Oleh: KH. Zainal Abidin
SECARA hukum, puasa Ramadan merupakan salah satu dari lima ajaran fundamental Islam (rukun Islam). Posisinya setara dengan shalat, zakat dan haji. Ayat al-Qur’an yang memerintahkan ibadah puasa tertera dalam QS. 2:183. Ayat ini menggambarkan puasa bukan semata kewajiban bagi umat Islam, melainkan juga legacy dari umat terdahulu.
Dengan demikian, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan kepada hampir semua komunitas agama monoteisme atau agama yang seakar dengan Islam. Pembicaraan puasa Ramadhan sebagai bagian dari hukum relatif telah usai. Meski tidak dipungkiri, banyak isu krusial yang belum mendapatkan ulasan tuntas dan melahirkan produk hukum yang reliabel.
Misalnya, bagaimana kasus puasa di daerah yang memiliki durasi waktu cukup panjang, apakah menyesuaikan dengan ketentuan dalam QS. 2:187 atau dengan mekanisme analogi waktu (qiyas)? Dalam diskursus para pegiat gender juga mempertanyakan tentang posisi perempuan menstruasi, apakah dibolehkan berpuasa mengingat dispensasi (rukhshah) dalam QS. 2:184 hanya diperuntukkan bagi orang sakit, musafir, ibu menyusui dan lansia? Dua pertanyaan ini hanya puncak gunung es yang relatif lebih kecil ketimbang isu-isu lain di bawahnya yang sangat banyak.
Jika dalam lingkup hukum masih banyak hal yang perlu didiskusikan, maka lain halnya dengan pandangan sufistik melihat puasa Ramadhan. Kelompok ini menawarkan pencerahan tentang dimensi-dimensi sublimitas puasa. Di antara tokoh sufi yang membicarakan puasa dalam skala cukup luas adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (1058-1111 M). Dalam kitab yang dikarangnya, Ihya’ ‘Ulum al-din, Al-Ghazali mengklasterisasi puasa ke dalam tiga tingkatan, yaitu puasa biologis (shaum al-‘umum), puasa moral (shaum al-khushush), dan puasa eksistensial (shaum khushush al-khushush).
Puasa yang pertama tersebut lebih mewakili kaidah dalam hukum. Pelaku hanya dibebankan aturan agar menjauhi makanan, minuman, dan hubungan senggama pada siang hari. Jika mampu melaksanakan ini, maka sudah dinyatakan sah menurut kategori hukum. Pelaku yang dinyatakan sah ini belum tentu memeroleh keutamaan puasa jika mengindahkan prinsip-prinsip moral sebagaimana yang dibebankan pada kategori yang kedua, yaitu memelihara pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, dan semua anggota tubuh dari aktivitas yang bernilai dosa.
Orang-orang yang berpuasa didorong agar melaksakan puasa buka semata biologis, sebagaimana kategori hukum. Melainkan juga berpuasa secara moral. Namun, yang demikian, bukan perkara mudah. Saking tidak mudahnya, hadis Nabi Muhammad sampai menyindir dengan kalimat: kam min shaimin laisa lahu min shiyamihi illa al-ju’ wa al-‘athsy (berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak menuai apa pun dari puasanya selain lapar dan dahaga).
Bagi seorang pejalan ruhani (salik), kedua jenis puasa di atas masih belum benar-benar dianggap berpuasa jika tidak masuk pada penghayatan dalam jenis puasa ketiga, yaitu puasa eksistensial. Puasa Eksistensial Puasa eksistensial, sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali, merupakan puasa hati, pikiran, dan jiwa dari hal-hal yang mengganggu keintiman relasi dengan Allah, seperti pikiran tentang keluarga, materi, dan pernak-pernik kehidupan duniawi yang lain.
Seorang salik tidak memosisikan puasa Ramadan semata kewajiban dan latihan menghindari dosa, melainkan juga perjalanan spiritual (spiritual pilgrimage) untuk menggapai nilai-nilai transendental (ketuhanan). Nilai-nilai ini, sejatinya, berakar pada hakikat kalimat tauhid “laa ilaaha illa Allah” (tidak ada apapun selain Allah). Kata negasi “laa ilaaha” sesungguhnya adalah puasa (al-imsak) dari entitas apapun yang menyilaukan pikiran.
Entitas demikian yang memandu mobilitas hasrat (desire) sehingga berfokus untuk mengejarnya. Semakin tinggi intensitas pikiran kepada kepada hal-hal duniawi tersebut, semakin kuat gravitasi untuk menguasainya. Semakin kuat gravitasi duniawi seseorang semakin menjadikannya menjauh dari Allah.
Dengan demikian, orientasi utama dari menegasikan hal-hal duniawi dalam rangka menemukan dan berdekatan dengan Allah (illa Allah). Puasa eksistensial bukan berarti penolakan kepada dunia secara totalitas. Bagaimanapun, dunia merupakan lahan yang harus diolah dan diperhatikan, sebagaimana tersirat dalam misi penciptaan (khalifah fi al-ardh). Hidup di dunia merupakan faktisitas (takdir) yang harus dijalani.
Hanya saja, manusia tidak boleh kemudian terpenjara oleh hasrat keduniaan sehingga melupakan eksistensinya sebagai hamba Allah. Dengan demikian, puasa eksistensial lebih dalam rangka merevitalisasi kesadaran eksistensi manusia sebagai hamba Allah. Hasil akhir (out come) dari puasa eksistensial tidak lain adalah perilaku manusia yang sarat dengan kebajikan (virtue), keadilan (fairness), cinta (love), persaudaraan (brotherhood), dan keseimbangan (balance). Seseorang yang telah mencapai tingkat puasa eksistensial diharapkan lebih berperilaku baik kepada sesama, penuh toleransi, dan merawat keharmonisan.
Perilaku-perlaku demikian sangat dibutuhkan saat ini, ketika dunia menghadapi multikrisis, seperti krisis kemanusiaan, ekologi, ekonomi, moralitas dan yang lain. Pendek kata, puasa eksistensial setara dengan level tertinggi dalam perjalanan (al-asfar) manusia, sebagaimana ditulis oleh Mulla Sadra dalam al-Asfar al-Arba’ah fi Hikmah alMuta’aliyah.
Perjalanan yang terakhir ini adalah perjalanan dalam dunia kemakhlukan, namun penuh dengan sinar ketuhanan. Orang yang mencapai fase ini hidup wajar di tengah-tengah komunitasnya, menjadi bagian dari bangsanya, serta bergerak mengais rezeki dari alam dan lingkungannya dengan penuh kesadaran ketuhanan. Alhasil, pelaku puasa eksistensial akan membuatnya produktif sekaligus jauh dari nilai-nilai destruktif.
*Penulis adalah Ketua MUI Kota Palu