PALU – Masyarakat Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) diharap tidak terlalu khawatir atau bahkan panik dengan isu resesi ekonomi pada tahun 2023 yang akan melanda banyak negara di dunia.

Resesi merupakan perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam dua triwulan berturut-turut yang diikuti dengan peningkatan angka pengangguran (unemployment).

Dampak dari kenaikan suku bunga yang signifikan dalam waktu singkat disertai lonjakan inflasi akan memukul berbagai sektor ekonomi. 

Resesi ekonomi salah satunya ditandai dengan terkontraksinya pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau total nilai produksi dan jasa yang dihasilkan semua orang atau perusahaan dalam satu negara.

Kepala Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulteng, Dwiyanto Cahyo Sumirat, mengatakan, pertumbuhan ekonomi Sulteng terbilang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Sulteng pada triwulan dua tahun 2022 adalah sebesar 11,17 persen.

Ia mengatakan, ekonomi Indonesia masih terus bertumbuh. Jika ekonomi tumbuh, maka kapasitas untuk menerima lapangan kerja baru juga ikut tumbuh.

“Sangat tinggi. Jadi kalau dikatakan pertumbuhan ekonomi kita negatif, nggak juga. Sementara pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5,44 persen. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir atau panik dengan resesi ini. Insya Allah aman,” katanya kepada wartawan, di Kantor BI Sulteng, Kamis (13/10).

Anto, sapaan akrabnya juga mengungkap alasan lain yang bisa “membebaskan” Indonesia dari resesi, yakni konsumsi masyarakat yang juga masih kuat.

“Karena sebagian besar memang pertumbuhan ekonomi itu ditopang oleh konsumsi. Walaupun ada pengalihan subsidi BBM baru-baru ini, tapi kita tetap belanja, konsumsi kita masih tinggi,” jelasnya.

BI sendiri, lanjut dia, melakukan survei konsumen. Hasil survei menunjukkan bahwa dalam tiga bulan ke depan, masyarakat masih cukup yakin dengan kondisi ekonomi Indonesia.

Ditanya apa upaya BI untuk menjaga agar resesi tidak terjadi di Indonesia, maka yang dilakukan antara lain adalah mendorong belanja domestik, di mana masyatakat diminta melakukan pembelanjaan, terutama produk-produk domestik atau dalam negeri.

“Kenapa demikian, kalau kita tetap membeli produk dalam negeri, maka akhirnya kita memberikan lapangan kerja baru buat masyarakat. Tapi kalau yang kita beli barang impor, maka yang untuung orang luar. Tapi belanja juga tetap dikendalikan, harus tetap ada simpanan,” jelas mantan Analis Senior, KPw BI Provinsi Jawa Tengah (Jateng) itu.

Dalam hal konsumsi, lanjut dia, BI juga memudahkan masyarakat untuk berbelanja dan memudahkan UMKM untuk menjual produknya dengan cara digitalisasi, yaitu QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).

“Orang bisa berbelanja dari rumah, jualan juga bisa dari rumah,” katanya.

Selanjutnya, kata dia, peningkatan produktivitas. Seperti yang dilakukan BI Sulteng memberikan bantuan alsintan, yang salah tujuannya adalah untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian, sehingga ketercukupan bahan-bahan pokok bisa terjamin.

“Jadi kedaulatan pangan bisa kita capai, konsumsi masyarakat juga baik. Masyarakat yang bekerja juga lebih banyak,” katanya.

Presiden, lanjut dia, juga sudah mengamanatkan agar BUMN-BUMN memperbanyak porsi belanja dari produk-produk UMKM.

Lebih lanjut ia mengatakan, di Sulteng sendiri tidak ada sektor-sektor ekonomi yang begitu terpengaruh besar dengan isu resesi.

Ia mencontohkan industri pengolahan nikel yang ada di Kabupaten Morowali. Sampai sekarang, kata dia, tidak terjadi penurunan signifikan atas ekspor ke China.

“Karena mereka (China) tetap berproduksi. Artinya, kalau mereka tetap berproduksi, maka tetap membeli nikel dari kita,” terangnya.

Di sektor pertanian, lanjut dia, juga tidak terpengaruh karena sektor ini banyak lari ke konsumen domestik.

“Jadi bisa dibilang aman. Beras kita tidak hanya jual di Sulteng, tetapi juga ke daerah lain, seperti Jawa,” tambahnya.

Pertambangan pun demikian. Ia mengakui adanya penurunan produksi, namun hal itu adalah efek tahun lalu yang sudah tumbuh tinggi.

“Sekarang tumbuh, tetapi tidak setingga tahun lalu. Tapi itu juga tidak melulu disebabkan oleh perlambatan ekonomi global. Jadi Insya Allah kita masih aman di sini. Kondisi masih baik di Sulteng sepanjang kita bisa mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang kita miliki,” ujarnya.

Diketahui, Bank Dunia meramal perekonomian global akan menyusut hingga 1,9 persen poin menjadi 0,5 persen pada 2023. Kemudian, pada 2024, ekonomi dunia akan kembali menurun 1 persen menjadi 2,0 persen.

Indonesia sendiri diproyeksikan dapat tetap makmur dan bertahan dari “serangan” resesi 2023.

Ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5% pada tahun 2023, terpangkas dari proyeksi sebelumnya 5,2%. Kondisi ini, menurut Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia, bisa mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.

Kendati demikian, ADB menilai pemulihan ekonomi Indonesia masih sesuai dengan jalurnya.

Dilansir dari CNBC Indonesia, (ADB) masih cukup optimis dengan pertumbuhan di sejumlah negara di wilayah Asia, khusunya Asia Tenggara yang rata-rata pertumbuhan ekonominya diproyeksi berada di kisaran 5% pada 2023. (RIFAY)