Setiap kita pernah melakukan kesalahan, kealpaan, atau kekhilafan. Baik kepada diri sendiri, kepada Allah dan terutama kepada sesama. Sengaja atau tidak, besar atau kecil, langsung atau tidak langsung yang pasti kita pernah berbuat kesalahan.
Maka itu minta maaflah, tapi memaafkan jauh lebih baik. Memaafkan merupakan salah satu indikator dari ketakwaan (QS ali-Imran, (3) : 133) sebagai tujuan dari ibadah saum (QS al- Baqarah, (2) : 183). Jadi, adanya sifat memaafkan pada diri kita setelah melaksanakan ibadah saum merupakan salah satu indikator keberhasilan saum.
Memaafkan adalah salah satu hidayah dan suatu perilaku yang luar biasa dengan melupakan kesalahan yang pernah orang lain perbuat terhadap kita.
Terkadang begitu sulit memberikan pengampunan kepada orang yang pernah menyakiti kita, mengingat betapa sakitnya luka yang pernah orang lain torehkan di hati kita.
Rasa sakit yang mungkin belum hilang hingga berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan hingga bertahun-tahun, dendam yang mungkin pernah ada, bahkan mungkin belum hilang yang menggerogoti pikiran-pikiran kita dengan keburukan, yang membuat hidup kita menjadi tidak tenang.
Namun renungilah bahwa Allah saja Maha Pengampun terhadap hamba-Nya yang bersungguh-sungguh memohon ampunan-Nya, kenapa kita sesama manusia tidak saling memaafkan?
Memaafkan butuh kematangan diri dan kecakapan spiritual. Kematangan diri hanya bisa didapatkan melalui keterbukaan hati dan pikiran akan segala pengalaman hidup yang dialami. Sementara kecakapan spiritual hanya bisa diperoleh ketika telah memiliki rasa penghambaan yang tinggi hanya kepada Allah SWT semata.
Bagi yang memaafkan kesalahan orang lain, allah SWT menyediakan pahala utama sebagai balasan atas kemuliaan sikap mereka. “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS Asy-Syuura [42]: 43).
Dan bagi yang mempunyai keluhuran akhlak, mereka bukan hanya mampu memaafkan kesalahan orang lain, melainkan sekaligus membalas kesalahan tersebut dengan kebaikan yang tak pernah terbayangkan oleh sang pelaku.
Allah SWT berjanji hal tersebut justru dapat mempererat tali silaturahim dan membuat antara yang berselisih saling memikirkan seolah-olah mereka adalah sahabat yang sangat setia.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushshilat [41]: 34).
Ada beberapa cara agar kita bisa menjadi pemaaf. Pertama, memperbanyak silaturahim kepada tetangga, sanak kerabat, dan kawan-kawan. Sikap ini akan membuka hati terhadap segala karakter orang, sehingga kitapun tidak mudah marah atau tersinggung atas sikap orang lain.
Kedua, memperbanyak dzikir kepada Allah SWT diwaktu pagi dan petang. Berdzikir diwaktu pagi akan menjernihkan hati dan pikiran kita sebelum beraktivitas. Berdzikir diwaktu petang akan kembali menjernihkan hati dan pikiran setelah kita sibuk seharian beraktivitas.
Ketiga, memperbanyak berdua-duaan (berkhalwat) dengan Allah SWT di waktu orang lain sedang terlelap tidur. Ini akan menumbuhkan kesabaran serta rasa penghambaan dan pengharapan yang tinggi hanya kepada Allah SWT serta menjauhkan dari ketergantungan terhadap manusia.
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS Fushshilat [41]: 35).
Masyarakat yang sarat akan nilai-nilai cinta dan kasih bermula dari suatu proses yang sangat agung, yaitu saling maaf dan memaafkan.
“Orang-orang penyayang akan disayang oleh Allah yang Maharahman. Sayangilah penduduk bumi, maka kalian akan disayangi oleh Allah.” (HR Ahmad). Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)