OLEH : HS Saggaf Bin Muhammad Aldjufri*
Bila dalam perjalanan hidup sebagai seorang hamba merasa jauh dengan-Nya sekaligus menemukan banyak kesukaran untuk mendekat kepada-Nya. Merasa kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan, butuh solusi tepat dan segera mungkin sebelum ajal datang menjemput.
Merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi
Oleh Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan badan atau fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.
Ya, ikhlas. Kata yang terlalu sering kita ucapkan sehari hari, bukan merupakan kata yang asing lagi terdengar di telinga kita. Begitu sederhana namun memiliki makna yang sangat dalam. Maka tidak mengherankan bagi setiap muslim jika ikhlas merupakan satu awalan yang mutlak dilakoni dalam menjalankan setiap ibadah dan amalannya. Jika sesuatu di awali dengan hal-hal yang baik maka niscaya akan berakhir dengan kondisi yang baik pula. Kiranya begitulah opini yang beredar di kalangan kita sekalian.
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Orang-orang arif yang meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas itu di dalam jiwa, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah. Membersihkan jiwa dari hawa nafsu yang tampak maupun tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. Meredam egoisme, kecintaan kepada diri sendiri, cinta dunia dan keinginan untuk mendapatkan tujuan secara langsung, adalah pekerjaan yang amat besar.
Oleh karena itu perlu usaha maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi syetan ke dalam jiwa, membersihkan jiwa dari unsur-unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, suka berpenampilan dan pamer. Sebab unsur-unsur seperti ini lebih banyak menguasai jiwa manusia.
Keikhlasan itu akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup adalah ujian. Ketegaran kita untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!.
Wallahul Muastaan
*Penulis adalah Ketua Utama Pengurus besar (PB) Alkhairaat