PALU – Mantan Jurnalis Rolling Stone Indonesia, Wendi Putranto, mengakui, Band Palu lebih maju dibandingkan dengan band di Makassar.
Hal tersebut disampaikan Wendi, yang juga Co-Founder M Block Space pada kegiatan Talkshow Jurnalisme Musik di Kota Palu, Jumat (11/11).
Talkshow tersebut diselenggarakan oleh PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta lagu Republik Indonesia) dalam agenda Ecosystem Music Fair 2022 dengan Program Musiktigasi.
“Saya sebelumnya sudah sering ke Makassar. Terus terang buat kualitas band, saya megang Palu dibanding Makassar. Karena band-band Makassar banyak yang masih setengah matang kalo menurut saya,” ujarnya.
Manager Seringai Band itu menuturkan, pada tahun 2004 sampai 2012 dan 2013 sampai 2015 ia melihat band rock di Palu lebih advance. Ia mencontohkan salah satu band yang menurutnya paling dahsyat menurut, yaitu The Box.
“Saya menonton The Box pertama kali di Makassar, kemudian meliput band itu. The Box adalah band Palu yang pertama masuk Rolling Stone,” ungkapnya.
Lebih lanjut Wendi mengatakan, lahirnya jurnalisme musik tidak lepas dari lahirnya majalah Aktuil tahun1967, lima bulan lebih awal dari majalah Rolling Stone Amerika.
“Jurnalisme musik ini pasang surutnya dari tahun 1967 sampai 2017, ditandai dengan lahirnya majalah Aktuil, salah satu majalah yang paling berpengaruh, paling legendaris, karena mereka lebih tua umurnya beberapa bulan dari majalah Rolling Stone Amerika. Rolling stone itu terbitnya November 1967 dan Aktuil itu terbit dari bulan Juni 1967. Rolling Stone sendiri purna cetak setelah 12 tahun,” tutur Wendi.
Dari segi jurnlisme musik itu sendiri, lanjut Wendi, Denny Sabri dapat dikatakan sebagai pelopor bersama rekan-rekannya. Aktuil terbit di Bandung dan dikenal oleh anak-anak muda di Indonesia saat itu, karena Aktuil bukan hanya menjadi majalah musik yang terbit dan menerjemahkan, tapi juga mengirimkan jurnalisnya untuk meliput langsung ke luar negeri.
“Mereka punya kantor biro di Jerman, Belanda, dan London. Kebetulan Kang Denny, dari Jakarta ke Jerman untuk kuliah. Dia itu ngomongnya kuliah, tapi ternyata di Jerman dia lebih banyak berada di venue-venue musik, di konser-konser, bukan di dalam kelas,” tuturnya.
Dulu, kata dia, Kang Denny saat meliput konser di luar negeri, malamnya menonton di stadion dan besoknya menulis memakai tangan atau mesin tik, lalu dikirim melalui surat.
“Sampai ke Indonesia sebulan atau satu setengah bulan. Bulan berikutnya baru dicetak. Berbeda dengan sekarang, malam ini nonton konser, balik ke hotel bisa langsung mengetik dan kirim,” lanjutnya.
Di akhir sesi, Wendi mengatakan bahwa perkembangan media sosial (instagram) dan influencer akhir-akhir ini menjadi salah satu penyebab matinya media-media cetak karena tidak ada yang beriklan.
Reporter : Iker
Editor : Rifay