OLEH: Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH. MH*
Sala satu isi dalam buku saya yang berjudul “Tipologi Politik Hukum Pilkada Serentak Antara Teori dan Praktek, Upaya Mewujudkan Hukum yang Progresif dan Responsif dalam Negara Hukum Demokrasi” yaitu menguraikan aspek politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Undang-Undang Pilkada ini yang paling banyak diuji materi oleh para pemohon di Mahkamah Konstitusi (MK) dibandingkan dengan UU lainnya.
Dalam potret politik hukum pilkada serentak di Indonesia, mengalami dinamika politik hukum yang telah dilaksanakan dalam satu dekade politik kenegaraan di Indonesia.
Mulai dari pembentukan undang undang Pilkada sampai dengan uji materi UU tersebut, mengalami pasang surut dan dinamika politik sering dengan perkembangan politik kenegaraan terhadap struktur politik maupun inprasturktur politik yang berkaitan dengan dinamika partai politik di Indonesia.
Pasca pemungutan dan penetaan hasil rekapitulasi Pilkada 2024, suara nyaring datang dari dari Presiden Prabowo yang menyeruhkan kepada partai politik untuk duduk bersama merevisi Undang-Undang Pilkada.
Presiden Prabowo Subianto mengakui system Pilkada di Indonesia terlalu mahal. Ada puluhan triliun uang yang keluar hanya dalam waktu 1-2 hari saat Pilkada.
Presiden Prabowo selanjutnya membandingkan sistem pilkada di Indonesia yang berbiaya mahal dengan negara tetangga di Asean lainnya seperti Malaysia, Singapura, dan India lebih efisien dibanding Indonesia.
Setidaknya pernyataan Presiden Prabowo yang disampaikan dalam acara Partai Golkar dan setelah selesainya pemungutan dan penghitungan suara pilkada 2024 dapat dijadikan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan Pilkada di Indonesia.
Pembiayaan Pilkada dan Terbelahnya Masyarakat
Setidaknya dua catatan dalam evaluasi pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia yang telah berjalan dalam 5 kali, pasca di tetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Yakni aspek pembiayaan pilkada serentak dan aspek harmoni sosial dimasyarakat.
Pertama, dari aspek pendanaan. Biaya penyelenggaraan Pilkada 2017 yang dilaksanakan di 101 daerah mencapai Rp4,2 Triliun. Anggaran Pilkada 2018 awalnya sebesar Rp 11,4 triliun yang membiayai pelaksanaan pilkada di 171 daerah.
Mulanya anggaran yang disepakati KPU dengan 270 pemerintah daerah untuk pelaksanaan Pilkada 2020 sebesar Rp9,9 triliun. Sedangkan total dana yang ditetapkan untuk Pilkada serentak tahun 2024 sebesar sebesar Rp37,52 triliun.
Sumber pembiayaan pendanaan Pilkada serentak di biayai oleh Pemerintah Daerah sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Pendanaan dan biaya pilkada tinggi sebagai wacana merevisi ulang Undang Undang Pilkada dengan mengembalikan kepala daerah di pilih oleh DPRD menjadi penyebab utamanya.
Kedua, aspek harmonisasi masyarakat. Pilkada serentak yang berdampak terhadap terbelahnya masyarakat di Indonesia juga menjadi catatan bagi pemerintah dalam upaya merevisi Undang-Undang Pilkada dengan mengembalikan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Setiap pelaksanaan pilkada, kekhawatiran yang selalu timbul di masyarakat adalah adanya polarisasi politik terhadap masyarakat yang majemuk di Indonesia.
Polarisasi membuat masyarakat terbelah kepada berbagai pihak politik yang ada. Polarisasi ini dapat terjadi karena perbedaan pandangan dan keyakinan terhadap isu politik tertentu.
Misalnya pada Pilkada DKI Jakarta Tahun 2015, adanya pelabelan “Kampret” dan “Cebong” dan beberapa momentum penyelenggaraan pilkada di provinsi lain yang menyebabkan terpecahnya masyarakat.
Pada titik ini kemudian, Pilkada berdampak pada terancamnya harmoni sosial ditengah kebinekaan Masyarakat dengan berbagai suku, agam, ras dan etnis di Indonesia.
Mempertahankan Pilkada Serentak, Dukung Elitis atau Hukum yang Responsive
Pemilihan kepala daerah diperkenalkan awal melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Mekanisme ini dipilih sebagai koreksi terhadap pembentuk Undang-undang terkait diterapkannya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, di mana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Mekanisme pemilihan kepada daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, selanjutnya memberikan pergeseran paradigma politik electoral dalam pilkada sebagai sarana kedaulatan rakyat.
Sebagaimana dalam ketentuan tentang kedaulatan rakyat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengandung dua makna utama, yaitu: Pengakuan legitimasi bagi kedaulatan rakyat, penjabaran konsep konstitusionalisme.
Kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan.
Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, di mana rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya.
Para pembentuk undang-undang meyakini bahwa praktek pilkada langsung dalam undang undang 32 Tahun 2004 itu lebih mendekati makna demokratis sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis.
Pilihan pilkada langsung dipilih oleh rakyat diyakini lebih mengakomodasi sistem seleksi terpadu yang saling melengkapi untuk melahirkan calon kepala daerah terpilih yang berkualitas. Prosesnya mulai dari seleksi sistem pencalonan, partai politik, administratif, hukum administratif sampai seleksi politis.
Dalam konteks politik hukum perubahan dari Undang 32 Tahun 2004 kepada Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota terlihat bahwa pembentuk Undang-Undang berkeinginan bahwa aksi kekerasan masa yang berakibat pada konflik horizontal yang mengakibatkan pilkada secara langsung sebagaimana dalam UU 32 Tahun 2004 telah menciderai proses politik yang demokratis.
Sehingga Presiden SBY mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sebagai bentuk adanya kekosongan hukum sebab pilkada tahun 2014 di sejumlah daerah sudah harus digelar pelaksanaannya. Perppu tentang Pilkada disahkan dimasa transisi.
Potret hukum pengaturan pemilihan kepala daerah di Indonesia, mengalami puncaknya sejak DPR mengesahkan RUU Pilkada pada tanggal 26 September 2014 menjadi UU.
Mulai dari metode pemilihan yang dilaksanakan melalui DPRD sampai dengan pencalonan dan penetapan calon terpilih serta pelantikannya.
Awalnya Pilkada diatur dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah selanjutnya berkembang menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Beragam norma isi, materi dalam undang-undang tersebut mewarnai pembahasan baik di DPR maupun di ruang publik.
Secara substantif hukum bahwa pengaturan UU Pilkada paling tidak telah memberikan penguatan terhadap kelembagaan politik, sistem pencalonan yang demokratis dan manajemen penyelenggaraan pilkada yang lebih berkualitas.
Dinamika politk pilkada langsung selanjutnya digeser untuk Kembali dipilih di DPRD adalah merupakan kemunduran demokrasi dan merampas hak kedaulatan rakyat bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Kita tidak akan ingin kembali kepada politik hukum elitis yang ditentukan oleh sekelompok partai politik dan pemerintah, namun sifat hukum yang responsif merupakan karakter hukum negara demokrasi.
Maka itu mempertahankan pilkada serentak langsung dipilih oleh rakyat adalah pilihan karakter berhukum yang lebih responsip terhadap negara demokrasi. Namun demikian, penataan Kembali terhadap regulasi dan teknis penyelenggaraannya penting untuk dievaluasi sebagai upaya memperbaiki demokrasi di daerah.
*Penulis adalah Ketua LPPM dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu