PALU – Selama menjabat, mantan Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama (Dirut) PT Pembangunan Sulteng, Henning Mailili, dianggap bekerja tanpa rencana.
Sudah beberapa kali pihak komisaris Perusahaan Daerah (Perusda) tersebut meminta Rencana Kegiatan Anggaran Perusahaan (RKAP) maupun Rencana Anggaran Biaya (RAB), namun tidak pernah digubris oleh yang bersangkutan.
Saat ini, Henning Mailili telah menjadi terdakwa dugaan korupsi dana penyertaan modal kepada Perusda Sulteng.
“Permintaan itu disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. Akhirnya sempat dibuat RKAP sendiri, untuk ditandatangani terdakwa, tapi tidak juga ditandatangani. Jadi terdakwa bekerja tanpa rencana,” kata Komisaris Utama Perusda Sulteng, Hadjir Hadde, saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri (PN) Palu, Kamis (15/02).
Selain itu kata, Hadjir, tugas Bendahara Perusda juga tidak difungsikan oleh terdakwa. Tanda tangan pencairan dana penyertaan modal ditandatanganinya sendiri.
“Terdakwa juga sering ke Jakarta, tidak tahu apa kegiatannya,” ungkap Hadjir.
Selain Hadjir, turut bersaksi Dirut Perusda Suaib Djafar, Direktur Keuangan dan Umum Pratikno Wibowo, Komisaris Robby Siwi dan Adma Made serta anggota Komisaris, Helmi Yambas.
Dua saksi lainnya, Suaib Djafar dan Pratikno Wibowo mengatakan, saat mereka diangkat pada tahun 2016, tidak ada pembukuan keuangan Perusda, baik uang masuk dan uang keluar pada masa kepemimpinan terdakwa.
“Dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) disepakati dana penyertaan modal tersebut 70 persen untuk usaha dan 30 persen untuk operasional,” katanya.
Diketahui, pada tahun 2015, Perusda Sulteng menerima penyertaan modal dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng senilai Rp2,4 miliar. Namun dalam pengelolaannya, terdakwa tidak melibatkan staf pengelola keuangan maupun komisaris, baik mulai dari pencairan, penggunaan sampai pertangung jawaban keuangan.
Terdakwa juga tidak pernah melaksanakan pembukuan atas penerimaan dan pengeluaran perusahaan.
“Seluruh dana penyertaan modal tersebut dikelola langsung oleh terdakwa tanpa melalui mekanisme RUPS. Selain itu, specimen tandatangan untuk melakukan penarikan dana semua rekening PT Pembangunan Sulteng menggunakan tandatangan terdakwa,” ungkap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Asma dalam dakwaannya.
Lanjut Asma, terdakwa juga membayar gajinya sendiri dengan total sebesar Rp824,4 juta yang dihitung sejak November 2013-Desember 2016 atau 26 bulan, masing-masing sebagai direksi sebesar Rp580 juta dan selaku Plt Dirut terhitung selama 10 bulan Rp248,4 juta.
Sementatara gaji komisaris dihitung sejak November 2015 sampai Agustus 2016 dengan total sebesar Rp240,5 juta, masing-masing untuk Hadjir Hadde sebesar Rp92 juta dan Helmi Yambas Rp148,5 juta.
“Seharusnya gaji yang diterima terdakwa selaku Direktur Keuangan sebesar Rp92 juta terhitung sejak Januari sampai Oktober 2016, dan gaji selaku Plt Dirut sejak Januari hingga Agustus sebesar Rp85 juta. Sehingga terjadi kelebihan pembayaran gaji dan tidak seharusnya dibayarkan sebesar Rp651,4 juta,” ungkap Asma.
Demikian halnya dengan gaji komisaris Hadjir Hadde yang seharusnya hanya Rp68 juta, terjadi kelebihan sebesar Rp24 juta dan Helmi Yambas yang seharusnya Rp60 juta, terjadi kelebihan Rp88,5 juta.
Akibat perbuatannya, Negara mengalami kerugian sebesar Rp969,8 juta dengan memperkaya diri sendiri sebesar Rp857,3 juta dan untuk Hadjir Hadde serta Helmi Yambas sebesar Rp 112,5 juta. (IKRAM)