JAKARTA- Demokrasi dan kebebasan berpendapat mulai menghadapi ancaman serius. Setelah adanya dua aksi teror ditujukan kepada wartawan dan majalah Tempo, kali ini aktivis pers mahasiswa di Malang menghadapi aksi kekerasan dan intimidasi dari aparat keamanan ketika sedang melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya.
Aksi kekerasan dan intimidasi dialami oleh delapan orang aktifis pers mahasiswa ketika sedang meliput aksi demonstrasi di Universitas Negeri Malang (UM) yang menolak pengesahan RUU TNI.
Kelompok mahasiswa tersebut berpandangan bahwa RUU TNI sudah disahkan oleh DPR merupakan bentuk ancaman terhadap supremasi sipil dan nilai-nilai demokrasi sudah diperjuangkan sejak era reformasi.
“Kejadian ini mengulang masa-masa gelap demokrasi kita. Apa yang terjadi dalam aksi kekerasan dialami oleh aktifis pers mahasiswa di Malang merupakan bentuk serangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi,” ujar Program Manajer Medialink, Leli Qomarulaeli dalam siaran persnya,Rabu(26/3).
Menurut Leli, pers mahasiswa juga memiliki hak sama dengan pers lainnya pada umumnya karena tugas-tugas jurnalisme, mereka juga sudah dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers.
“Kami mengecam dan mengutuk keras tindakan aparat keamanan bersikap kasar dan arogan. Tindakan aparat dalam aksi tersebut merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan pers dan mimbar bebas di kampus,” lanjutnya.
Leli berkisah bahwa pers mahasiswa memiliki peran penting dan signifikan dalam proses lahirnya reformasi Indonesia. Pada era Orde Baru, pers mahasiswa banyak mengalami intimidasi baik dari pihak internal kampus atau pun pihak ekstrenal membatasi keterlibatan pers mahasiswa untuk mengangkat tema-tema politik praktis atau tema-tema di luar kampus.
Namun dengan kegigihan dan komitmen pers mahasiswa peduli dengan nasib demokrasi bangsa ini, mereka melibatkan secara sadar walau pun dengan berbagai risiko harus mereka alami baik itu ancaman dari pihak kampus, aparat keamanan atau pun dari pemerintah Orde Baru. Hingga akhirnya, sejarah mencatat, pers mahasiswa menjadi salah satu elemen di garda terdepan melahirkan reformasi.
Tindakan aparat keamanan dalam aksi kekerasan terhadap aktifis pers mahasaiswa di Malang merupakan bentuk pengingkaran pemerintah atas jaminan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Negara harus menegaskan, jaminan hak masyarakat untuk berpendapat dan berekspresi. Dan pers, merupakan salah satu kekuatan demokrasi, sekarang ini sedang mengalami kemunduran (regressive democracy) di era pemerintahan Prabowo Subiyanto,” tegas Leli.
Untuk itu Leli mengajak semua pihak tidak menganggap aksi intimidasi dan kekerasan dilakukan aparat keamanan terhadap pers, khususnya pers mahasiwa dianggap sebagai hal biasa dan normal terjadi dalam aksi demonstrasi.
“Tindak kekerasan dan intimidasi terhadap pers dilakukan aparat keamanan memang sering terjadi. Dan kita tidak boleh melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, karena itu merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan pers. Fatalnya, tindakan itu juga menjadi ancaman bagi publik untuk bersuara kritis,”tekannya.
Reporter : **/IKRAM