PALU – Komunitas Peduli Perempuan dan Anak (KPPA) Sulteng, bersama Walhi Sulteng dan Sulosi (Sulawesi Tanpa Polusi), menyelenggarakan diskusi masyarakat sipil bertajuk “Menilai Dampak PLTU Captive terhadap Perempuan dan Anak”, Senin (19/05).

Diskusi ini sebagai bentuk kepedulian terhadap dampak ekologis dan sosial industri tambang nikel yang semakin masif di Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara (Morut).

Diskusi tersebut menjadi ruang konsolidasi bagi organisasi masyarakat sipil untuk menilai dampak langsung dan ancaman jangka panjang terhadap perempuan dan anak di lingkar pertambangan nikel.

Direktur KPPA Sulteng, Adriani M Hatta, yang hadir sebagai narasumber utama, menyoroti keterdesakan perlindungan kelompok rentan, terutama perempuan dan anak, dalam konteks krisis lingkungan yang terjadi akibat praktik energi kotor dari PLTU captive dan aktivitas pertambangan.

“Salah satu kisah yang dirasakan sekarang jenis kerang meti bercampur pasir, semakin susah membersihkannya, masyarakat menduga tambang pasir penyebabnya, dulu meti tidak terbungkus pasir,” ungkapnya.

Saat ini, kata dia, sudah banyak tambang pasir sehingga menyedot meti yang besar maupun kecil.

“Jadi busuk semua, meti tidak berkembang. Ketua nelayan meti bilang lama-lama meti habis. Hasil sedotan tambang pasir masuk ke salah satu perusahaan tambang,” tambah Adriani.

Ia menyampaikan, energi kotor yang digunakan dalam proses hilirisasi nikel telah memperparah kerusakan lingkungan. Hal ini menyebabkan pencemaran udara dan air, munculnya limbah di laut, krisis air bersih, dan bahkan dugaan hujan asam yang masih membutuhkan pembuktian ilmiah.

“Kondisi ini berdampak serius terhadap kesehatan, gizi, dan perkembangan anak serta meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga karena beban hidup yang semakin berat,” ujarnya.

Ironisnya, lanjut dia, suara kritis perempuan dan masyarakat terdampak belum banyak terdengar atau didengarkan oleh pengambil kebijakan. Pemerintah lebih sibuk dalam perdebatan soal keuntungan ekonomi dari hilirisasi nikel, sementara sisi kemanusiaan dan keadilan lingkungan justru diabaikan.

“Melalui kegiatan ini, KPPA Sulteng, WALHI Sulteng, dan Sulosi berharap dapat memperkaya basis informasi dan pengetahuan untuk merancang strategi advokasi yang kuat, kolaboratif, dan berperspektif keadilan gender dan lingkungan,” harapnya. */RIFAY