
Salah satu senjata pamungkas Bank Sulteng untuk berkelit dari tuntutan hukum adalah upaya hukum luar biasa atau PK. Padahal secara hukum, PK yang dilakukan tidak menjadi penghambat proses eksekusi yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Palu.
“Pengadilan bisa melakukan upaya paksa untuk mengeksekusi aset-aset Bank Sulteng, tanpa harus menunggu putusan PK,” kata Praktisi Hukum Kota Palu, Isman, Kamis (23/02).
Advokat itu mengatakan, biasanya dalam petitum putusan disampaikan bahwa upaya PK yang dilakukan termohon, tidak menghalangi upaya ekseskusi.
“Makanya ada namanya pembacaan aanmaning oleh PN, yang menghadirkan pemohon eksekusi dan termohon eksekusi,” ujarnya.
Dia menegaskan, jika lewat dari delapan hari, maka PN bisa mengeluaran surat perintah eksekusi terhadap aset Bank Sulteng.
Lebih lanjut Isman mengatakan, walaupun bunyi putusan adalah pembayaran uang, tetapi uang Bank Sulteng tidak ada atau tidak cukup, maka pemenang gugatan bisa meminta sita asset seharga dengan nilai uang yang tertera dalam putusan MA.
“Pemohon juga dapat mengajukan sita gedung,” imbuhnya.
Terpisah, Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Wahyudin menyatakan, pegawai Bank Sulteng sebaiknya diberikan pelatihan kapasitas dan peningkatan disiplin.
“Karena ini terkait dengan tanggung jawab bank kepada nasabah,” katanya.
Dengan peningkatan kapasitas itu, kasus yang sama diharapkan tidak terulang kembali, sehingga kepercayaan publik tetap terjaga untuk menitipkan dananya di bank atau melakukan peminjaman kredit.
“Kalau itu masih terulang, artinya bank sedang dalam keadaan sakit. Standar Operasional Prosedurnya, bisa ditinjau kembali,” ujar Magister Akuntansi, alumni Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar itu.
Mestinya, putusan MA sekaligus peringatan dari Ketua PN selayaknya dimaknai dengan bijak. Ada pesan tuntutan tanggung jawab dalam poin-poin keputusan hukum tersebut.
Keliru jika dimaknai sebagai sebuah pemaksaan atau ingin mempreteli aset kekayaan bank. Lebih keliru lagi jika membandingkan selembar kertas surat ukur dengan miliaran rupiah yang harus dikeluarkan. Karena inti persoalan bukan pada nilai secarik kertas yang mudah rusak atau hilang itu, melainkan lebih pada tanggung jawab, profesionalisme dan kepercayaan publik terhadap kinerja, jika ingin dikatakan sebagai bank yang “sehat”.
Negara ini berdiri di alas hukum. Hampir semua aktivitas penduduknya, disentuh oleh hukum, termasuk secarik kertas surat ukur yang dijaminkan debitur kepada perbankan. Artinya, apapun yang terjadi pada secarik kertas tersebut, pasti memiliki konsekuensi hukum yang tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, negara juga sudah menyiapkan hukuman yang setimpal bagi pelanggarnya.
Bank Sulteng adalah aset kebanggan daerah ini. Kebijakan-kebijakan strategis yang diterapkan pengelolanya untuk mempertahankan dan menambah pundi-pundi laba, patut diapresiasi.
Semua pasti sepakat tidak ingin bank ini merugi hanya karena kelalaian segelintir orang yang tidak taat aturan. Kita juga cukup mafhum jika manajemen bank harus “pelit” untuk mengeluarkan satu rupiah pun pada hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kita ingin bank ini sehat luar dalam, berkembang dan maju bersaing dengan bank-bank besar lainnya di negeri ini, termasuk bank swasta berlabel Indonesia yang saham terbesarnya dipegang konglomerat asing.
Tapi apalah artinya berkembang, sementara ada orang yang kecewa akibat kebijakan inprosedural yang dilakukan manajemennya. Apalah artinya sehat jika masih ada hak orang lain yang belum diserahkan.
Patut kiranya para pemegang saham, komisaris dan jajaran direksi memikirkan hal ini. Melaksanakan putusan hukum adalah kewajiban. Terlebih di akhirat, ada Yang Maha Adil yang bakal menuntut pertanggung jawaban itu.
Bank Sulteng boleh “goyang” dengan “insiden” ini, tapi akan lebih terhormat lagi jika menjadikan kelalaian ini sebagai pelajaran menuju Bank Sulteng yang maju dan menunjang pembangunan dan kesejahteraan rakyat Sulteng.
DALAM PUSARAN MASALAH
Masalah yang melilit bank ini terbilang tidak sedikit. Ada yang berkaitan dengan nasabah, ada pula yang bersinggungan langsung dengan internal. Bank ini pernah dilaporkan ke pihak kepolisian terkait kasus rumah bodong. Namun oleh pihak bank, masalah ini sudah tuntas.
Namun ada masalah lain lagi. Kali ini bersinggungan langsung dengan kepemilikan saham. Kasus ini berangkat dari hasil kesepakatan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Sulteng yang menyepakati penyertaan modal dari PT Mega Corpora, milik Chairul Tanjung, sebesar 24,9 persen. Tinggal 0,1 persen lagi, maka perusahaan milik Chairul Tanjung tersebut bisa menjadi pemilik saham pengendali di bank milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng tersebut.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 15/11/PBI/2013 tentang prinsip kehati-hatian dalam penyertaan modal. Dalam PBI ini dijelaskan bahwa perusahaan yang memiliki saham diatas 25 persen, secara otomatis akan menjadi pemilik saham pengendali.
Besarnya saham dari ke Bank Sulteng tersebut membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) turun tangan mengirimkan lima penyidiknya untuk memeriksa sejumlah petinggi Bank Sulteng.
Hal ini diakui Komisaris Bank Sulteng, H. Abdul Karim Hanggi. Dia mengakui telah diperiksa tim jaksa penyelidik dari Kejagung tentang penyertaan modal tersebut.
Menurutnya, saat itu ikut diperiksa Direktur Operasional Sitti Maryam Dalle dan satu orang mantan direksi.
“Cuma satu kasus, terkait pelaporan orang. Saya kurang tahu siapa pelapornya. Intinya kami hanya berhadapan dengan tim dari jaksa agung,” katanya saat dihubungi MAL, Ahad (05/02).
Namun kata dia, dirinya diperiksa bukan sebagai terlapor, tetapi hanya sebatas saksi saja. Status saksi juga kata dia, belum jelas, karena belum ada penetapan tersangka.
Dia menjelaskan bahwa masuknya Mega Corpora di Bank Sulteng merupakan hasil kesepakatan dalam RUPS yang merupakan keputusan tertinggi dalam perusahaan. Menurutnya, hasil RUPS itu telah disetujui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Masuknya Mega Corpora itu sudah resmi, dengan jumlah saham sebesar 24,9 persen. Apa lagi yang menjadi masalah,” tegasnya.
Yang jelas kata dia, kalau saham melebihi dari jumlah 25 persen, maka Mega Corpora bisa menjadi pemegang saham pengendali.
Sebelumnya kata dia, Mega Corpora merencanakan investasi sebesar 30 persen, tapi akhirnya diputuskan hanya 24,9 persen, sehingga status Mega Corpora hanya sebatas pemilik saham biasa dan jauh dibawah saham yang dimiliki Pemprov Sulteng.
“Saat ini pemegang saham pengendali adalah gubernur, karena jumlah sahamnya sebesar 35 persen,” tutup Karim Hanggi.
Terkait hal itu, Sekertaris Komisi II DPRD Sulteng, Nasution Camang mengatakan, DPRD telah memperingatkan Bank Sulteng agar berhati-hati menerima penyertaan modal dari pihak swasta.
“Sebagai fungsi pengawasan, kita telah menyampaikan bahwa penyertaan modal PT Mega Corpora tidak lebih besar atau pun sama jumlahnya dengan modal yang yang dimiliki oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Sebelumnya, berdasarkan Neraca Publikasi September 2016, Pemprov Sulteng hanya menguasai saham sebesar 33,56 persen, sementara PT Mega Corpora sebesar 23,54 persen.
Saat itu, perusahaan tersebut berkomitmen menambah modal inti sebesar Rp105,220 miliar sehingga kepemilikan saham menjadi 24,90 persen.
Namun di pihak lain, Pemprov Sulteng juga berkomitmen menambah penyertaan modal sebesar Rp166,245 miliar ke Bank Sulteng.
Penyertaan modal ini mempengaruhi komposisi kepemilikan saham di PT Bank Sulteng sehingga sahamnya menjadi 38 persen. (RIFAY)