OLEH: Jayadin, SH*
Baru-baru ini dunia medis Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Parigi Moutong, berkembang isu dugaan malpraktek yang dilakukan oleh salah satu oknum dokter atau tenaga medis yang berada di salah satu rumah sakit swasta, yaitu Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Defina.
Isu sampai saat ini diketahui masih menjadi konsumsi di semua kalangan masyarakat.
Namun pada kesempatan ini, tulisan ini akan menguraikan dan memposisikan pembahasan pada tema eksitensi malpraktik medis dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta kaidah atau norma apa saja yang mengikuti hubungan dokter dan pasien.
Hal ini sangat menarik untuk diuraikan, mengingat pada masa kontemporer masih terus menjadi diskusi yang terus dibahas, baik di dunia akademisi hukum maupun praktisi hukum.
Upaya hukum untuk mengatur Hubungan Dokter Pasien (HDP) sebenarnya menimbulkan dilematis tersendiri, seperti jika profesi dokter atau tenaga medis diatur secara tegas dan kurang hati-hati akan membuat dokter atau tenaga medis terganggu dalam menjalaknan profesinya.
Namun jika pengaturan tegas tidak dilakukan maka kepentingan masyarakat sebagai pengguna jasa yang akan dirugikan.
Malpraktek Medis dalam Peraturan Per UU
Secara terminology, pengertian ataupun istilah dari malpraktik medis tidak dapat ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, kecuali hanya akan menemukan sebuah definisi ataupun pengertian yang mungkin saja kita dapat samakan dengan malpraktik medis itu sendiri.
Seperti kaidah dalam Pasal 55 ayat 1 UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang mana setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
Dari setiap proposisi kaidah norma ini, mengindikasikan bahwa perbuatan malpraktik medis itu dapat saja disamakan dengan adanya perbuatan kesalahan dan juga kelalaian.
Kaidah di atas juga selaras dengan proposisi dalam Pasal 58 ayat 1 UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (perubahan dari UU No 23 Tahun 1992). Pada pasal ini juga ditemukan kaidah perbuatan dokter atau tenaga medis yang melakukan kesalahan dan kelalaian dapat dituntut ganti rugi.
Dari kedua UU di atas, secara leksikal tidak akan ditemukan apa yang dimaksud dengan malpraktik medis itu. Namun secara semiotika, dapat ditangkap kesan bahwa setiap perbuatan malpraktik medis sudah dapat memberikan tanda juga adanya sebuah perbuatan kesalahan dan kelalaian yang dapat menimbulkan kerugian.
Terminology dari defenisi malpraktik pada suatu pembahasan dunia medis internasional atau dalam World Medical Association, yang mana pada konfederasi yang merupakan kumpulan-kumpulan dari asosiasi-asosiasi profesi medis dari seluruh negara, salah satu kesepakatannya ialah menyatakan malpraktik medis “melibatkan kegagalan dokter untuk memenuhi standar perawatan kondisi pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan perawatan kepada pasien yang menyebabkan langsung cedera pada pasien”
Jika dilihat pada defenisi yang menjadi kesepakatan pada konfederasi ini, terkesan tidak ada jarak yang jauh antara pengertian malpraktik medis dengan proposisi kaidah yang diatur dalam UU tentang Kesehatan di Indonesia.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya pengertian malpraktik medis pada kesepakatan konfederasi di atas secara semiotika adanya persamaan tanda dari setiap proposisi kaidahnya.
Kaidah yang Mengikuti Hubungan Dokter Pasien (HDP)
HDP pada masa Hippocrrates ditandai dengan adanya HDP yang tidak seimbang, kemudian posisi tenaga medis yang terlalu dominan seperti dokter atau tenaga medis yang dipandang mengetahui yang terbaik bagi pasien. Juga pertanggungjawaban dokter atau tenaga medis lebih merupakan pertanggungjawaban etika dan moral, serta minimnya peraturan perundang-undangan yang mengatur.
HDP sendiri pada era kontemporer sudah mulai berkembang, di mana demokrasi, akses informasi serta Hak Asasi Manusia semakin diutamakan dalam prinsip negara hukum.
Implikasi ini membawa akibat pada HDP, di mana pada hubungan ini menjadi semakin kompleks, sehingga pada hubungan ini dokter atau tenaga medis bukan saja bicara hubungan profesi dan kepercayaan, namun juga bicara hubungan hukum sehinga pertanggungjawaban dokter atau tenaga medis bukan hanya moral ataupun etik, namun dapat juga bertanggungjawab secara hukum.
Tanggung jawab hukum dapat diletakan pada dokter atau tenaga medis, jika proposisi kaidahnya merujuk pada Pasal 55 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Jo. Pasal 58 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009 yang dibahas awal sebelumnya..
Jika dengan pasal ini dikonstruksikan suatu perbuatan malpraktik medis, maka kesan yang dapat ditangkap dari setiap unsurnya seperti adanya sikap batin dokter atau tenaga medis (natuurlijk person) baik secara kesengajaan (sadar) maupun kelalaian.
Perbuatan sengaja (sadar) dalam malpraktik medis bagi seorang dokter atau tenaga medis mungkin jarang ditemukan, apalagi jika membiarkan atau mencelekakan pasienya dengan sengaja.
Namun unsur perbuatan sengaja dalam dunia medis ini akan terjadi jika sebelumnya perbuatan tersebut diikuti dengan adanya kesepakatan antara dokter dan pasien.
Contohnya dalam kasus aborsi dan euthanasia. Meskipun sebenarnya dalam dunia akademisi serta praktik hukum kasus demikian masih menjadi perdebatan.
Bagitupun terhadap perbuatan kelalaian dokter atau tenaga medis tidak dapat dipandang sebagai suatu kejahatan sebab perbuatan kelalaian tersebut harus menimbulkan kerugian misalnya cacat dan hilangnya nyawa pasien.
Namun jika perbuatan kelalaian itu dapat menimbulkan cacat atau hilangnya nyawa pasien maka perbuatan kelalaian itu haruslah dipandang sebagai perbuatan kejahatan dan haruslah dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ini hanya merupakan sebagian kaidah atau norma yang mengikuti perkembangan hubungan dokter pasien (HDP), sehingga pada kesempatan ini tulisan ini hanya membahas hubungan yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Jo. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Sebenarnya masih banyak aspek hukum lain yang perlu diuraikan seperti hubungan dokter dan pasien baik itu aspek pidana, perdata, etik serta administrasi.
*Penulis adalah Advokat & Konsultan Hukum