Sebagai produsen Crude Oil Palm (CPO) atau minyak kelapa sawit terbesar di dunia -menurut data dari United States Departement of Agriculture (USDA)- Indonesia mampu memproduksi CPO mencapai 45,5 juta metrik ton, pada periode 2022/2023.
Jumlah ini mampu mendorong volume ekspor minyak sawit Indonesia hingga sekitar 27,5 juta ton pada tahun 2023. Tak disangsikan lagi, sawit menjadi penyumbang devisa terbesar untuk negara ini.
Namun, besaran nilai sawit ini justru tak diimbangi dengan besarnya biaya produksinya.
Berdasarkan hasil analisis budidaya perkebunan kelapa sawit, sekitar 80% biaya operasional perkebunan kelapa sawit adalah biaya pemupukan. Bagi petani swadaya, hal ini cukup mencekik modal.
Sebagai produsen, Indonesia dinilai masih bergantung pada pupuk kimia hasil impor dari negara, seperti Rusia, Kanada, Australia dan lainnya.
Bila negara-negara ini dilanda konflik, seperti perang antara Rusia dan Ukraina, maka proses inpor pun menjadi kendala yang berarti. Belum lagi jika nilai tukar rupiah terhadap dolar menurun, harga pupuk kimia impor menjadi mahal.
Harga kebutuhan pupuk naik adalah biang keroknya. Produk turunan kelapa sawit seperti minyak goreng, juga ikut naik.
Rangkaian masalah perkebunan sawit inilah yang dipaparkan Erliza Hambali, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), saat workshop sosialisasi hasil kerjasama dengan Universitas Tadulako (Untad), di Palu, Senin (15/07).
Peneliti yang gencar mengaungkan “1 juta kebaikan sawit” itu tengah memperkenalkan temuannya di jurnal penelitian tentang karbonisasi tandan kosong (tankos) sawit yang yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.
Ia bersama Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama Untad, Dr. Aiyen Tjoa akan mendorong penelitian sawit di Untad, di mana ada sekitar tiga riset yang sudah dilakukan dan mendapatkan hibah penelitian.
Bahkan, pihaknya berencana mendirikan sekolah sawit di Sulteng untuk mendorong pengetahuan masyarakat tentang kebaikan sawit.
Tandan kosong alternatif dari ketergantungan pupuk kimia
Tandan kosong yang sebelumnya dianggap limbah kelapa sawit dapat diolah kembali sebagai pupuk untuk sawit itu sendiri.
Potensi ini dinilai dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi dari pemupukan, karena dapat mengurangi biaya pemupukan dan ketergantungan Indonesia pada pupuk impor.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Halik Barutu, yang turut hadir dalam sosialisasi itu memaparkan analisisnya tentang potensi Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS).
Kata dia, luas perkebunan kelapa sawit di Sulawesi sebesar 90.0002 Ha, dengan kebutuhan pupuk anorganik 73,5 kg/tahun.
Menurut Halik, potensi tankos di Sulawesi sebanyak 990.000 ton/tahun, maka dapat diaplikasikan dengan luasan 33.000 ha.
“Dengan potensi ini, artinya dapat mengurangi sebesar 30% kebutuhan pupuk,” jelas Halik di sela-sela diskusi.
Efisienkah pupuk dari hasil karbonisasi tandan kosong?
Sebagaimana pupuk yang diolah organik, penggunaan TKKS membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat diserap oleh tanaman sawit. Membutuhkan biaya yang mahal dari sisi logistik dan distribusi untuk sampai ke kebun-kebun sawit.
Proses pengomposan Tandan Kosong Kelapa Sawit membutuhkan waktu yang lama yaitu sekitar 2 sampai 4 bulan, tergantung teknologi yang digunakan.
Tentang tantangan itu, Dr. Erliza Hambali punya siasat lain. Menurutnya, untuk meningkatkan efisiensi pemupukan di perkebunan sawit, bisa menggunakan biochar.
Kata dia, biochar hasil proses karbonisasi tandan kosong kelapa sawit dapat digunakan sebagai soil conditioner untuk meningkatkan kesuburan tanah dan efisiensi pemupukan pada perkebunan kelapa sawit.
Namun, ini pun dikomentari oleh petani sawit yang turut dalam workshop itu. Ia berkomentar tentang keraguan terhadap efesiensi pupuk TKKS.
“Saya yakin pupuk karbonisasi tidak akan menghasilkan pupuk premium, dilihat dari bahan dasarnya tankos tidak sekeras karbon yang lain atau tingkat porositanya yang rendah,” jelasnya.
Apa yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah. Porositas rendah membuat tanah memiliki ruang pori yang kecil, sehingga tanaman yang tumbuh di atasnya akan kekurangan oksigen.
Selain itu, kata dia, proses pupuk dari TKKS yang notabene melewati proses karbonisasi berkelanjutan, proses pembakaran ini, tentunya akan menghasilkan emisi karbon yang tidak sedikit jika terus menerus dilakukan.
Terlebih lagi ada peraturan pemerintah terkait larangan pembakaran lahan untuk mengantisipasi pencemaran udara.
Untuk mensiasati ini, diperlukan lagi perlakuan khusus penyaringan karbon untuk mengurangi emisi. Proses inipun akan membutuhkan biaya lagi.
Reporter : Mun
Editor : Rifay