PALU- Ratusan masyarakat tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah (Sulteng) melakukan aksi unjuk rasa depan Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Perwakilan Sulteng, Jalan Suprapto, Kota Palu, Jumat (11/10).
Mereka membawa poster dan spanduk dengan berbagai tulisan sebagai tuntutan diantaranya, sahkan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan hentikan kriminalisasi masyarakat adat.
Secara bergantian para orator melakukan orasinya, usai berorasi sebanyak 15 orang perwakilan massa masuk ke kantor Komnas HAM, diterima oleh tim kerja Edi Sutichno untuk berdialog.
Dalam dialog Ketua Pengurus Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah (Sulteng) Yasin Labente menuturkan, Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, masyarakat adat di Sulawesi Tengah telah berjuang untuk pengesahan undang-undang yang melindungi hak-hak mereka.
“Pada tahun 2014, Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk memasukkan poin terkait pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat dalam visi misinya. Namun hingga kini, undang-undang tersebut belum juga disahkan,” kata Yasin.
Yasin mengatakan, masyarakat adat di Sulawesi Tengah telah memperjuangkan hal tersebut sejak 2008 dan masih terus melobi berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, agar undang-undang tersebut segera disahkan.
“Kami berharap rekomendasi dari Komnas HAM dapat diteruskan kepada Kemenkumham untuk mempercepat proses pengesahan,” kata Yasin.
Yasin mengatakan, ketiadaan undang-undang tersebut membuat masyarakat adat sering menghadapi berbagai tekanan, seperti kasus-kasus kriminalisasi di Pekurahua dan Poso. Di Pekurahua, 10 orang masyarakat adat kini sedang menjalani proses hukum.
Selain itu, kata Yasin. masyarakat adat di Taman Nasional Kepulauan Togean juga mengalami masalah serupa, di mana 19 orang masyarakat adat Saluan kini sedang menghadapi laporan polisi. Mereka dituduh mengelola lahan yang diklaim sebagai bagian dari kawasan Taman Nasional, meskipun mereka telah menempati dan mengelola lahan tersebut selama puluhan tahun, turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Olehnya kata Yasin Pihaknya, mendesak agar Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) segera direvisi, dan Permen ATR No. 14 Tahun 2004 dicabut, karena dianggap merugikan hak-hak masyarakat adat. Mereka juga menuntut dihentikannya perampasan wilayah masyarakat adat dan kriminalisasi terhadap mereka.
“Kasus lainnya terjadi di wilayah Tambang Emas Poboya dan Taman Nasional Lorelindu, di mana beberapa petani juga ditahan atas dugaan pelanggaran di lahan yang telah lama mereka kelola. Masyarakat adat berharap agar semua masalah ini dapat segera ditangani melalui pengesahan undang-undang yang jelas melindungi hak-hak mereka,” katanya.
Tim kerja Komnas HAM Sultenng Edi Sutichno mengatakan, terkait tuntutan masyarakat Adat , pihaknya melakukan koordinasi dengan KOMNAS HAM RI guna mendesak pengesahan Undang-undang Perlindungan Masyarakat Adat.
Terkait adanya Bank Tanah di Pekurehua kata Edi pihaknya akan berkoordinasi dengan KOMNAS HAM RI untuk melakukan mediasi dengan bank tanah di Pusat, sebab Bank tanah di daerah tidak memiliki kewenangan dan mengambil keputusan.
“Kita mencoba mendorong mediasi dilakukan oleh Komnas HAM RI dengan bank tanah di pusat,” katanya.
Sementara Ketua DPD AMAN Tampolore Steven mengatakan adanya bank tanah di wilayahnya tidak tersosialiasi dengan baik. Tanah eks HGU salah satu perusahaan dengan luas 6664 hektare telah habis masa kontraknya dan masyarakat mengambil kembali tanah menjadi haknya.
“Tanpa Kompromi mereka langsung memasang patok-patok, sehingga dianggap pengambilan secara paksa, membuat masyarakat mencabut patok-patok tersebut dan berujung pada pelaporan kepolisan,” katanya.
Perwakilan masyarakat Tampolore menjadi korban pelaporan kepolisan Cristian Toibo meminta Komnas HAM Sulteng sebagai mediator dengan bank tanah dan bersepakat menolak, selain dari Komnas HAM Sulteng, masyarakat tidak percaya lagi dengan pemerintah daerah Poso.
Sementara perwakilan Solidaritas Perempuan Sulteng Nanda meminta kepada penegak aparat hukum untuk menerapkan dan mengimplementasikan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 6 tentang Pembela HAM, bahwa Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat dikenakan tuntutan pidana atau perdata.
“Jangan lagi ada kriminalisasi terhadap Pembela HAM mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat,” tegasnya.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG