OLEH: Sahran Raden*
Tulisan ini bukan karena adanya salah satu program KPU dalam pemilu tahun 2019 yaitu forum kerjasama antar LSM dan Ormas dalam sosialisasi pendidikan pemilih, akan tetapi sebagai kerisauan sebagian orang terhadap peran serta atau voluntarisme masyarakat sipil yang memudar, rendahnya literasi dan voter education dalam pemilu di Indonesia.
Setidaknya sejak reformasi pada pemilu 1999, peran Civil Soceity sangat kuat dan penting artinya dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Masyarakat sipil tumbuh dan berkembang melalui voluntarisme atas partisipasi mereka dalam mengawal dan memantau pemilu Indonesia. Bahkan dulu sangat masif, ada JPPR, JAMMPI, Forum Rektor, KIPP, Cetro, Umprel dan sekarang ada Perludem, Netgrit, Sindikasi Pemilu dan lainnya.
Itu di Jakarta, bagaimana dengan di daerah? Apakah masih tumbuh keswadayaan masyarakat dalam menjaga Pemilu yang demokratis?
SIAPA CIVIL SOCEITY ITU?
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Civil Society itu mari kita mendefinisikan dan memberikan penggolongan terhadap terminologi Civil Soceity. Dalam konteks keilmuan Civil Soceity sering disebut masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, beradab, atau masyarakat berbudaya. Asal kata civil adalah civilization (beradab). Civil society secara sederhana dapat diartikan sebagai masyarakat beradab.
Dalam pandangan Hegel, civil society adalah entitas yang memiliki ketergantungan pada negara. Sebagai misal negara harus mengawasi civil society dengan cara menyediakan perangkat hukum dan administrasi.
Disamping itu, civil society menurut para tokoh juga berbeda-beda, seperti Hegel yang berpendapat bahwa entitas civil society mempunyai kecenderungan entropi atau melemahkan diri sendiri, oleh karena itu harus diawasi oleh negara.
Pandangan Hegel yang agak pesimistik ini bertentangan dengan pandangan Karl Marx tentang civil society. Bahkan Karl Marx memposisikan civil society pada basic material dalam tautan produksi kapitalis. Oleh Marx, civil society dimaknai sebagai kelas borjuis yang menjadi tantangan baginya untuk membebaskan masyarakat dari berbagai penindasan, oleh karena itu civil society menurut dia harus dilenyapkan demi terwujudnya masyarakat tanpa kelas.
Tokoh lain adalah Gramsci. Dalam banyak hal pendapat Gramsci mirip pendapat Marx. Perbedaannya terletak pada memposisikan civil society bukan pada basic material tetapi pada tataran suprastruktur, sebagai wadah kompetisi untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society pada konteks yang demikian oleh Gramsci ditempatkan sebagai kekuatan untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan.
Pandangan Gramsci ini lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik. Dalam perjalanan waktu, akhirnya konsep Gramsci ini dikembangkan oleh Habermas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang publik yang bebas, di mana rakyat sebagai akses atas setiap kegiatan publik.
Dalam realitas empirisnya masyarakat sipil mengorganisasi dirinya secara independen dari negara sekaligus mempunyai landasan pengetahuan yang menjadikan mereka berbeda dari masyarakat biasa yang tidak kritis dan pasif dalam struktur sosial yang bisa jadi menindas mereka.
Secara mendasar masyarakat sipil menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan politik serta kontrol terhadap kekuasaan.
Secara sosiologis, landasan popular tentang civil society dapat merujuk pada pendapat Cohen dan Arato yang menggunakan tiga bagian (three part model) dalam analisisnya tentang ranah sosial bagi peradaban, yaitu negara (masyarakat politik/political society), korporasi (masyarakat ekonomi/ economical society), dan komunitas (masyarakat sipil/civil society).
Masyarakat sipil atau lebih dikenal dengan civil society merupakan mitra negara dalam proses pembangunan. Perannya lebih pada mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta dapat menumbuhkan modal sosial (social capital) dalam struktur masyarakat agar menjadi kekuatan pembangunan.
Masyarakat sipil berwujud dalam berbagai bentuk organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Organisasi Sosial, Organisasi Massa, Organisasi Profesi, Organisasi Keagamaan, Serikat Buruh, dan lain sebagainya, di mana lembaga-lembaga tersebut tumbuh berdasarkan atas dasar kebersamaan dan berlandaskan pada kesamaan tujuan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa civil society merupakan suatu space atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain. Afan Gaffar, sebagaimana mengutip pendapat Michael Walker (1995), mengemukakan bahwa dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut.
