12 September 2022, perempuan berusia 27 tahun itu menginjakkan kaki di tanah Sigi. Dua hari setelahnya ia sudah berada di Kecamatan Lindu, lalu menyeberangi Danau Lindu tanggal 15 September.
Kurang lebih sudah 4,5 bulan, dara asal Pontianak itu tinggal di Dusun Wongkodongo, Desa Langko, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi. Dari Bora, Ibu Kota Kabupaten Sigi, butuh waktu 3 jam jalur darat untuk tiba di Desa Langko dan 30 menit jalur air (danau) untuk sampai di Dusun Wongkodono.
Wongkodono dikelilingi hutan lebat dan masuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Tidak ada akses listrik (PLN), serta jaringan seluler (hanya titik-titik tertentu untuk gawai Nokia, HP merek lama yang hanya berfungsi untuk menelpon dan mengirim sms saja. Penduduk memanfaatkan panel surya untuk mendapatkan aliran listrik.
Di dusun itu, ada sebuah Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tempat perempuan bernama Maya Safitri mengabdi, melaksanakan salah satu tugasnya sebagai Pengajar Muda (PM), Indonesia Mengajar (IM) angkatan XXIII, bersama dengan 7 kawannya yang lain yang tersebar di beberapa kecamatan.
Selama satu tahun, hingga 12 September 2023 ia akan bermukim di dusun tersebut dan menjadi satu-satunya penduduk yang beragama Islam.
Maya, sapaannya, merupakan Sarjana Sains Universitas Tanjungpura, Pontianak (2013-2018), lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,11. Maya juga merupakan penerima beasiswa Bidikmisi Kemenristekdikti.
Sebelum memilih menjadi Pengajar Muda, ia pernah bekerja di antaranya Tutor Private sejak 2018, Tutor Bimbingan Belajar Thiya Pontianak (2018-2019), Analis Laboratorium Mikrobiologi, PT Kreasi Alam Borneo (2020-2022) hingga sebelum berangkat pelatihan sebagai bekal bertugas selama 365 hari di Kabupaten Sigi.
Kedua dari 5 bersaudara itu merupakan inisiator Kelas Inspirasi Pontianak. Ia juga tergabung ke dalam beberapa organisasi atau komunitas dengan jabatan strategis seperti Chief of Exceutive Co-Learning Space, Project Leader Inclusive Island Community Event, Dewan Penasihat Aksi Sedekah Pendidikan Pontianak, Anggota BEM, Koordinator Volunteer Teaching and Indonesia Children Program, dan Forum Indonesia Muda angkatan 23.
Tidak hanya itu, Maya bak cheetah, tubuhny mungil tetapi lincah. Ia menjadi pembicara dan Master of Ceremony pada beberapa forum. Tidak mengherankan ketika ia terlibat dalam dunia kerelawanan, mengikuti seminar, dan konferensi nasional, di antaranya sukarelawan fasilitator asosiasi PPSW, Go Digital ASEAN di Kuburaya (2020), Fasilitator ABC Cerdaskan Indonesia yang diselenggarakan Indonesia Mengajar (2020), Delegasi West Borneo, Bootcamp Impact Initiator, Socail Enterprise, Jakarta (2019), Relawan Pengajar Indonesia Children Program, Serawak, Malaysia-Singapura (2015), dan lainnya.
Belajar Toleransi dan Banyak Adaptasi
Tinggal di Dusun Wongkodono, sebagai satu-satunya penduduk yang beragama Islam, Maya banyak belajar makna toleransi. Dia berusaha memahami tentang kebiasaan dan jadwal ibadah, agar tidak bertabrakan dengan kegiatan belajar mengajar tambahan yang ia adakan atau les sore hari dengan siswa.
Meski demikian, Maya masih sulit menjelaskan secara gamblang tentang apa-apa yang boleh dikonsumsinya. Sebab baginya halal dan haram bukan hanya mengonsumsi daging babi atau anjing, tetapi juga pada proses penyembelihannya, misalnya ayam.
“Ini hal pertama bagi orang di dusunku (Dusun Wongkodono) ada muslim yang tinggal lama dengan mereka. Jadi mereka mungkin masih bingung gimana memperlakukan orang muslim. Jadi kayaknya mereka hanya tahu kalau aku gak boleh makan daging babi dan anjing, dan boleh makan daging ayam dan daging-daging yang lain. Nah tapi, daging ayam itu pasti mereka potong sendiri dan aku tahu pasti gak pake bismillah, tetap juga akhirnya aku gak bisa makan,” tutur Maya.
Ia ingin menyampaikan ke Mayor (Pendeta untuk Kristen Bala Keselamtan/BK) tentang persoalan daging yang bisa dia konsumsi, tetapi belum jua tersampaikan. Karenanya, hingga saat ini Maya mengaku jika ada hajatan dan dipisahkan makanan (nasi dan lauk ayam) untuknya. Ia hanya mengambil kuahnya sedikit. Kadangkala Maya khawatir penduduk tersinggung, ia mengambil potongan daging ayam, tetapi hanya disimpan di piring, tidak dimakan.
“Atau aku buang diam-diam,” akunya dengan perasaan bersalah. “Aku juga udah ngomong ke anak muridku, kalau mau sembelih ayam bilang ke orangtuanya suruh ibu guru jo yang potong, biar ibu guru bisa makan juga itu ayam,” lanjutnya dengan mengikuti sedikit dialeg Suku Kaili.
Tidak hanya persoalan makanan halal dan haram, Maya masih berusaha beradaptasi dengan lingkungannya. Terutama ketika seekor anjing mendekat padanya. Ia masih suka kaget dan refleks berteriak ketika anjing tersebut semakin dekat dengan kakinya.
