Masyhuddin Masyhuda: Penyair Palu yang Melestarikan Budaya Melalui Puisi

oleh -
Jamrin Abubakar dalam kegiatan Balai Bahasa Provinsi Sulteng memperingati Bulan Bahasa 2024 di Hotel Best Western Coco Palu Selatan, Rabu (23/10). (Foto: MAL/Irma)

PALU – Pada dekade 1950-an, kesusastraan di Kota Palu mengalami perkembangan pesat, dengan munculnya sejumlah penyair lokal yang memberikan kontribusi besar dalam membentuk tradisi sastra di daerah tersebut. Jamrin Abubakar, pemerhati sejarah dan budaya dari Donggala, menjelaskan bahwa pada masa itu, komunitas seni budaya memainkan peran penting dalam mendukung kreativitas para seniman dan penyair.

Salah satu komunitas yang menjadi pusat aktivitas seni adalah Seni Budaya Ketjapi, yang berbasis di Studio RRI Donggala di Palu. Komunitas ini menjadi wadah berkumpulnya seniman untuk berdiskusi dan berkarya. Selain itu, kelompok Sasbupa (Sanggar Seni Budaya Palu) juga menjadi tempat pengembangan bakat para penyair dan seniman muda di Palu.

Pada periode 1950-an hingga 1970-an, sejumlah penyair lokal muncul dengan karya-karya yang memiliki pengaruh besar. Beberapa di antaranya adalah Damas DT (1927-2010), M.S. Din (1935-2000), Husein Pandan (1936-1990), Intje Rase (1937-2002), dan Handy Ananda (1942-2009). Mereka memperkenalkan kesusastraan Palu melalui publikasi dan pertunjukan yang diadakan di berbagai kesempatan.

BACA JUGA :  KPU Poso Tetapkan 179.678 DPT untuk Pilkada 2024

“Masyhuddin Masyhuda, atau lebih dikenal sebagai M.S. Din, adalah salah satu penyair paling produktif pada masanya. Lahir di Palu pada 1 Juli 1935, Masyhuddin tidak hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga peneliti budaya. Dalam puisi-puisinya, ia sering menggunakan akronim dan simbol yang menggambarkan hubungan personal serta budaya, mencerminkan perjalanan hidupnya dan dinamika budaya Sulawesi Tengah,” ujar Jamrin Abubakar dalam kegiatan Balai Bahasa Provinsi Sulteng memperingati Bulan Bahasa 2024 di Hotel Best Western Coco Palu Selatan, Rabu (23/10).

Puisi-Puisi Kronologis: Refleksi Hidup

Salah satu ciri khas karya Masyhuddin adalah penggunaan puisi kronologis yang menggambarkan perjalanan hidupnya. Puisi-puisi seperti Kenangan (1977) dan Kenangan (1991), serta Cukilan (1960-an) dan Cukilan (1992), merefleksikan kenangan dan pengalaman hidupnya pada dua periode berbeda. Hal ini menunjukkan bagaimana pandangannya terhadap kehidupan terus berkembang seiring berjalannya waktu.

BACA JUGA :  Mengupas Keterlibatan Media dalam Literasi Keuangan

Masyhuddin tidak hanya menulis puisi, tetapi juga turut mendokumentasikan dan melestarikan budaya Sulawesi Tengah melalui karyanya. Meskipun jumlah puisinya tidak terlalu banyak, setiap karya memiliki makna mendalam, mencerminkan perkembangan budaya dan perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Dalam pandangan Masyhuddin, hidup manusia adalah perjalanan yang mengalir seperti sungai, dari hulu ke hilir, mencerminkan perubahan dan pertumbuhan sepanjang waktu. Melalui puisi-puisinya, ia berhasil menggambarkan kedalaman budaya dan kehidupan masyarakat Palu dalam konteks yang lebih luas.

BACA JUGA :  Gubernur Sulteng Jenguk Korban Unjuk Rasa, Beri Santunan dan Bantuan Hukum

Dengan demikian, kontribusi penyair seperti Masyhuddin Masyhuda dan komunitas seni di Palu pada dekade 1950-an hingga 1970-an tetap menjadi warisan penting dalam sejarah kesusastraan dan budaya di Sulawesi Tengah.

Reporter: Irma/Editor: Nanang