Meski tidak mempermasalahkan telur-telur maleo yang bukan dari Batui, Djamil menyayangkan masyarakat Batui harus membeli telur demi terlaksananya tradisi Malabot Tumbe. Itu mengapa Bupati Balut ingin Banggai bersaudara sama-sama memikul biaya-biaya yang muncul atas persiapan dan pelaksanaan Malabot Tumbe, tidak dibebankan kepada masyarakat Batui saja. Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai Laut sudah harus bekerja sama.
Djamil mengatakan keberadaan telur dan burung Maleo yang sangat terancam kelestariannya, menjadi tanggung jawab semua pihak atau stakeholder terutama pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Pada masa pemerintahan Kerajaan Banggai, telah ditetapkannya kawasan Bakiriang di Batui sebagai wilayah konservasi adat atas hutan untuk satwa Maleo dan Pati-pati di Bualemo wilayah konsevasi adat atas hutan dan satwa Anoa dan Rusa lewat keputusan Raja Banggai tahun 1936.
“Itu adalah bukti kearifan dan betapa konsennya Kerajaan Banggai dan masyarakat adat Banggai terhadap pelestarian lingkungan dan satwa-satwa di negeri ini,” ujar Djamil.
Dikonfimasi pada 09 Desember, pihak MCC DSLNG telah mengecek telur-telur maleo tersebut, tetapi hampir semua sudah retak dan tidak bisa ditetaskan. Sehingga pihak mereka tidak bisa membawa telur-terlur tersebut ke pusat konservasi di Batui. Hal tersebut akan menjadi evaluasi MCC DSLNG untuk tahun depan. Mereka akan mencoba sosialisasikan handling telur selama kegiatan, dan menaruh inkubator di Banggai Laut jika memungkinkan.