Semasa hidupnya, Imam Masjid Raya Donggala, KH. Ali Umar (alm) pernah mengisahkan, bahwa awalnya masjid hanya terbuat dari papan kayu dengan atap rumbia. Tetapi saat itu sudah berlantai marmer dan terlihat cukup mewah.
“Sesuai perkembangan saat direnovasi dilakukan perluasan dan perubahan dari bahan kayu diganti bahan beton seperti terlihat saat ini,” jelas Ali Umar, semasa hidup.
Hal senada disampaikan H. Ronny H. Djalaluddin (68 tahun) salah satu tokoh masyarakat setempat.
Kata dia, renovasi masjid dilakukan atas swadaya seluruh elemen masyarakat. Mulai dari anak-anak sekolah hingga buruh pelabuhan ikut memberi sumbangsi dalam pembangunan, meski hanya membawa pasir memakai ember, hingga material mencukupi untuk bahan renovasi.
Menurut Rony, saat renovasi besar-besaran pada dekade 1960-an itu, termasuk anggota Polri memiliki andil membantu perampungan pengerjaan secara sukarela.
Sebagai wujud apresiasi, dalam berita surat kabar Sulteng Post, edisi 10 Januari 1970 menyebutkan; Oleh Panitia Pembangunan Masjid Raya Donggala yang diawali oleh Daud Ladudin dan Sjukri Main tanggal 30 Desember yang lalu telah diserahkan Surat Penghargaan dari Panitia Pembangunan Masjid Raya Donggala kepada AKBP. Moljono Dan Res Polri 1907 Donggala atas bantuan dan mission Bimas Polri di Donggala terhadap usaha-usaha Pembangunan Masjid Raya.
“Ketika itu tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan pegawai, politisi, pengusaha, polisi, guru-guru dan buruh-buruh pelabuhan hingga anak-anak sekolah ikut membangun Masjid Raya. Bukan hanya menyumbangkan uang tapi juga tenaga dengan membawa batu-batu, pasir dan berbagai material demi terwujudnya sebuah masjid kebanggaan masyarakat. Masa itu masjid dibangun atas partisipasi seluruh lapisan masyarakat tanpa berharap bantuan pemerintah,” cerita Ronny Djalaluddin pada penulis beberapa waktu lalu.
Di halaman belakang Masjid Raya terdapat makam Haji Muhammad Saleh Pettalolo dan Haji Amir Pettalolo. Keduanya memiliki andil dalam pembangunan masjid pada masa awal, sehingga kelak dimakamkan di belakang masjid.
Tokoh ini pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah saudagar kaya yang melakukan perniagaan ke berbagai kota di nusantara, termasuk Singapura dan Tawau.
Kuatnya pengaruh dan jaringan yang dimilikinya, membuat pemerintah Hindia Belanda memberi kepercayaan dan kedudukan pengamanan Selat Makassar dan Teluk Palu untuk menghalau bajak laut.
Di Kota Donggala pernah pula memiliki masjid terapung dan cukup lama difungsikan. Masjid itu terletak di tepi pantai Kelurahan Labuan Bajo, namanya At-Taqwa atau populer sebutan Langgar Arab.
Masjid yang didirikan tokoh-tokoh saudagar Arab di Donggala itu berkapasitas 50-an jemaah. Bangunan model panggung dengan tiang-tiang penyangga di atas air laut tepi pantai, termasuk lantai dan dindingnya semua terbuat dari kayu ulin, kecuali bagian depan sudah dibeton. Semula beratap sirap sebelum diganti seng.
Bangunan ini hancur saat dihantam tsunami, tanggal 28 September 2018 silam. Kini akan dibangun kembali dengan konstruksi tiang beton.
Jejak-jejak syiar Islam di Donggala, selain dalam bentuk masjid terdapat pula makam tokoh penyebar Islam yang dikeramatkan. Namanya Lamandanga Pue Janggo di Kelurahan Ganti, Kecamatan Banawa.
“Ini merupakan salah satu bukti kehadiran Islam di Kerajaan Banawa sudah cukup lama ada dan menjadi agama resmi kerajaan. Hingga kini makam Pue Janggo masih sering didatangi peziarah oleh warga, termasuk peziarah dari daerah luar,” kata Andi Bara Lamarauna (77 tahun) salah satu tokoh masyarakat di Ganti.
Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay