TOUNA- Pemerintah Indonesia dalam beberapa pernyataannya menyatakan bahwa Indonesia tengah menjalankan transisi energi yang ramah lingkungan. Dengan energi baru terbarukan sebagai jalan keluar dari jebakan ketergantungan energi kotor. Khususnya di Sulawesi Tengah (Sulteng), terdapat beberapa megaproyek energi berbasis bisnis diklaim pemerintah sebagai salah satu bentuk nyata komitmennya terhadap menjaga keberlanjutan lingkungan dan mencegah perubahan iklim.
Salah satunya ialah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), seperti PLTA Poso, dan beberapa PLTA yang akan dibangun termasuk PLTA Bongka di Tojo Una-una, yang akan dikerjakan melalui kerja sama dengan padat modal dari Korea Selatan.
Megaproyek bisnis energi di Sulteng bukan hal yang baru bagi masyarakat. Pasalnya kebutuhan masyarakat terhadap pasokan listrik bukan hal yang sangat genting atau menjadi prioritas di masyarakat.
Kebutuhan energi yang telah berkecukupan di berbagai daerah menjadikan pertanyaan besar terhadap beberapa proyek PLTA yang akan dibangun. Bisa terlihat ketika PLTA Bongka di dorong untuk segera terbangun, dengan alasan kebutuhan energi bagi masyarakat Kabupaten Tojo Una-una maupuan seluruh masyarakat Sulteng.
Pemerintah Kabupaten Tojo Una-una melalui Bupati bersama dengan pihak PT Bongka Nova Energi melakukan konsultasi publik Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terkait dengan akan beroperasinya pembangunan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 275 mw di Sungai Bongka, Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah pada 20 Juli 2023 lalu.
Setelah sebelumnya, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui Gubernur Rusdy Mastura pada 7 Oktober 2022, melakukan penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) bersama dengan konsorsium perusahaan yang bakal mengerjakan usaha bisnis energi PLTA Bongka, antara lain :K-Woter, KIND, DL E&C dan PT Bongka Nova Energi di Deanjhong, Korea Selatan.
Pembangunan megaproyek energi yang melibatkan modal multinasional ini telah mendapatkan respon dari berbagai kalangan di masyarakat yang merasa terancam ruang ekonominya jika proyek bendungan PLTA tersebut terbangun.
“Kehadiran rencana pembangunan PLTA Bongka tersebut menjadi tanda tanya besar di kita masyarakat Ulubongka, apakah listrik yang dihasilkan oleh PLTA ini akan diprioritaskan terhadap masyarakat sekitar dan Tojo Una-una atau hanya untuk kepentingan bisnis semata. Masalahnya kami masyarakat Ulu Bongka, tidak dilibatkan secara keseluruhan dalam rencana kerja pembangunan proyek PLTA ini,” jelas Idrus Dulah, Toko Masyarakat Ulu Bongka dan Mantan Kades Marowo, kepada MAL Online, Jumat (1/9).
Pembangunan PLTA Bongka tersebut, nantinya akan mencaplok desa-desa di sepanjang sungai Bongka, terdapat Desa Kasiala yang berada tepat di tempat pembangunan Bendungan PLTA, Desa Kasiala ini juga direncanakan akan direlokasi oleh pihak perusahaan.
Selain itu terdapat Desa Takibangke yang juga berpotensi mencaplok lahan-lahan pertanian warga setempat. Kemudian terdapat desa-desa di wilayah hilir, misal desa Paranonge, Watusongu, Bonebae 1, Rompi, Tobamau, Uekambuno, Bongka Makmur, Borneang, Bongka Koi, Boneabae II, Tampanombo, dan desa Cempa yang berada tepat di muara sungai Bongka.
“Pembangunan megaproyek PLTA Bongka tersebut, harusnya lebih mengutamakan kepentingan masyarakat lokal terutama soal keberlanjutan ekonomi rakyat dan keberlangsungan kondisi ekologis yang ada di hulu dan juga di hilir.
Apalagi Ulubongka ini menjadi sentral wilayah tangkapan nike yang mampu menghidupi warga Ulubongka juga seluruh warga kabupaten Tojo Una-una. Sehingga proyek ini harusnya mampu menjamin apa yang dimaksud dengan energi yang adil dan lestari,” ujar Ais Balango, Direktur Eksekutif Yayasan Toloka.
Ambisi pemerintah yang secara terus menerus menghadirkan investasi luar negeri untuk kepentingan bisnis yang secara ekstrim tidak terhindar dari seluruh dampak dan anacaman terhadap keberlanjutan warga.
Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Tengah, dengan berdalih Energi Baru Terbarukan (EBT), Pemda Sulteng dan juga Pemerintah Nasional telah melakukan kejahatan lingkungan dan juga pemiskinan terhadap warganya. Terbukti ketika di satu sisi proyek energi dibangun seperti PLTA Poso, sama sekali bukan untuk kepentingan warga, tapi untuk kepentingan industri. Proyek energi yang dibangun untuk memasok kebutuhan industri tambang terutama pemurnian tambang di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah.
“Pemerintah harusnya belajar dari proyek PLTA sebelumnya yang telah dibangun di Sulteng, misal PLTA Poso, yang telah terbukti bukan menjadi jawaban dari transisi energy melainkan keuntungan modal semata. Perampasan lahan, kerusakan ekologis dan penghilangan identitas lokal adalah kesalahan fatal yang dilakukan pemerintah saat ini. Transisi energy yang didorong oleh pemerintah saat ini telah terbukti gagal,” tutur Aulia Hakim, Kepala Advokasi dan Kampanye WALHI Sulteng.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG