Masjid Al Amin Malambora, Pengingat Peradaban Islam Pertama di Sulteng

oleh -
Masjid Tua Al Amin Malambora Wani

MASJID Arab Al Amin Malambora, terletak di Desa Wani, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala merupakan masjid tua peradaban Islam pertama di Sulteng.

Untuk tiba ke Lokasi masjid harus menempuh jarak dari Ibu Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) sekitar 25 km, waktu tempuh sekitar 47 menit dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua.

Memasuki Desa Wani II sebelah kiri, kita akan disuguhi hamparan laut dan sebagian puing-puing rumah nelayan sekitar terdampak gempa dan tsunami 28 September 2018 silam.

Sebelum mencapai lokasi masjid kita juga akan disuguhi deretan nisan kuburan Sayyid Aqil Al Mahdali Ulama peletak dasar Ilmu Pengetahuan di Sulteng bersama nisan keluarga lainnya.

Konon menurut cerita warga setempat, tatkala tsunami menerjang, air laut itu melewati makam tersebut, dan hanya menyapu rumah-rumah warga sekitar. Sementara makam tersebut tidak mengalami kerusakan. Padahal jaraknya dari bibir pantai tidak sampai puluhan meter.

Menara Masjid Al Amin Malambora

Begitupun Masjid Al Amin, tidak mengalami kerusakan begitu parah, hanya dipenuhi oleh potongan kayu-kayu terbawa ombak tsunami. Masjid bergaya arsitektur percampuran Melayu dan Cina ini masih kuat kokoh berdiri sampai kini sejak dibangun 1906 oleh Syarifah Isa binti Yahya Al-Mahdali, cucu Sayid Aqil Al-Mahdali, seorang saudagar dari Yaman, Timur Tengah.

Menempati lokasi tanah 45 x 54 meter persegi, Masjid Al Amin berdiri kokoh dengan delapan tiang penyangga dari kayu ulin dan beratap dua susun, serta satu menara setinggi 12 bernuansa Tiongkok.

Memasuki areal dalam masjid mata kita dimanjakan dengan suguhan tulisan kaligrafi hasil karya seni dari mendiang ayah dari KH. Ali Yafie mantan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat era 90 an sampai 2000.

“Dulu ayah dari Ali Yafie ini mengajar anak-anak sekitar sini mengaji, dialah menulis kaligrafi masjid ini, ” kata penjaga masjid Al Amin Tahir Syarif Al-Mahdali, Sabtu (26/2) pekan lalu.

Tak kalah uniknya, mungkin satu keberkahan, dari Masjid Al Amin, meski letaknya di bibir pantai, tapi air tanah dipakai untuk mengambil air wudhu bagi jamaah tidak berasa asin dan airnya lancar 1 X 24 jam tanpa henti.

Hanya saja sangat disayangkan, meski masjid dengan segala keunikan dan bernilai sejarah tinggi itu, tidak mendapat perhatian maksimal dari Pemerintah Donggala.

Hal ini disampaikan oleh peneliti sejarah Univeraitas Tadulako (Untad) DR. Haliadi Sadi Palu dalam silaturahmi pertemuan Akbar keluarga Sayid Aqil Al Mahdali.

Ia mengatakan, selaku ketua tim ahli cagar budaya Sulteng menyatakan Masjid Al-Amin ini sudah lama ditetapkan sebagai cagar budaya. Harusnya sudah diperbaharui yang ditetapkan oleh Pemerintah Donggal.

Menurutnya, Masjid Al-Amin ini sudah lama ditetapkan sebagai cagar budaya. Harusnya sudah diperbaharui yang ditetapkan oleh Bupati.

Sayangnya lagi ujarnya, Kabupaten Donggala saat ini belum punya tim ahli cagar budaya. Hal ini agar bisa membuka mata pemerintah Donggala.

Ia menambahkan bila masjid Al Amin (cagar budaya) ini tidak diperhatikan pemerintah Kabupaten, penetapannya akan ditingkatkan menjadi cagar budaya tingkat provinsi.

Hal itu, jelasnya, bisa dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan alasan tertentu. Misalnya arsitektur nya percampuran arsitektur Cina dan arsitektur Hindis mewakili zamannya.

“Itu bisa dijadikan sebagai cagar budaya Provinsi, bila terbengkalai dan tidak ada penanganan dari tingkat kabupaten,” tegasnya.

Republika: Ikram/Editor: Nanang