Kualitas keimanan seseorang bisa diukur dari kemampuannya mengendalikan emosi yang bersumber dari amarah. Sejumlah masalah utama yang menghancurkan kehidupan keluarga dan masyarakat melibatkan gejolak amarah.
Amarah adalah emosi yang paling sulit diajak beradaptasi karena amarah mendorong kita untuk bertikai.
Rasulullah SAW melukiskan betapa buruknya amarah (yang tak terkendali) itu dalam sabdanya, “Marah itu pada awalnya seperti gila dan akhirnya penyesalan.”
Meski begitu emosi bukanlah sesuatu yang harus tidak ada pada diri manusia. Emosi adalah bagian dari fitrah manusia. Ia merupakan salah satu alat untuk mempertahankan kehidupan yang Allah berikan kepada manusia.
Bisa dibayangkan, manusia yang hidup tanpa emosi. Tidak akan ada semangat dalam dirinya untuk mempertahankan dan membela hak-hak dirinya atau merebut hak-haknya yang dirampas orang lain.
Jadi, amarah harus diletakkan pada tempatnya dan digunakan pada waktu yang tepat. Misalnya, ketika terjadi pelanggaran terhadap hukum Allah.
Allah SWT menetapkan amarah untuk menjadi satu alat uji ketakwaan dan keimanan manusia selama hidupnya. Manusia yang tak sanggup menahan amarahnya adalah manusia yang belum mampu menegakkan bingkai ketakwaannya.
Manusia yang terbakar amarah akan melakukan tindakan-tindakan di luar kewajaran dan nalar yang sehat. Saat amarah merasuk ke dalam pikirannya, tidak ada lagi ruang untuk membedakan mana hal yang baik atau jelek. Padahal, Allah SWT menjanjikan pahala yang tak ternilai di hari akhir nanti bagi manusia yang mampu menahan amarahnya.
“Siapa yang menahan marah, padahal ia dapat memuaskan pelampiasannya, maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan semua makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Tutur kata yang lembut, sikap yang tenang, dan tindakan yang bijaksana, saat amarah datang memang sulit diwujudkan. Namun, bukan berarti tidak bisa dilatih dan dipelajari cara-cara untuk meredam amarah.
Salah satunya kita bisa belajar dari perilaku Muhammad SAW, teladan umat manusia. Selama hidupnya, beliau tidak pernah bertindak kasar. Tutur katanya lembut karena berusaha menjaga perasaan orang lain.
Rasulullah SAW juga manusia sama seperti kita. Karena punya hati dan pikiran, sesekali beliau juga marah. Namun, kemarahannya tidak melampaui batas-batas kemuliaan sebagai seorang Rasul Allah.
Marahnya Rasulullah SAW dalam rangka menegakkan tiang-tiang agama dan memuliakan ajaran-ajaran Ilahi. Dalam menjalani hidup ini, berbagai masalah menghampiri tiap hari. Akibatnya, tak sedikit yang akhirnya akrab dengan kemarahan. Padahal, berbagai masalah yang ada merupakan ujian bagi yang beriman.
Menahan amarah akan mendatangkan kebaikan Oleha karena itu sikap memaafkan pun harus dibangun. Memang sulit, tetapi bukankah kita mendambakan ampunan-Nya? Semoga kita termasuk dalam kategori hamba yang mendapatkan ampunan dari Allah SWT dan surga-Nya.
Semoga puasa pada bulan Ramadhan kali ini menjadi ajang penempaan diri untuk lebih pandai dalam menahan amarah dan memaafkan. Pada akhirnya, ibadah kita akan disambut dengan ampunan dan ridha-Nya
Rasulullah SAW bersabda, “Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam” (HR Ahmad).
Terkadang orang yang sedang marah mengatakan sesuatu yang dapat merusak agamanya, menyalakan api perselisihan dan menambah kedengkian. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)