Apakah asosiasi tersebut berdasarkan ikatan keluarga, keyakinan, kepentingan, dan idiologi? Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk bermacama-macam, ikatan pengajian, persekutuan gereja, koperasi, kalangan bisnis, rukun tetangga dan rukun warga, ikatan profesi, LSM, dan lain sebagainya, hubungan dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama lainnya.
Menurut hemat penulis, civil society di era kontemporer dalam konteks negara adalah mereka yang melakukan asosiasi berkumpul untuk membuat peran dalam negara demokrasi sebagai pilar kekuatan dalam membangun tatanan masyarakat yang demokratis. Misalnya Perguruan Tinggi, LSM atau organisasi Non Pemerintah, ORMAS, Pers, Media sosial, Paguyuban dan lainnya yang memiliki karakter indpenden dan mandiri.
Selanjutnya mereka memiliki kesadaran kritis tentang peranan yang dimainkannya dalam ruang dan waktu sesuai konteksnya.
PEMILU DAN PERAN MASYARAKAT SIPIL
Sejalan dengan deskripsi tentang siapa Civil Soceity diatas, maka masyarakat sipil memiliki peranan penting dalam proses demokrasi suatu negara melalui Keikutsertaan dalam proses dan tahapan pemilu.
Masyarakat sipil dinilai memiliki fungsi utama dalam mengawal pemilu sebagai upaya menjadikan pemilu Indonesia bermartabat, berkualitas dan berintegritas. Masyarakat sipil harus ikut menyampaikan aspirasi kepada elemen-elemen yang bisa membuat keputusan langsung.
Elemen yang dimaksud salah satunya melalui Pemerintah, DPR, dan KPU atau Bawaslu.
Jika kita melihat siklus pemilu mulai dari Pra Pemilu, Pelaksanaan Pemilu dan Post Pemilu. Disana banyak tahapan penting untuk dikawal secara partisipatif. Tahap pencalonan, Tahap Kampanye, Tahap Penyusunan Daftar Pemilih, Tahap Pemungutan dan Penghitungan Suara dan Tahap Sengketa Pemilu.
Mulai dari perancangan regulasi berupa UU, PKPU dan kebijakan lainnya, maka peran strategis civil soceity begitu sangat berarti dalam pemilu yang demokratis dan berkualitas.
Setidaknya mengawasi dan mengontrol saat ini terkait dengan pencalonan sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dimana dalam pasal 4, menyatakan bahwa dalam pengajuan bakal Calon Parpol dilarang mengikutsertakan Mantan Narapidana Bandar Narkoba, Kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi, yang dibuktikan dengan Dokumen Form Model B.3 sebagai Fakta Integritas Parpol. Jika ditemukan tiga Napi diatas, maka KPU dapat mencoret bakal calon yang diajukan Parpol.
KPU tentu mendapatkan tantangan tersendiri dalam melakukan tracking terhadap NAPI bandar Narkoba, Kejahatan Seksual dan Korupsi dalam daftar calon yang diajukan oleh Partai Politik.
Maka PKPU 20/2018 ini memberi ruang kepada masyarakat untuk.menyampaikan laporan temuan terhadap adanya Bakal Calon yang diajukan Parpol terindikasi Napi Bandar Narkoba, Kejahatan Seksual terhadap anak dan Korupsi.
Ruang ini diberikan oleh KPU pada tanggal 5-18 Juli 2018 pada saat tahapan Penelitian adminitrasi dokumen Pengajuan Bakal Calon dari Partai Politik.
Fungsi kontrol sosial, dimana masyarakat sipil bersama-sama media menjadi pengawas dan pengontrol jalannya proses pemilu agar tidak menyimpang dari jalurnya. Fungsi sebagai social control, melalui media massa, peran NGO, ormas keagamaan, bagian dari civil society, terorganisir, horisontal mengawasi dan memantau bahkan memberi kontribusi terhadap teknis kepemiluan.
Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa masyarakat sipil yang baik harus sadar akan hak dan kewajibannya secara konstitusional. Masyarakat sipil di Indonesia dalam konteks pemilu cenderung harus menjadikan dirinya sebagai pengontrol jalannya pemilu yang demokratis tidak curang dan manipulatif.
Dalam sebuah negara demokratis, civil society merupakan penyangga utama tegaknya pemilu dan demokrasi. Kehadirannya (civil society) ibarat oksigen, yang tanpanya demokrasi tak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Demokrasi dan civil society bak dua sisi dari mata uang, di mana keduanya saling melengkapi. Pentingnya peran civil society dalam konteks demokrasi dan pemilu membuat keduanya tak bisa dipisahkan.
Hal ini dikarenakan demokrasi tanpa kehadiran civil society yang kuat hanya akan mengarah pada otoritarianisme negara. Wallahu a’alam bisawwaf.
*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2018-2023