“Aku teriak, atau gak aku suruh muridku usir,” ujarnya dengan sedikit tawa mengingat bagaimana kagetnya ia waktu itu. “Makanya aku tuh selalu pake kaos kaki kalo ke mana-mana, lewat jalan becek pun atau ke sawah. Muridku sampai heran dan bilang, buka kaos kakinya, ibu.”
Tidak hanya perihal tentang batasan Islam dan Kristen yang dirasakannya. Hal-hal baru lainnya yang dia dapati adalah memakai sandal di dalam rumah, karena lantai rumah warga masih berupa semen kasar. Atau pengalaman mencuci pakaian di sungai sebab air tidak mengalir ke rumah, makan sayur kelor dan sayur labu kuning, dan makan ikan mujair. Juga ia selalu disuguhkan kopi.
Perempuan yang menyukai travelling, membaca dan menulis itu bahkan baru tahu kalau bunga pepaya bisa dimakan (diolah menjadi sayur). Selain itu, yang juga membuatnya terkejut adalah kebiasaan warga baik di Sigi maupun di Palu yang ia temui, selalu makan cabe atau selalu ada sambal ketika makan apapun.
“Saya tidak kuat makan pedas,” katanya.
Zaman Serba Canggih, Tetapi Bertukar Pesan Menggunakan Surat
Momentum Hari Pahlawan 10 November menjadi hari penuh haru bagi Maya. Ia menirukan pesan Pak Anto, pembina upacara Hari Pahlawan waktu itu, bahwa itu adalah kali pertama SDN Wongkodono mengadakan upacara Hari Pahlawan.
Terkenang bagaimana Maya harus ke dermaga di tepi danau yang jaraknya berkilo-kilo dari rumah keluarga angkatnya untuk berkirim surat. Zaman sudah canggih, tapi karena susah sinyal, juga Kepala Sekolah dan guru-gurunya tidak hadir di sekolah, penulis buku Self to Love (2022) itu berinisiatif mengirim kabar, memberitahu, dan mangajak untuk ikut upacara Hari Pahlawan melalui surat.
Sebenarnya, dia berencana menyeberang untuk menemui kepala sekolah dan para guru yang tinggal di seberang Wongkodono itu. Tetapi cuaca tidak bersahabat selama tiga hari sejak 6 – 9 November, membuatnya semakin mantap mengirim suratnya.
Maya menunggu di dermaga, dan menitipkan suratnya kepada warga yang hendak kembali ke Desa Langko dari sawah. Tentu saja telah ia pastikan warga itu bersedia menjadi tukang pos antara dia dan Kepala Sekolah. Waktu itu hujan dan dia ditemani tiga orang muridnya. Tubuh mereka basah meski sudah memakai payung dan jas hujan.
“Saat saya tanya kesediaan mereka, mereka bilang bisa, kata mereka, pasti penting ini, nanti kami antarkan ke rumahnya,” tirunya sambil memperlihatkan amplop putih di tangannya yang bertuliskan nama si penerima surat. “Sudah kupastikan surat itu tiba di tangan kepala sekolah. Tapi sayangnya kepala sekolah tidak datang. Upacara kami mulai, dengan beberapa guru lainnya, tanpa kepala sekolah. Saya meminta maaf kepada anak-anak karena tidak berhasil menghadirkan kepala sekolah.”
Menjadi Gurunya Manusia
Tantangan demi tantangan selama berada di lembah Sigi, coba dilewati Maya. Baik itu terkait adaptasi budaya, kebiasaan, hingga bahasa. Tidak terlupakan pula tantangan menjadi guru. Meski semua itu tidak mudah, tetapi ia terus berusaha.
Sebagaimana ia mengutip kalimat dari Hikmat Hardono, Ketua Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar, “Bekerjasama dengan manusia itu pasti akan ada lecetnya dan jika lecet-lecet tersebut masih terasa perih di hati kita, mungkin cita-cita kita belum terlalu besar.”
Di sekolah, Maya mengajarkan sistem organisasi kepada murid-muridnya. Dia mengajak para murid untuk belajar demokrasi melalui pemilihan ketua kelas dan anggota-anggtoanya. Maya mengaku bahwa sebelumnya sudah ada struktur kepengurusan di dalam kelas, tapi belum berjalan efektif.
Salah satu yang disepakati setelah terbentuknya struktur pengurus kelas adalah ia dan murid-murid membuat kesepakatan iuran dalam bentuk uang kas kelas.
“Tujuannya mengajarkan anak-anak menabung dan berdaya untuk keperluan kelas mereka sendiri. Misal untuk beli sapu, dan lain-lain. Intinya aku mau ngajarin ke anak-anakku bahwa cari uang itu susah, seperti waktu aku ikut orangtua murid ke kebun mencari kemiri dan harganya Rp5 ribu per kg. Murah banget, meski menurut warga itu sih udah mahal. Jadi, mereka harus belajar menabung dan bertanggung jawab,” ujar pelari kedua di Sigi itu.
Selain mengajar di kelas dengan metode-metode kreatif, Maya mengajak murid-muridnya berkebun dan menanam sayur. Karena katanya, di Wongkodono, tidak banyak sayur mayur. Kebun mereka di samping sekolah dan mereka menanam kangkung, jagung, sawi, stroberi, kacang panjang, labu kuning, dan lainnya.
“Anak-anak kalo Sabtu berkebun, 36 anak, digabung semua. Hari Sabtu juga, kami belajar lagu daerah dan lagu nasional untuk dinyanyikan pas hari Senin, Upacara Bendera. Dan Anak-anak sekarang setiap hari bawa bekal,” tutup Maya.
Reporter : Iker
Editor : Rifay