Oleh: Dr. Ulil Hidayat*
Bulan Rabiul Awal selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam. Di bulan inilah, Nabi Muhammad saw. lahir ke dunia, membawa cahaya petunjuk bagi umat manusia. Perayaan Maulid Nabi, yang dilakukan dengan ragam tradisi di berbagai daerah, seringkali dianggap sekadar seremoni tahunan. Namun, bila kita menelisik lebih dalam, Maulid adalah undangan untuk merenung, menakar kembali sejauh mana sosok Nabi yang kita rayakan benar-benar hadir dalam perilaku, pemikiran, dan sikap keseharian kita. Merayakan Maulid berarti menghidupkan kembali nilai-nilai profetik yang beliau wariskan, bukan sekadar mengenang sejarah kelahiran.
Pertanyaan sederhana namun mendasar bisa kita ajukan: siapa manusia terbaik di dunia? Jawaban itu terang dan tak tergantikan: Muhammad. Tidak ada manusia yang lebih agung, lebih mulia, dan lebih baik darinya. Nabi Muhammad saw. bukan sekadar pemimpin Arab abad ke-7, tetapi seorang utusan Allah yang diutus untuk seluruh alam. Akan tetapi, yang lebih penting dari pengakuan itu adalah sejauh mana kita membuktikannya dalam sikap hidup.
Kenyataannya, banyak orang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad, tetapi perilakunya jauh dari akhlak beliau. Dalam satu kata, manusia seperti ini dapat disebut munafik. Istilah yang berat dan keras, tetapi Al-Qur’an menyingkapkan realitas bahwa kemunafikan muncul ketika pengakuan iman tidak sejalan dengan tindakan nyata. Maulid, dengan demikian, mengingatkan kita agar jangan hanya berhenti pada klaim cinta Nabi, melainkan menjelmakan cinta itu dalam ketaatan dan keteladanan.
Lantas, apa rahasia kekuatan Nabi Muhammad sehingga ajarannya terus hidup hingga kini, diikuti miliaran manusia lintas zaman dan budaya? Jawabannya adalah wahyu. Beliau bukan sekadar reformis sosial, melainkan Rasul yang diutus dengan Al-Qur’an sebagai panduan abadi. Wahyu itulah sumber kekuatan, yang dibalut dengan akhlak, kesabaran, dan kasih sayang. Nabi berhasil mengubah masyarakat jahiliyah yang keras menjadi masyarakat berperadaban, karena beliau menghadirkan dakwah bukan dengan paksaan, melainkan dengan keluhuran budi.
Bila dirangkum, faktor kunci keberhasilan dakwah Nabi dapat dijelaskan dalam satu kata: akhlak. Inilah yang membedakan beliau dari pemimpin-pemimpin lain sepanjang sejarah. Aisyah ra. menuturkan, “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an.” Beliau adalah Al-Qur’an yang hidup, teladan nyata dari firman Allah. Inilah yang membuat ajaran Nabi relevan di setiap zaman, termasuk di era modern yang serba digital. Jika umat Islam ingin benar-benar merayakan Maulid, maka akhlak Nabi harus menjadi cermin perilaku—dari cara kita berinteraksi di media sosial, mengelola ekonomi, hingga menjaga keadilan sosial.
Perayaan Maulid sesungguhnya adalah perayaan kesadaran. Kesadaran bahwa satu kata tentang Nabi dapat menggugah hati, tetapi satu langkah meneladani beliau jauh lebih berarti. Nabi Muhammad saw. tidak membutuhkan pujian kita, justru kita yang membutuhkan beliau sebagai teladan agar selamat dalam hidup.
Refleksi ini penting di tengah kondisi umat yang sering terjebak dalam formalitas agama, tetapi kehilangan substansi. Kita kerap menjadikan Maulid sebagai pesta, tetapi lupa menjadikannya muhasabah diri. Sejauh mana kita mencerminkan kelembutan Nabi dalam rumah tangga kita? Sejauh mana kita menampilkan kejujuran beliau dalam pekerjaan kita? Sejauh mana kita menghidupkan kasih sayang beliau dalam relasi sosial kita?
Umat Islam hari ini menghadapi tantangan berat: materialisme, krisis moral, dan arus digital yang sering menjauhkan manusia dari nilai spiritual. Di sinilah relevansi akhlak Nabi kembali menemukan maknanya. Akhlak bukan hanya simbol pribadi yang baik, melainkan fondasi peradaban. Dunia modern sangat membutuhkan keteladanan Nabi: kejujuran dalam politik, keadilan dalam ekonomi, kelembutan dalam keluarga, dan kasih sayang dalam hubungan antarmanusia.
Dalam diri Nabi Muhammad SAW. terhimpun sebuah teladan agung yang melampaui batas ruang dan waktu. Beliau hadir bukan hanya untuk sebuah bangsa atau generasi, tetapi untuk semesta. Allah menyebut beliau sebagai rahmatan lil-‘alamin—rahmat bagi seluruh alam. Artinya, kehadiran Nabi adalah pancaran kasih yang tidak terbatas pada manusia, tetapi juga alam, binatang, bahkan seluruh ciptaan.
Teladan Nabi adalah teladan cinta. Cinta yang terwujud dalam kelembutan kepada anak-anak, kasih sayang kepada fakir miskin, penghargaan kepada tetangga, hingga kepedulian kepada alam. Beliau mencontohkan bahwa iman tidak hanya diukur dengan ibadah ritual, tetapi juga dengan seberapa besar kasih yang kita pancarkan kepada sesama makhluk. Dari akhlak beliau, kita belajar bahwa cinta bukan sekadar rasa, melainkan jalan hidup.
Kesemestaan Nabi terlihat dari bagaimana ajarannya tetap hidup hingga kini. Cinta beliau tidak pernah habis meski abad berganti, karena cinta itu tertanam dalam nilai-nilai universal: kejujuran, keadilan, kesabaran, dan kasih sayang. Nilai-nilai ini tidak lekang oleh waktu, dan terus dibutuhkan dunia modern yang haus akan keteladanan.
Akhirnya, merayakan Maulid berarti merayakan komitmen. Komitmen untuk tidak hanya menyebut nama Nabi dalam doa, tetapi juga menghidupkan akhlaknya dalam perbuatan. Komitmen untuk tidak berhenti pada cinta verbal, tetapi cinta yang dibuktikan dengan tindakan nyata. Sebab cinta sejati kepada Nabi Muhammad saw. adalah ittiba’—mengikuti sunnahnya.
Maulid adalah momentum koreksi diri: apakah kita hanya berhenti pada ritual, atau benar-benar menjadikan Nabi sebagai inspirasi hidup? Jawaban itu bergantung pada kita masing-masing. Nabi telah menunaikan misinya dengan sempurna. Kini giliran kita untuk menjawab dengan amal nyata, agar cinta kita kepada beliau benar-benar menjadi cahaya bagi diri, masyarakat, dan semesta.
*Penulis adalah Dosen di UIN Datokarama Palu