DONGGALA – Head of Medco Foundation, Roni Pramaditia menyampaikan Medco Foundation didirikan Almarhum Arifin Panigoro berdasarkan atas keinginan beliau, untuk saling berbagi dan memberi kontribusi pada kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Dimulai yahun 2003. Saat itu, Medco Foundation masih bernama Yayasan Pendidikan Medco, yang berfokus pada bidang pendidikan dengan mengelola sekolah-sekolah di sekitar Jakarta. Namun, tahun 2007, Yayasan Pendidikan Medco berganti nama menjadi Medco Foundation, dan semakin berkembangnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Medco Foundation juga peduli terhadap isu-isu di bidang pemberdayaan ekonomi, sosial, kesehatan, dan lingkungan, dan saat ini mengelola program-program seperti Edukasi dan Literasi.
Kata dia, sebagai yayasan, orientasi Medco Foundation tidak diarahkan pada bisnis, melainkan non-profit, yang dapat menjadi alternatif di antara lembaga sosial lain yang bergerak untuk perbaikan kehidupan masyarakat luas. Sejak awal berdiri, Medco Foundation terus berusaha memperluas dan melalukan inovasi dalam melaksanakan program-program community development di berbagai daerah, dengan-agenda yang terarah, tepat sasaran, dan tidak diskriminatif.
“Mengingat juga bahwa keluarga kami Panigoro beserta Medco Group selalu punya kebiasaan merespon terhadap bencana. Generasi kakek nenek saya, itu selalu membuat dapur umum jika terjadi bencana. Ketika dulu Pak Almarhum Arifin memulai pekerjaannya (Medco). Kami ataupun disekitar aset kami mulai merespon mengenai kejadain-kejadian sosial atau bencana alam. Jadi memiliki satuan tugas yang ini bukan sesuatu yang baru, ini sudah sering kami lakukan,” ucap Roni Pramaditia, diacara peresmian Perpustakaan, di Desa Walandano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Jumat (20/05).

Lanjut dia, memiliki satuan tugas yang sama dan ketika tahun 2018 pasca bencana di Sulteng, pihaknya datang di Sulteng dibantu oleh Perwakilan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulteng mencari daerah yang sangat terdampak namun belum terjangkau bantuan.
“Tibalah kami di desa yang sangat indah ini, dan kami melakukan asesmen. Kita melihat sangat membutuhkan akses literiasi. Literasi itu tidak hanya budaya baca tapi juga memahami apa yang terjadi di sekitar kita,” katanya.
Kata Roni, perpustakaan di Desa Walandano didesain dan terinspirasi dari Rumah Adat Tambi Provinsi Sulteng, dengan tujuan untuk memperkuat literasi masyarakat dan membangun generasi yang cerdas. Sehingga dirinya berharap agar semua elemen masyarakat menjaga dan meramaikan fasilitas yang telah dibangun itu.
Kenapa membangun Perpustakaan desa?. Roni menjelaskan, sejauh ini masyarakat menghadapi tantangan, bukan hanya wilayah Walandano atau Sulteng, tapi nasional pada umumnya. Karena berdasarkan studi tahun 2021, bahwa Indonesia adalah negara paling terbelakang dalam hal kemampuan membedakan antara fakta dan opini, dan hal itu dirasakan selama dua tahun terakhir saat mengalami pandemi covid.
“Dalam hal ini yang coba kami lakukan adalah memperkuat dan memberdayakan potensi masyarakat agar mereka dapat mandiri secara berkelanjutan,” jelasnya.
Dipenghujung Roni kami berpesan, agar fasilitas perpustakaan itu tidak hanya dijadikan sebagai tempat baca buku. Tetapi harus didorong menjadi tempat bertukar pikirsan atau diskusi, seperti perpustakaan yang pertama dibangun oleh Medco Foundation di Jogjakarta, yang kini berkembang menjadi pusat ekonomi masyarakat setempat.
“Kami berharap kegiatan-kegiatan yang kami lakukan dapat senantiasa memberi manfaat luas bagi masyarakat. Sebab itu adalah salah satu pesan Almarhum (Arifin Ponegoro),” tandasnya. (YAMIN)